Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. LEGA
Makanan datang bersamaan dengan tawa Theo yang memenuhi ruangan kecil itu. Anak itu benar-benar menikmati setiap helai spaghetti yang sampai menempel di pipinya, sehingga Elena sampai harus menyeka wajah anak itu berkali-kali.
Hans yang duduk di sampingnya hanya mengamati kedua orang yang menjadi pusat hidupnya.
"Aku merasa seperti sedang menonton dua orang yang benar-benar menikmati hidup," gumam Hans sambil menyandarkan dagunya pada tangan.
Elena menoleh. "Kau bisa ikut menikmati kalau kau mau."
"Aku menikmati dengan caraku sendiri," jawab Hans santai.
"Caramu adalah menatap kami seperti orang yang jatuh cinta tujuh kali dalam semenit," ujar Elena.
Hans tidak membantah. "Kalau itu definisinya, aku memang begitu. Aku selalu jatuh cinta setiap kali melihatmu."
Pipi Elena memanas. "Hans?"
"Ya?"
"Berhenti membuatku malu," perintah Elena.
"Tidak bisa," sahut Hans dengan senyum jahil seperti biasa.
Elena memukul pelan lengan Hans dengan sendok, membuat Theo menatap mereka bingung, lalu ikut tertawa tanpa tahu apa yang lucu.
Setelah makanan mereka hampir habis, Theo menunjuk sundae cokelat di meja sebelah dan langsung merengek kecil. "Aku mau itu."
Hans mengangkat alis. "Kau bahkan belum menghabiskan spaghettimu."
Theo menatap piringnya yang setengah kosong, lalu memandang Hans dengan mata paling memelas yang bisa dibuat seorang anak lima tahun.
"Baik," desah Hans. "Tapi hanya satu."
"Yay!" seru Theo girang.
Ketika Gianni membawa dessert itu, Theo langsung mencondongkan tubuh, dan dalam satu gerakan cepat, Hans menahan gelas es krim tersebut.
"Papa?" Thei menatap papanya bingung.
"Kau harus duduk dengan benar dulu," perintah Hans.
Theo patuh, dan Hans menyerahkan es krim itu setelah memastikan celana anak itu tidak akan terkena tumpahan apa pun.
Elena hanya bisa menggeleng. "Kau benar-benar ayah yang posesif."
"Tidak," sahut Hans. "Aku hanya sering mencuci sofa di rumah setelah dia menghancurkannya dengan makanan."
Theo tidak merasa bersalah sama sekali tentu saja.
Setelah makan siang selesai dan mereka berjalan keluar restoran, udara hangat siang hari menyambut wajah mereka. Theo berjalan di tengah, menggenggam tangan Elena dan Hans sekaligus, membuat mereka tampak seperti keluarga kecil yang baru pulang dari piknik.
Namun saat mereka mendekati mobil, Elena tiba-tiba menarik langkah dan berkata, "Hans, aku ingin berjalan sebentar. Boleh?"
Hans menatapnya ragu. "Kau lelah?"
"Tidak." Elena menggeleng. "Aku hanya ingin menghabiskan sedikit waktu dengan kalian sebelum kembali ke rumah."
Hans dan Theo saling menatap, lalu keduanya mengangguk bersamaan, dan Hans memencet remote mobil untuk menutupnya kembali.
Mereka pun berjalan menyusuri trotoar, melewati deretan toko kecil, kafe mungil, dan pepohonan yang menjulang memayungi jalanan.
Theo, seperti biasa, tidak bisa diam.
"Apa kita bisa beli es krim lagi?" tanya bocah itu polos.
Hans langsung menegang. "Tidak."
"Kenapa?" tanya Theo dengan polosnya.
"Kau baru saja makan satu porsi besar," Hans mengingatkan.
"Tapi itu untuk makanan penutup. Yang ini untuk camilan," kata Theo.
"Tidak," tolak Hans.
Theo cemberut. "Papa jahat."
Hans menoleh pada Elena. "Kau dengar itu? Aku jahat sekarang."
Elena menahan tawa. "Mungkin sekali-sekali kau memang jahat."
Hans menatap Elena dengan ekspresi terhina. "Aku? Jahat?"
Elena mengangguk. "Sedikit."
Theo langsung mengangguk cepat. "Iya. Papa jahat."
Hans tidak bisa membantah karena Elena memeluk lengannya dan tersenyum manis.
"Kau bersekongkol dengan anak kita," gumam Hans.
"Salahmu karena cerewet," jawab Elena.
Hans menarik napas panjang. "Aku merasa dikhianati."
Elena menepuk pipinya. "Kau memang layak."
Theo tertawa keras, memegang perutnya. "Papa lucu sekali!"
Hans berusaha keras menahan senyum. Namun gagal total.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di taman kecil dengan bangku kayu. Theo langsung berlari ke arah ayunan, bergelantungan dengan tawa lepas khas anak-anak.
Elena duduk di bangku, sementara Hans berdiri di depan istrinya, kedua tangannya bersedekap.
"Kau tampak lebih baik," kata Hans pelan.
Elena menatap Hans. "Lebih baik?"
"Dibanding saat kita berangkat dari kantor," ujar Hans.
Elena menghela napas. "Aku hanya ... terlalu banyak berpikir."
Hans tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di sampingnya, menunggu Elena bicara tanpa memaksa.
