Full Remake, New Edition 🔥🔥
Ini adalah perjalanan Iramura Tenzo, seorang pejuang yang dipanggil ke dunia baru sebagai seorang pahlawan untuk mengalahkan raja iblis.
Namun, dia gugur dalam suatu insiden yang memilukan dan dinyatakan sebagai pahlawan yang gugur sebelum selesai melaksanakan tugasnya.
Akan tetapi dia tidak sepenuhnya gugur.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali muncul, menginjak kembali daratan dengan membawa banyak misteri melebihi pedang dan sihir.
Ia memulai lagi perjalanan baru dengan sebuah identitas baru mengarungi daratan sekali lagi.
Akankah kali ini dia masih memegang sumpahnya sebagai seorang pahlawan atau mempunyai tujuan lain?
Ini adalah kisah tentang jatuhnya seorang pahlawan, bangkitnya seorang legenda, dan perang yang akan mengguncang dunia.
Cerita epik akan ditulis kembali dan dituangkan ke dalam kisah ini. Saksikan Petualangan dari Iramura Tenzo menuju ke jalur puncak dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Pertarungan
Pintu gerbang akhirnya terbuka. Udara dingin menyembur dari dalam, membawa aroma tanah lembap dan batu tua yang telah terkikis waktu. Cahaya dari luar perlahan meredup saat keempat pahlawan melangkah masuk, disambut oleh kegelapan dan bayangan raksasa yang menari di antara tiang-tiang batu yang menjulang.
Andreas, yang berada di barisan terdepan, tiba-tiba berhenti. Hatinya berdebar. Ada sesuatu—sebuah tekanan tak kasat mata yang menyelimuti ruangan, seolah udara sendiri menjadi lebih berat. Matanya menyipit, menembus bayangan di kejauhan.
"Siapkan sihirmu," bisiknya tajam kepada Carla.
Carla tidak menjawab. Ia hanya menutup mata dan mulai merapalkan mantra. Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan, namun setiap kata yang ia ucapkan membawa getaran magis yang merambat ke udara.
Seiring mantra mengalun, lingkaran sihir terbentuk di bawah kakinya—lingkaran bercahaya dengan simbol-simbol kuno yang berputar perlahan. Dari titik tengahnya, energi magis mulai mengalir keluar, membentuk lapisan aura berwarna-warni yang menyelimuti mereka semua.
Setiap warna memiliki makna tersendiri.
Emas—menandakan perlindungan, membentuk perisai transparan yang mengikuti gerakan mereka seperti lapisan kedua kulit.
Biru—memberikan kecepatan, membuat tubuh mereka terasa lebih ringan, seolah-olah angin sendiri membantu setiap langkah mereka.
Merah—meningkatkan kekuatan serangan, mengalirkan panas ke dalam otot mereka, membuat setiap pukulan dan tebasan menjadi lebih mematikan.
Hijau—mempercepat regenerasi luka kecil, memulihkan energi tubuh agar mereka bisa bertarung lebih lama.
Aura itu berpendar lembut, menyatu dengan tubuh mereka, seperti lapisan cahaya yang bergerak mengikuti setiap gerakan.
Saat mereka semakin dalam, Andreas menemukan sesuatu di salah satu tiang. Ia melangkah mendekat, jemarinya menyentuh permukaan batu yang dingin. Ukiran kuno tertoreh di sana—seseorang berdiri di atas awan, melemparkan seekor ular kecil ke dalam tanah. Namun, di gambar berikutnya, ular itu berubah menjadi raksasa yang mengerikan, membantai manusia di sekelilingnya.
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, getaran tajam menjalar di tanah. Suara gemuruh terdengar dari kegelapan.
Dua mata kuning menyala.
Perlahan, dari bayang-bayang di antara tiang-tiang raksasa, sebuah kepala ular raksasa muncul. Sisiknya hitam berkilauan seperti obsidian, dan saat ia bergerak, suara gesekan antar sisik terdengar seperti baja yang saling bergesek. Ukurannya luar biasa—diameter tubuhnya hampir menyamai pilar-pilar raksasa yang menopang langit-langit gua.
Monster itu bergerak cepat. Dengan gesit, ia melesat di antara tiang-tiang, tubuhnya yang raksasa tidak menghambat kelincahannya. Setiap gerakannya disertai dengan hembusan angin yang cukup kuat untuk menggoyangkan jubah mereka.
"Semuanya, pergi dari sini!!"
Hanibal berteriak nyaring, suaranya mengguncang udara seperti gemuruh petir. Tanah di bawah mereka bergetar, bercampur dengan getaran dari kedatangan monster itu.
