Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
"Bibi, kalau ada pesta kayak gini lagi, aku diundang ya? Jangan pas pesta berlangsung. Sebelumnya aja, kan aku bisa bantu bibi," ucap Alesia tiba-tiba.
"Iya Alesia cantik, Bibi akan bawa kamu ke sini lagi, tapi Papa kasih izin gak?"
"Kasih, tenang aja." Alesia tersenyum manis. Polos banget gadis kecil yang sangat enerjik ini. Dia bahkan tidak tahu kalau sang Papa terus memperhatikannya. Tapi, pandangan mata bangga dari Aarav, membuat Olive lega.
Aarav yang sedari tadi memperhatikan sang putri, beralih pandangan pada Olive. Ia berdiri memperhatikan Olive yang terlihat sigap mengatur segalanya.
Ada sesuatu tentang wanita itu yang menarik perhatian Aarav. Meski hanya seorang asisten di kantornya, Olive tampak begitu berbeda saat berada di rumahnya sendiri—tenang, penuh perhatian, dan terlihat begitu berjuang demi keluarganya.
"Kamu hebat sekali mengatur semuanya sendiri." Aarav memulai pembicaraan saat Olive berhenti di dekat meja untuk merapikan lilin kue ulang tahun.
"Ah, ini sudah biasa, Pak. Kalau bukan saya, siapa lagi? Aku hanya tinggal bersama Peter, adikku. Jadi harus saling membantu," jawab Olive dengan senyum kecil. Namun, matanya sedikit redup, menunjukkan kelelahan yang berusaha ia sembunyikan.
Aarav mengangguk. "Tapi itu tidak mudah. Kamu jelas sangat sayang pada keluargamu."
Ucapan Aarav membuat Olive terdiam sesaat. Ada rasa haru yang sulit ia ungkapkan, tetapi ia hanya menjawab ringan, "Semua orang pasti akan melakukan hal yang sama."
Tiba-tiba, Alesia berlari ke arah mereka sambil membawa balon yang hampir meletus karena ditiup terlalu besar.
"Papa, lihat! Aku bantu Bibi Olive tiup balon! Papa juga bantu dong!"
Aarav tertawa kecil melihat antusiasme putrinya. "Baiklah, Princess. Papa bantu. Tapi jangan tiup balon sampai meletus, ya?"
Sambil membantu Alesia, Aarav menyempatkan diri berbicara dengan Olive.
"Kalau malam ini semuanya lancar, mungkin kita bisa berkunjung lagi lain waktu. Alesia sangat menikmati waktunya di sini."
Olive tersenyum mendengar itu. "Tentu saja, Pak Aarav. Saya juga senang Alesia bisa menikmati suasana di sini."
Namun, di lubuk hatinya, Olive merasa sedikit khawatir. Kehadiran Aarav dan Alesia yang membawa kehangatan membuat Olive merasa nyaman, tetapi ia tahu bahwa dunia mereka terlalu jauh berbeda.
Ketika semuanya sudah siap, waktu nyatanya berjalan dengan cepat.
Jam sudah menunjukkan pukul 19.00, tapi Peter belum pulang juga. Acara yang hanya dihadiri oleh Alesia, Aarav dan dirinya. Menjadi sangat sepi.
"Olive, tidak ada tamu undangan?" tanya Aarav cukup kaget dengan suasana pesta. Harusnya banyak orang disana tapi tidak ada sama sekali.
"Ya, Pak. Saya hanya melakukan pesta ini bersama adik. Tapi orang ini lama bener datangnya, bentar aku telepon dulu."
Olive segera mengambil ponsel dari meja kecil di sudut ruangan, lalu mencari nama Peter di daftar kontaknya. Ia menempelkan ponsel di telinga sambil menunggu nada sambung.
Aarav yang berdiri tak jauh darinya memperhatikan dengan seksama. Alesia, di sisi lain, sibuk dengan balon di dekat meja.
"Peter, kamu di mana? Acara sudah mau dimulai, tapi kamu belum sampai," ucap Olive dengan nada tegas bercampur khawatir.
"Maaf, mbak. Aku masih di jalan. Ada sedikit masalah di bengkel tadi, jadi mobilku terlambat selesai diperbaiki. Aku akan sampai dalam 20 menit lagi, tunggu ya!" suara Peter terdengar di seberang sana.