"Kau tahu ..." kata Elena lembut, "kadang aku merasa dunia masih menatapku dengan cara yang salah. Masih mengingat hal-hal yang ingin kulupakan."
Hans tahu itu. Skandal dengan Raven Wattson. Berita tentang kemandulan. Fitnah keji yang diinjak-injak media seperti pesta. Membuat Elena lebih terluka dari apa pun.
"Elena," jawab Hans datar namun lembut, "kalau dunia menatapmu dengan cara yang salah, itu masalah dunia. Bukan masalahmu."
Elena tersenyum tipis. "Tapi aku tetap merasa kadang mereka berbisik."
Hans memutar tubuh, menatap Elena langsung.
"Kalau mereka berbisik," kata Hans pelan, "mereka akan berurusan denganku."
Elena menunduk. "Hans."
"Aku tidak main-main." Suara Hans mengeras sedikit. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyebutmu mandul, gila, atau apa pun yang pernah mereka lemparkan padamu. Tidak akan pernah."
Elena memejamkan mata sejenak.
Kata-kata itu terlalu dalam. Terlalu tulus.
"Bahkan kalau mereka hanya berbisik sedikit saja," lanjut Hans, "aku akan pastikan mereka menyesal membuka mulutnya."
Elena menggeleng kecil. "Kau terlalu protektif."
"Memang," sahut Hans tanpa ragu. "Itu bagian dari paket pernikahan denganku."
Elena tertawa kecil.
Hans mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun lembut. "Elena, dengarkan aku."
Wanita itu menatapnya.
"Aku mencintaimu bukan karena kau sempurna. Bukan juga karena kau tak bercacat." Hans menyentuh pipi Elena. "Aku mencintaimu karena kau adalah kau. Dan itu tidak akan pernah berubah."
Elena hampir menjawab, tetapi ...
"PAPAAAAAA?!!!"
Teriakan itu datang dari arah ayunan. Arah Theo bermain.
Hans dan Elena langsung berdiri.
"Theo?!" Hans langsung panik.
Theo berlari ke arah mereka sambil membawa sesuatu di tangan.
"Tadi ada anjing!" teriak Theo dengan wajah panik sekaligus senang. "Dan Theo pikir dia mau makan Theo tapi ternyata dia cuma mau main dan hampir ambil sepatu Theo!"
Elena langsung membungkuk, memeriksa Theo. "Kau tidak apa-apa?"
"Tidak," jawab Theo.
"Kau tidak apa-apa? Sungguh?" Hans berjongkok untuk melihat keadaan putranya itu.
"Aku tidak apa-apa!" Senyum merekah di wajah Theo.
Hans menghela napas panjang dan memeluk Theo sambil mengangkat bocah itu. "Kau membuatku bertambah tua sepuluh tahun lagi, Nak."
Theo tertawa. "Papa takut ya?"
"Aku hampir mendapat serangan jantung karena kau, Little Devil," jawab Hans mencubit gemas pipi gembul Theo.
Elena memeluk mereka berdua dan tertawa kecil. "Sudahlah. Ayo kita pulang."
Hans mengangguk dan meletakkan Theo di tanah.
Namun ketika mereka hendak berjalan keluar taman, Theo tiba-tiba berkata:
"Papa ... Mama ... kalau aku besar nanti, aku mau menikah sama Mama juga."
Hans spontan berhenti.
Elena menatap anak itu dengan mata membesar.
"Sayang," Elena berdeham, "Bukan begitu cara kerja dunia."
"Tapi Mama cantik," kata Theo. "Aku mau Mama."
Elena tersenyum lembut. "Terima kasih, Sayang. Tapi Mama sudah menikah sama Papa."
Theo berbalik cepat menatap Hans. "Papa! Kenapa Papa ambil Mama duluan?!"
Hans mengangkat kedua tangannya, memasang ekspresi paling tidak bersalah. "Cepat menang, cepat dapat?"
Theo melotot. "Curang!"
Hans mengusap kepala anak itu. "Dunia memang tidak adil, Theo. Kau harus menemukan pengantinmu sendiri nanti."
Elena tertawa puas sampai hampir menitikkan air mata. Obrolan yang paling aneh dalam keluarga kecil ini.
Mereka kembali ke mobil, dan sepanjang perjalanan pulang, Theo tertidur dengan mulut sedikit terbuka di bangku belakang.
Elena memandang anak itu, kemudian menoleh pada Hans yang fokus menyetir.
"Hans?" panggil Elena.
"Hm?"
"Terima kasih untuk hari ini," ucap Elena tulus.
Hans menoleh sebentar, matanya lembut. "Untuk apa? Bukankah ini hal biasa."
Elena tersenyum kecil. "Tapi luar biasa untukku."
Hans tidak menjawab. Ia hanya meraih tangan Elena dan menyatukan jari mereka sambil mengemudi dengan tangan lain.
Sederhana. Hangat. Penuh cinta yang tidak perlu suara.
Dan saat itu, Elena tahu ...
Apa pun badai yang menunggu mereka di masa depan, rumahnya selalu akan ada pada dua laki-laki ini; Hans dan Theo kecil. Jangan lupakan keabsudran mereka tentu saja.
Walau badai memang tampaknya sudah menunggu untuk merobohkan pohon paling kokoh sekali pun. Membuat Elena ... ragu.
tenang Hans Raven dah berubah dah kena karma nya dia 😁
bab ini aku terhura 🥹
mirisnya hidup mu.