Tanpa berpikir dua kali, ketiganya melompat ke berbagai arah. Tapi Hanibal tetap di tempatnya.
Dalam sekejap, ular itu menghantamnya dengan kekuatan penuh. Tubuh Hanibal terseret, menabrak gerbang dengan dentuman yang mengguncang seluruh gua. Namun, sebelum debu sempat mengendap, sesuatu terjadi.
Cahaya kuning muncul di sekitar tubuh monster itu. Kilatan petir merambat di sepanjang sisiknya, menari seperti ular kecil yang berkelindan di udara. Beberapa detik kemudian, energi itu meledak.
"BOOM!!"
Ledakan petir menyambar, menerangi seluruh gua dengan cahaya menyilaukan. Energinya begitu kuat, gelombangnya menghancurkan beberapa tiang batu di sekitar gerbang. Sihir perlindungan Carla bergetar hebat, hampir terkoyak oleh kekuatan murni dari serangan itu.
Tak mungkin ada yang bisa bertahan.
Namun, saat asap mulai menipis, siluet seseorang perlahan terlihat.
Di depan wajah monster itu, sepasang tangan mencengkeram erat tanduk kecil di kepalanya. Hanibal berdiri tegak, tubuhnya utuh tanpa luka sedikit pun.
"Self Defend."
Aura transparan yang hampir tak terlihat masih menyelimuti tubuhnya. Itu bukan perisai biasa—ini adalah pelindung magis yang bukan hanya menyerap serangan, tetapi juga menyalurkan sebagian energi lawan kembali kepadanya.
Namun, itu bukan satu-satunya perlindungan yang ia miliki.
Di sekelilingnya, ada lapisan samar berwarna emas—Aegis Barrier, sihir perlindungan yang telah diberikan Carla sebelumnya. Tidak hanya menahan serangan fisik, tetapi juga meredam efek sihir destruktif. Dua perlindungan ini membuat Hanibal berdiri tak tergoyahkan, seolah serangan dahsyat tadi hanyalah angin lalu.
Senyum tipis terukir di wajahnya.
"Hahaha... Apakah hanya ini yang bisa kau lakukan?" katanya, suaranya penuh ejekan.
Monster itu menggeram marah. Bola mata kuningnya berkilat, dan listrik kembali merambat di tubuhnya, bersiap untuk serangan berikutnya.
Tapi Hanibal tidak bergerak. Tangannya masih mencengkeram tanduk kecil di kepala monster itu. Dan kali ini, dialah yang bersiap untuk menyerang.
Ular raksasa itu masih menggeliat sangat liar, mencoba mengusir Hanibal yang menempel di tanduknya.
Hanibal tidak ingin memberikan kesempatan lagi. Dengan kedua tangannya yang kuat, ia mencengkeram kepala monster itu dan dengan tenaga luar biasa, ia membantingnya ke samping.
"Duaaam!!"
Tanah bergetar hebat saat tubuh raksasa itu menghantam dinding gua, menciptakan retakan besar yang menjalar ke segala arah. Debu dan pecahan batu beterbangan di udara, menyelimuti medan pertarungan dengan kabut tebal.
Hanibal tidak berhenti di situ. Ia meraih kapak raksasanya, senjata dengan bilah berukuran hampir sebesar tubuhnya sendiri. Kedua tangannya menggenggam erat gagang kapak, aura energi cokelat keemasan mulai mengalir ke seluruh permukaannya, menggetarkan udara di sekitarnya.
Dengan satu loncatan yang menghancurkan tanah di bawahnya, ia melesat tinggi ke udara. Matanya menyala penuh determinasi. Kapaknya bergetar hebat, dipenuhi energi bumi yang menyatu dengan kekuatannya.
"EARTHUKAER!!!"
Kapak itu turun dengan kecepatan luar biasa, menebas udara dan menghantam kepala ular dengan kekuatan yang mampu memecahkan gunung.
"BOOOOOM!!!"
Dentuman maha dahsyat menggema di seluruh gua. Tanah di sekitar mereka pecah seperti kaca, menciptakan retakan yang dalam. Ular raksasa itu terdiam, tubuhnya terpaku di tempat, seolah kekuatan serangan Hanibal telah membekukan gerakannya.
Hanibal menyeringai sombong, menatap ke arah makhluk itu.
"Apa kau sudah kalah, ular sialan?" tanyanya dengan nada meremehkan.
Namun, sebelum ia bisa menikmati kemenangannya, hawa panas yang luar biasa tiba-tiba menyelimuti arena. Udara di sekitarnya bergetar, membuat napasnya terasa lebih berat.
"Hawa panas apa ini...?" Hanibal mendongak, matanya membelalak lebar.
