NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesantren Aljazair

"Perubahan adalah bagian dari perjalanan, namun kehangatan tempat yang kita sebut rumah akan selalu mengikat jiwa dalam kenangan."

***

Raya berjalan gontai di lorong sekolah. Sepanjang koridor, orang-orang sedang membicarakan sesuatu yang hangat. Begitu memasuki kelas, Raya melihat teman-temannya sedang asyik bergosip.

"Lo tau gak?" Tanya Laras.

"Gak tau," jawab Raya sambil menaruh tasnya di atas meja.

"Gak tau lo yah? Gak datang kemarin sih," Lanjut Laras dengan nada penuh semangat.

"Ustadznya ganteng banget!" seru Aqila.

"Apa? Pak Jabar lo bilang ganteng?" kata Raya setengah berteriak, terkejut.

"Astaga, bukan Pak Jabar, Rayaaa!" Aqila menjawab sambil tertawa, jelas kesal dengan reaksi Raya.

" Pak Jabar mah udah tua kali, cuma istri nya yang nilai dia ganteng, " Kata Laras. Gadis itu memang suka bicara blak-blakan.

"Ustadz Bilal, ustadz baru di masjid kita," kata Laras dengan semangat. "Dia penceramahnya kemarin malam, semua cewek pada terpesona!"

Raya mengernyitkan dahi. "Bilal? Siapa dia?"

"Ya ampun, Ray! Dia ganteng banget, tinggi, terus senyum nya itu lohhh. Dia bikin kita semua merinding waktu ceramah. Serius, lo harus lihat dia!" Laras menjelaskan sambil menggerakkan tangannya, menunjukkan betapa terpesonanya dia.

"Kenapa lo pada heboh banget sih? Kan cuma ustadz," kata Raya sambil mencoba menyeimbangkan sikapnya meskipun rasa ingin tahunya mulai muncul.

"Lo harus lihat sendiri, Ray! Kayaknya semua cewek di masjid kemarin malam pengen minta foto bareng dia," Aqila menambahkan dengan nada menggoda.

Raya merasakan sedikit rasa cemburu menggelayuti hatinya. "Gak mungkin deh, ustadz kan orang yang serius. Mana ada yang suka sama ustadz?"

"Lo bener-bener harus lihat, Ray! Dia punya cara bicara yang bikin kita semua merasa dekat. Mungkin dia bisa ngubah pandangan lo tentang ustadz," teman-temannya terus membujuk. Diantara teman-teman nya itu hanya Raya yang tidak memakai jilbab.

Raya menggelengkan kepala, berusaha menahan diri dari rasa penasaran yang semakin dalam. "Oke deh, mungkin kalau ada kesempatan, gue mau lihat."

"Yesss! Kita harus datang ke kajian berikutnya!" teman-temannya bersorak gembira.

Bell dering mengakhiri percakapan mereka, dan Raya pun melangkah ke tempat duduknya, masih memikirkan tentang ustadz ganteng yang disebut-sebut oleh teman-temannya. Tiba-tiba, wajah Bilal terlintas di pikirannya, dan dia merasa jantungnya berdegup kencang. "Ah, gak mungkin," gumamnya sambil menepuk pelan kepalanya.

Di tengah-tengah lamunannya, Raya tiba-tiba tersadar. "Eh, guys, buk ustadzah kita mana ya? Tumben belum datang dia?" tanyanya, mencari sosok yang tak lain adalah Fatimah, yang biasanya selalu hadir tepat waktu.

"Gak masuk dia," jawab Laras.

"Iya? Kenapa dia?" tanya Aqila dengan penasaran.

"Ada urusan keluarga katanya," jelas Laras.

Raya hanya mengangguk, lalu bergumam, "Oh," sambil melanjutkan pikirannya yang masih dipenuhi rasa penasaran akan sosok Ustadz Bilal.

