Ini adalah kisah antara Andrean Pratama putra dan Angel Luiana Crystalia.
kisah romance yang dipadukan dengan perwujudan impian Andrean yang selama ini ia inginkan,
bagaimana kelanjutan kisahnya apakah impian Andrean dan apakah akan ada benis benih cinta yang lahir dari keduanya?
Mari simak ceritanya, dan gas baca, jangan lupa like dan vote ya biar tambah semangat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 — Belajar Menjadi Ayah
Bogor, Enam Bulan Setelah Lian Datang.
Hujan sore itu turun pelan-pelan, kayak suara bisikan di atap rumah. Andrean duduk di ruang tengah, di karpet empuk yang biasa jadi arena main Reyhan dan Anelia. Lian duduk di depannya, mainin potongan puzzle bergambar laut.
Reyhan ngintip dari dapur, bawa dua gelas susu. Satu buat dia, satu lagi buat Lian. Dia naruh pelan di samping bocah itu, lalu duduk di sebelahnya.
“Mau barengan nyusun, nggak?” tawar Reyhan.
Lian diem. Dia liat Andrean sebentar, lalu geser badannya, ngasih ruang buat kakaknya.
Andrean ngelus rambut dua anak itu. Ada rasa yang nggak bisa dia jelas-in. Campuran syukur, lega, sama takut.
Dia belajar dari awal lagi... jadi ayah.
Malam itu, Kayla ngeliat Andrean masih duduk di ruang kerja. Laptopnya nyala, halaman kosong di layar. Tapi Andrean nggak ngetik apapun.
Kayla masuk, duduk di sebelahnya. “Kenapa?”
Andrean geleng pelan. “Gue takut, Kay.”
Kayla diem, nunggu.
“Takut nggak bisa jadi ayah buat Lian,” lanjut Andrean, suaranya serak. “Takut... dia nggak ngerasa rumah ini beneran buat dia.”
Kayla narik tangan Andrean, masukin ke genggamannya. “Lo nggak perlu sempurna, Dre. Cuma butuh jujur.”
Andrean natap istrinya. “Kalau dia nanya... kenapa lo nerima dia?”
Kayla senyum, matanya ngaca. “Karena gue cinta sama lo, Dre. Dan anak lo, ya bagian dari hidup lo.”
Andrean cium tangan Kayla. Lama. Dia nggak pernah ngerasa segitu diselamatkan kayak sekarang.
Tiga Hari Kemudian. Sabtu Pagi.
Mereka bertiga—Andrean, Reyhan, dan Lian—jalan kaki ke lapangan bola. Udara Bogor adem, sisa embun masih nempel di rumput.
Reyhan bawa bola, Lian bawa minuman. Mereka ketawa bareng. Andrean perhatiin dua anak cowoknya lari-larian, lalu nendang bola ke arah dia.
“Papa! Jaga gawang!” teriak Reyhan.
Andrean ketawa, berdiri di antara dua sandal yang dijadiin tiang gawang. Lian nendang bola pelan. Andrean sengaja jatuhin diri, pura-pura gagal nangkep.
“Golll!!” Lian lompat, mukanya pertama kalinya keliatan lepas. Senyum gede, kayak nggak pernah ada luka sebelumnya.
Andrean liat itu, dadanya hangat.
Dia mulai percaya... mungkin dia bisa belajar jadi ayah.
Malamnya.
Lian duduk di ranjang, bawa buku cerita. Anelia udah tidur di sebelahnya, napasnya teratur.
“Papa,” panggil Lian pelan.
Andrean duduk di tepi ranjang, nunggu.
Lian tunjuk ke gambar di buku. “Ini... laut?”
Andrean angguk. “Iya. kamu pernah liat laut?”
Lian diem sebentar. “Sama mama Angel. Tapi jauh.”
Andrean tarik napas. Dia usap kepala anak itu. “Suatu hari, kita ke laut bareng-bareng, ya?”
Lian senyum tipis. “Sama mama Kayla juga?”
Andrean ketawa pelan. “Iya. Mama Kayla, Reyhan, Anelia... semua.”
Lian merem pelan. “Papa... makasih.”
Andrean diem. Kata-kata sederhana itu lebih nyampe daripada apapun.
Seminggu Kemudian.
Andrean dapet telpon dari penerbit. Novel triloginya bakal diadaptasi jadi film. Mereka minta Andrean jadi konsultan cerita.
Dia cerita ke Kayla malam itu, di teras belakang.
“Kalau gue terima, harus ke Jakarta tiap minggu,” kata Andrean.
Kayla diem, lalu ngelirik ke ruang tengah. Lian lagi main sama Reyhan dan Anelia.
“Lo mau?” tanya Kayla pelan.
Andrean ngangguk ragu. “Dulu gue mau. Sekarang... gue nggak tau.”
Kayla pegang tangan Andrean. “Kalau itu bikin lo seneng, gue dukung. Tapi kalau nggak, rumah ini udah cukup.”
Andrean diem. Lama. Lalu senyum. “Rumah ini udah cukup.”
Dia peluk Kayla, dan malam itu hujan turun lagi. Pelan-pelan. Tapi hangat.
Kadang butuh waktu lama buat ngerti... keluarga bukan soal siapa yang dateng pertama kali, tapi siapa yang bertahan paling akhir.
Andrean belajar, jadi ayah bukan tentang darah. Tapi tentang siapa yang nggak pergi pas badai datang.
Dan buat Lian, Reyhan, Anelia... dia bakal bertahan.
Bersambung