Di atas sana, Carles melayang di udara, tubuhnya dikelilingi oleh pusaran api yang berputar seperti badai. Cahaya oranye menyala terang, memantulkan bayangan panjang ke seluruh ruangan. Ia memegang tombaknya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memanipulasi api yang membalut senjata itu.
Semakin lama, api tersebut semakin terang, nyaris menyilaukan mata. Udara di sekitar Carles beriak akibat suhu ekstrem yang ia pancarkan.
Carles tersenyum. "Hanibal, hati-hati ya!" katanya dengan nada main-main.
Lalu, dengan gerakan cepat, ia mengangkat tombaknya dan melemparkannya ke arah ular.
"JAVELIN: RISING STAR!!"
Tombak itu melesat bagaikan meteor yang turun dari langit. Api yang menyelimutinya berputar seperti pusaran, menciptakan jejak panas yang membakar udara di sekitarnya. Dalam hitungan milidetik, tombak itu menghantam kepala ular.
"DOOOOOM!!!"
Begitu menyentuh permukaan kulit monster itu, energi dari tombak meledak dahsyat. Gelombang api menyebar ke segala arah, menciptakan ledakan yang begitu kuat hingga tanah di bawahnya merekah dan membentuk kawah raksasa. Lava cair muncul dari retakan tanah yang membara, seakan gua itu telah berubah menjadi neraka.
Namun, akibat dari ledakan tersebut, Hanibal ikut terhempas. Tubuhnya melayang jauh sebelum akhirnya menghantam pilar batu dengan keras.
"DUAGH!"
Meskipun ia tidak terluka—berkat sihir pertahanannya—rasa kesal membuncah di dadanya. Ia segera bangkit dengan wajah merah padam karena amarah.
"OI, SIALAN! APA KAU TIDAK PUNYA MATA?! Kenapa langsung menyerang tanpa menungguku pergi dulu!?" teriaknya.
Carles, yang masih melayang di udara, hanya tertawa ringan. "Hahaha. Kan sudah kubilang hati-hati."
Ia lalu melipat tangan di dada dan menatap Hanibal dengan senyum penuh ejekan. "Tapi kau kan kuat, ya? Jadi tak masalah, 'kan?"
Hanibal mengepalkan tinjunya. "SIALAN KAU!! Setelah ini, aku akan membunuhmu!!"
Carles pura-pura memasang ekspresi ketakutan, lalu berkata dengan nada bercanda, "Tolong~ siapa saja, tolong aku~! Ada tante galak yang ingin membunuhku!"
"KUBUNUH KAU BENARAN, CARLES!!!"
Namun, pertengkaran mereka terhenti seketika.
Bayangan besar menutupi tubuh mereka.
Perlahan, mereka menoleh ke belakang. Mata mereka membelalak saat melihat sosok ular raksasa itu kembali bangkit. Meskipun kepalanya telah setengah hancur, monster itu masih berdiri tegak, kedua matanya bersinar dengan amarah yang membara.
Di kejauhan, Carla yang sejak tadi mengamati, berusaha memperingatkan mereka. "Kalian... berhentilah bertengkar. Monster itu masih hidup!" katanya dengan suara panik.
Namun, pertengkaran mereka begitu keras sehingga suaranya tenggelam di antara teriakan mereka sendiri.
Ular itu bergerak, tubuhnya melingkar dan tampak siap melancarkan serangan baru. Tapi sesuatu yang aneh terjadi.
Alih-alih menyerang, monster itu berbalik badan dan mulai meluncur ke arah yang berlawanan.
Hanibal dan Carles mengerutkan dahi.
"Oi, kenapa dia pergi?" tanya Hanibal, bingung.
Carles menyeringai. "Hah, mungkin dia takut padaku?" katanya dengan nada sombong.
Hanibal menatapnya tajam. "Bercanda sekali lagi, dan aku akan membelah kepalamu menjadi dua."
Saat itu, Carla akhirnya berhasil mencapai mereka dan berteriak dengan wajah penuh kekhawatiran. "Ular itu... ular itu... dia pergi ke arah Ketua!"
Hanibal dan Carles saling berpandangan.
""Hah?! Apa yang kau bilang tadi?""
Carla menunjuk ke depan. Napasnya tersengal saat ia mengulang ucapannya, "Itu... ular itu sedang menuju ke Ketua!"
Kesadaran menghantam mereka seperti palu godam.
Tanpa membuang waktu, mereka mulai mencari-cari sosok pemimpin mereka, Andreas. Namun, sejauh mata memandang, mereka tidak menemukannya.
Tatapan mereka beralih ke arah ular yang semakin menjauh. Pada saat itu juga, mereka menyadari suatu hal.
""DIA!!""