***

Keluarga Aljazair baru saja tiba di gerbang pesantren Aljazair, sebuah lembaga pendidikan Islam yang sudah terkenal di daerah tersebut. Pesantren itu dipimpin oleh Bapak Rosyid Aljazair, seorang ulama terpandang yang memiliki visi untuk mendidik generasi muda dengan ilmu agama dan akhlak yang baik.

Hari itu, suasana di pesantren terasa begitu tenang dan asri. Bangunan pesantren yang terbuat dari kayu dan bata memberikan kesan tradisional, namun tetap kokoh. Santri-santri tampak sibuk dengan aktivitas belajar mereka di berbagai sudut pesantren.

Keluarga Aljazair datang untuk berkunjung, seperti halnya mereka selalu menyempatkan waktu untuk melihat perkembangan pesantren yang dipimpin oleh Bapak Rosyid. Bersama mereka, putra sulung keluarga itu, Gus Bilal, sudah lebih dulu berada di pesantren. Gus Bilal tidak hanya dikenal sebagai anak dari pemimpin pesantren, tetapi juga sebagai salah satu pengajar yang dihormati oleh para santri.

Di dalam aula utama, Gus Bilal terlihat sedang memberikan pelajaran kepada beberapa santri senior. Mengenakan gamis putih bersih dengan sorban melingkar di lehernya, ia menyampaikan materi tentang tafsir Al-Qur'an dengan tenang dan penuh wibawa. Santri-santri mendengarkan dengan seksama, sesekali mencatat poin-poin penting dari pelajaran yang disampaikan.

"Dan ingatlah, ilmu yang kita pelajari ini bukan hanya untuk kita, tapi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari," ucap Gus Bilal dengan suara lembut namun tegas, menutup sesi pengajarannya. "Jika kalian memiliki pertanyaan, jangan ragu untuk bertanya."

Ketika sesi pengajaran selesai, Bapak Rosyid bersama anggota keluarganya memasuki aula. "Assalamu'alaikum," sapa Bapak Rosyid dengan senyum hangat, dan para santri segera bangkit memberi salam.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Gus Bilal dan para santri serempak.

Gus Bilal segera menghampiri ayahnya, lalu menyapa anggota keluarganya yang lain dengan penuh hormat. "Alhamdulillah, kalian sudah sampai. Gimana perjalanannya?" tanya Gus Bilal.

"Alhamdulillah lancar, " Jawab mama.

"Ustadz ganteng... Eh salah, gus ganteng, " Sapa gadis berkerudung merah muda itu.

"Kamu yah! " Bilal pura-pura memarahi adiknya, Fatimah.

"Sudah sudah, " Kata mama menengahi. "Yok kita ke Ndalem dulu, ada yang mau abi omongin ke kamu, " Ajak Abi kepada Bilal.

Bilal mengangguk mengikuti Abi nya, sementara mama dan Fatimah mengikuti dari belakang.

"Eh, katanya ada Gus baru, emang iya?" tanya Zahra penasaran, sambil duduk di teras asrama.

"Iya tuh, anaknya Kyai Rosyid," jawab Sinta sambil memainkan ujung kerudungnya.

"Anaknya Kyai Rosyid? Bukannya anaknya perempuan? Seumuran kita, kan?" Rina menimpali sambil mengernyitkan dahi, mencoba mengingat.

"Iya, si Fatimah itu emang anaknya, tapi ada lagi yang lebih tua, laki-laki. Denger-denger sih dia mondok di Tarim, makanya jarang orang tahu tentang dia," jelas Sinta, matanya berbinar-binar seperti menyimpan gosip hangat.

"Oooh, pantesan. Jadi selama ini gak pernah kelihatan ya?" Zahra mengangguk-angguk paham.

"Betul. Kabarnya sih, sekarang dia bakal sering di sini buat bantu-bantu ngajar. Kita lihat aja nanti," Sinta menambahkan, semakin membuat rasa penasaran di antara mereka meningkat.

"Kayaknya bakalan seru nih kalau ada Gus baru," kata Rina sambil tersenyum kecil, membayangkan apa yang akan terjadi nanti di pesantren.

"Siapa namanya, Sin?" tanya Zahra dengan penasaran.

