Kisah cinta dua insan dengan karakter bertolak belakang yang diawali dengan keterpaksaan demi bakti kepada kedua orang tua. Jelita Khairani, gadis cantik 21 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikannya tak dapat mengelak kala kedua orang tuanya menjodohkannya.
Namun siapa sangka yang di maksudkan sebagai calon suaminya adalah pria yang sama dengan seseorang yang ia juluki "ALIEN, MANUSIA KAYU, dan PRIA KAKU" seusai pertemuan pertama mereka.
Dialah Abima Raka Wijaya, pria dengan segala keangkuhan dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tak mampu berdamai dengan diri tidak mungkin menerima begitu saja keputusan orang tuanya. Kehadiran Kinan di lubuk hatinya menjadi alasan utama ia tak dapat membuka diri pada sembarang wanita.
Akankah Raka melupakan Kinan dan menerima kehadiran Jelita? Bagaimana jika suatu saat sang mantan kekasih berniat kembali padanya?
Ig: desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telat
Jelita tampak menggeliat ketika sinar matahari menyelundup melalui ventilasi kamarnya. Matanya mengerjap pelan menyesuaikan cahaya disekitarnya. Kepalanya terasa berat lantaran tadi malam Jelita tak juga tertidur memikirkan apa yang akan terjadi padanya.
Jelita melirik jam dinding, dahinya sedikit berkerut memperhatikan angka yang ditunjuk oleh jarum jam yang masih setia berputar sedikit demi sedikit.
"Jam 08." Mulut jelita terbuka lebar sesaat kemudian tersadar dan meloncat dari tempat tidur lalu berlari ke kamar mandi.
Mandi secepat kilat lalu berlari menuju lemari memakai pakaian yang diusahakan tetap harus rapi seperti biasa. Memoles wajahnya tipis dengan gerakan cepat keluar kamar dan melewati Ibunya yang tengah merapikan ruang tamu.
"Sial telat, salah lagi ni gue." Jelita komat Kamit sambil sesekali menatap jam di pergelangan tangannya. Ketika hendak keluar rumah Jelita hampir mennabrak Randy yang baru saja selesai lari pagi.
"Lo mau kemana Kak?" Tanya Randy mengernyit heran dan berhenti menatap kakaknya yang terlihat aneh.
"Kerjalah, udah tau masih nanya gimana sih." Jawab Jelita seraya mencari sepatu kerjanya.
"Itu rambut gak di sisir, Rapi amat?" Jelita sontak melihat pantulan dirinya dari jendela kaca rumahnya. Ia terkejut melihat wujudnya sendiri. Rambutnya tampak berantakan karena memang sengaja tidak sempat untuk keramas.
"Duh kok bisa nggak inget sih, padahal tadi udah ngaca. mata gue kemana coba."
Jelita merutuki dirinya yang melupakan hal sepenting itu. Dengan segera ia rapikan rambutnya menggunakan sela-sela jari tangannya. Sesaat melirik Randy di depannya, Jelita terlihat bingung.
"Lo ga sekolah? Jam segini masih di rumah?" Jelita sibuk mencari sepatunya.
"Lah, situ ngapain kerja hari Minggu?" Randy sengaja tidak mengingatkan Jelita bahwa hari ini adalah hari libur.
Jelita terdiam melirik Randy jarinya masih tertahan di rambutnya. Seketika dia terduduk dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas untuk memastikan ucapan adiknya. Ibunya yang mendengar percakapan dua anaknya hanya menggelengkan kepala.
"Makanya, Kak. Kalo dibangunin melek jangan cuma iya iya aja. Pas bangun persis orang stres." Randy berucap meninggalkan Jelita yang masih terduduk menangkan dirinya.
Jelita bangkit dan kembali masuk kerumah. Dia berjalan menuju kulkas di dapur dan meneguk air dingin yang sudah dia tuangkan kedalam gelas hingga tandas.
"Kamu tidur jam berapa sih ta, sampe dibangunin berapa kali gak bangun-bangun. Ibu pikir kamu wafat tadi pagi." Bu Rini yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya sambil mengelap meja makan yang sebenarnya terlihat bersih.
"Jelita gak bisa tidur Bu, terakhir liat jam 3 pagi. Selebihnya aku udah nggak sadar. Bahkan Ibu bangunin aku juga nggak denger." Jelita menjawab sambil memutar lehernya yang sedikit pegal.
"Jangan di ulangi lagi ya, beruntung hari ini kamu libur. Coba kalo nggak, udah habis kamu di omelin atasan baru pergi jam segini, syukur kalo cuma di omelin. Kalo sampe dipecat gimana coba." Ibunya berkata seraya mengacak rambut Jelita gemas.