Olive menghela napas panjang. "Baiklah, cepat ya. Semua sudah siap di sini."
Setelah menutup telepon, Olive berbalik ke arah Aarav. "Adik saya masih di jalan, Pak. Maaf kalau harus menunggu lebih lama."
Aarav menggeleng dengan santai. "Tidak masalah, Olive. Kami bisa menunggu. Alesia terlihat sangat menikmati suasananya."
"Betul, Papa!" seru Alesia sambil melambaikan balon di tangannya. "Aku suka di sini! Aku gak mau pulang cepat!"
Mendengar itu, Olive tersenyum kecil. "Terima kasih, Alesia. Tapi nanti Papa harus pulang, lho. Jangan bikin Papa repot."
Alesia hanya tertawa kecil tanpa menjawab. Aarav memandang Olive sejenak sebelum berkata, "Kalau perlu bantuan, jangan sungkan bilang. Aku dan Alesia bisa membantumu mengisi waktu sambil menunggu Peter."
"Terima kasih, Pak Aarav. Tapi semuanya sudah siap. Kita hanya perlu menunggu adik saya datang," jawab Olive sopan.
Namun, dalam hati, ia merasa sedikit canggung. Keberadaan Aarav di rumahnya yang sederhana terasa seperti dua dunia yang bertabrakan. Olive berusaha keras untuk tetap tenang dan menjaga sikapnya, meskipun kehadiran pria itu tak bisa ia abaikan begitu saja.
•••
Beberapa menit kemudian, suara mobil terdengar mendekat. Olive segera membuka pintu, dan Peter muncul dengan wajah lelah namun membawa senyum lebar.
"Mbak, maaf banget terlambat!" Peter mengucap cepat sambil keluar dari mobilnya. Ia melirik Aarav dan Alesia yang sedang duduk di sofa. "Oh, ini tamu Mbak Olive? Maaf ya jadi harus menunggu."
Alesia melambaikan tangan dengan riang. "Hai! Aku Alesia! Kamu pasti Paman Peter, kan?"
Peter tertawa kecil. "Betul sekali. Halo, Alesia. Terima kasih sudah datang."
Aarav berdiri dari tempat duduknya dan mengulurkan tangan ke arah Peter. "Senang bertemu denganmu. Aku Aarav, Papa Alesia."
Peter menjabat tangan Aarav dengan sopan. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang, Pak Aarav."
Setelah menyapa semua orang, Peter berjalan ke dapur untuk mencuci tangan sebelum bergabung. Olive mengatur ulang meja dan memastikan kue ulang tahun berada di tengah.
"Peter, ayo cepat. Kita mulai sekarang!" panggil Olive dengan nada ceria.
Mereka pun berkumpul di meja, menyalakan lilin, dan menyanyikan lagu ulang tahun untuk Peter. Alesia tampak paling bersemangat, bertepuk tangan keras-keras dan tersenyum lebar.
Dia berdoa sambil melipatkan jemarinya. Di dalam doanya, terselip harapan untuk kakaknya.
Semoga Mbak Olive bisa mendapatkan pengganti Mario. Semoga Mbak Olive bahagia selalu.
Setelah doa selesai, Peter meniup lilin dengan mata terpejam.
"Makasih, mbak. Makasih semuanya. Ini ulang tahun yang spesial banget."
Olive menepuk pundaknya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja spesial. Mbak gak akan melewatkan ulang tahunmu, Peter."
Aarav memperhatikan mereka dengan diam-diam. Ia bisa melihat hubungan yang erat antara Olive dan adiknya. Ada rasa kagum yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Wanita itu bukan hanya pekerja keras, tetapi juga penuh kasih terhadap keluarganya.
Saat mereka menikmati makanan kecil dan bercengkerama, Aarav merasa seperti berada di dunia yang berbeda—dunia yang hangat, sederhana, namun penuh dengan cinta. Sesuatu yang sudah lama ia rindukan tanpa sadar.
Namun untuk Olive sendiri, merasa ada yang berbeda karena setiap ulang tahun Peter, akan ada sosok Mario yang berdiri disampingnya.
"Hari ini adalah pertama kalinya aku merayakan hari ulang tahun adikku tanpamu, Mario," batinnya lirih.