"Gus... hemm, Gus Bilal kalau nggak salah," jawab Sinta sambil berusaha mengingat.

"Namanya aja udah ganteng, pasti orangnya juga ganteng," timpal Rina, penuh antusias, membayangkan sosok yang sedang dibicarakan.

Di antara mereka, ada satu santriwati yang sejak tadi hanya diam menyimak. Seorang gadis bermata teduh, Naila Syahda. Dia duduk tenang, tidak terlalu terlibat dalam percakapan heboh itu. Meski senyap, ingatannya langsung melayang ke pertemuannya dengan Gus Bilal di dekat siring waktu kajian Jumat. Dia sudah tahu sosoknya lebih dari teman-temannya yang lain.

Bilal berjalan pelan mengelilingi area pesantren, menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar. Suara kicauan burung dan gemerisik dedaunan dihembus angin seolah menyambut kedatangannya. Sudah delapan tahun sejak terakhir kali ia berada di sini, saat usianya masih 14 tahun. Waktu itu, ia hanya seorang santri muda yang akan segera melanjutkan pendidikannya di Tarim, jauh dari kampung halaman dan pesantren yang telah menjadi tempat bermain sekaligus belajarnya.

Kini, setelah kembali, banyak yang telah berubah. Bangunan-bangunan baru berdiri megah di antara bangunan lama. Kelas-kelas yang dulunya hanya beberapa ruangan kini berkembang menjadi kompleks besar. Asrama santri yang dulunya terbuat dari kayu sederhana kini dibangun lebih modern, namun tetap mempertahankan nuansa tradisional yang menjadi ciri khas pesantren Aljazair.

Meski begitu, suasana pesantren terasa masih sama. Kehangatan santri yang sibuk dengan kegiatan belajar, lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang terdengar dari masjid, serta dedikasi para pengajar yang selalu mengutamakan adab dan ilmu.

Bilal berhenti sejenak di depan aula utama, tempat yang dulu sering ia gunakan untuk berdiskusi bersama santri lainnya. Pandangannya melayang jauh, teringat masa-masa saat ia masih menjadi bagian dari rutinitas di pesantren ini—saat ia belajar di bawah bimbingan ayahnya, Kyai Rosyid. Sambil tersenyum kecil, ia menyadari betapa pesat perkembangan pesantren ini, meskipun akar dan jiwa tempat ini masih sama.

"Subhanallah... banyak yang berubah, tapi pesantren ini masih terasa seperti rumah," gumamnya pelan.

Bilal melangkah santai di sekitar pesantren, menikmati suasana yang akrab dan penuh kenangan. Ketika ia berpapasan dengan dua santriwati,Bilal tersenyum sopan, memberikan salam, "Assalamu'alaikum."

Rina dan Zahra, yang masih terkejut dengan pertemuan tak terduga ini, segera menjawab, "Wa'alaikumussalam." Mata Zahra tak sengaja bertemu pandang dengan Bilal. Permisi, mbak-mbak," sapa Bilal dengan ramah. "Kira-kira di mana ya kamar kecil khusus ikhwan?"

Zahra menoleh dan tersenyum. "Oh, kamar kecilnya ada di sebelah aula, Gus. Ikuti jalan itu, nanti ada petunjuk."

Rina menambahkan, "Iya, tinggal lurus saja, tidak jauh kok."

"Terima kasih banyak, ya!" Bilal membalas sambil tersenyum.

" Sama sama gus, " Jawab mereka bersamaan. Zahra dan Rina saling bertukar pandang. "Eh, itu yang namanya Gus Bilal, Rin?" tanya Zahra sambil menunjuk ke arah Bilal yang sedang berjalan.

"Hah?" Rina mengerutkan dahi, tidak langsung mengerti.

"Eh, iya Ra! Kok aku baru ngeh sih," jawab Zahra, kini lebih fokus.

"Astaga, ganteng banget!" seru Rina, mata berbinar-binar melihat sosok Bilal yang sudah berjalan menjauh.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!