"Iya nggak lagi udah Jelita balik tidur lagi, masih ngantuk banget." Jelita berucap sambil menguap. Matanya berair menahan kantuk. Rasa kantuk yang sempat pergi beberapa saat yang lalu kembali menghampirinya.
"Yaudah sana, Ibu mau nyusul Ayah kamu ke toko, siapin makan siang jangan lupa." Pamit Ibunya yang kemudian di angguki oleh Jelita sambil berjalan menuju kamarnya.
*****
Sementara di tempat lain Raka terlihat sedang berolahraga di salah satu ruangan dalam rumahya. Ruangan khusus dengan berbagai macam peralatan yang mendukung aktivitas Raka sehingga membuat tubuhnya begitu altelis.
Ia menghentikan aktivitasnya ketika tubuhnya merasa lelah. Berjalan keluar dengan membawa botol minuman dingin di tangannya dan beberapa kali meneguknya.
Di ruang Tamu terlihat Pria dengan pakaian serba hitam telah menantinya. Laki-laki itu tampak duduk santai sambil menunggu sang empunya rumah menghampirinya.
"Bagaimana, kau berhasil menemukannya?" Ucap Raka lalu duduk di sofa tepat di depan Pria itu.
"Hem sudah, cukup mudah untuk mengetahui keberadaannya." Pria itu memberikan sebuah amplop yang terlihat tidak terlalu tebal.
Raka membukanya perlahan. Terlihat beberapa foto tercetak di dalamnya. Rahangnya mengeras, tangannya tampak mengepal memperlihatkan otot-otot dipermukaan kulit.
"Dia kembali beberapa minggu lalu, apa kau ingin aku mengambil langkah sekarang?" tanya pria itu menanti perintah.
"Tidak perlu, kita lihat saja apa yang akan ia lakukan seterusnya, dan kau kembalilah." Perintah Raka kepada Pria didepannya.
Belum sempat pria itu berdiri tiba-tiba Andra langsung duduk di sebelahnya seraya merangkul pundak Pria itu.
"Kalian berdua tu ya, kalau udah kumpul Kaku banget. Geli gue dikantor juga bukan," Andra mencoba mencairkan suasana.
"Lo tu ngapain kesini Ndra, ini hari libur gue nggak ada waktu buat becanda hari ini." Raka memang terlihat sedang dalam mood yang tidak baik.
"Lah ni bocah hari Minggu boleh aja nemuin lo, kenapa gue nggak, pilih kasih lo?" Andra tak terima kedatanganya di abaikan. Raka hanya diam enggan menjawab pertanyaan Andra.
"Aku datang membawa tugas dari Raka, dan kau tidak punya kepentingan bukan?" Pria bernama Dion itu tampak menjelaskan dengan gaya bicara yang persis seperti Raka pakai jika berhadapan dengan orang selain dirinya.
"Tugas apaan?" Andra melirik beberapa lembar foto di atas meja dan mengambil salah satunya.
"Ngapain lagi lo cari tau tentang laki-laki itu Ka, semakin lo cari tau dimana dia, apa yang dia kerjain lo semakin gak bisa lupa, udahlah mending ni ya lo lupain semua hal-hal yang berhubungan dengan wanita itu." Andra mencoba menyadarkan Raka yang hingga saat ini selalu mencari tahu hal yang membuatnya merasa tersiksa.
"Kau tidak berada di posisi Raka, Ndra. Jika kau jadi dia aku rasa kau akan melakukan hal yang sama." Dion tampak membela Raka.
"Ini lagi pakek dibelain. Sekali kali lo nggak usah nurut sama apa yang dia diperintahkan bisa nggak sih." Andra menjadi kesal.
"Aku kerja buat Raka, bukan kamu Ndra. Aku rasa tidak memiliki kewajiban untuk mendengarkan kamu." Dion menjawab dengan santai.
"Ah iya juga. Perkataan gue kok berbobot banget sih." Andra mengerutkan kening bingung dengan kekonyolannya.
Mereka bertiga berteman sejak lama. Ayah Dion merupakan kepercayaan keluarga Wijaya. Hingga ketika Dion beranjak dewasa ia memilih untuk bekerja sebagai kaki tangan Raka diluar urusan kantor.
Untuk urusan didalam kantor Keluarga Wijaya memilih Andra untuk mendampingi Raka. Hal ini dilakukan karena Andra mampu mengendalikan Raka yang kerap kali sulit menahan emosinya. Dion yang memiliki sifat yang hampir sama dengan Raka hanya memikirkan kehendaknya tanpa berpikir panjang terhadap akibat yang akan diterima orang sekitarnya.
TBC 😊
Seseorang yang terlihat diam melakukan segala sesuatu tanpa banyak bicara.
(Iyalah kan pendiam)
fyu fyu fyu fyu 🍃🍃🍃
Jangan lupa tinggalkan jejak 👣
akan tercipta ...amiiin