Aulia, gadis sederhana yang baru saja bekerja sebagai office girl di kantor megah milik CEO ternama yang dikenal kaku dan sulit didekati, tiba-tiba menjadi pesuruh pribadinya hanya karena kopi buatan Aulia.
Hayalannya menjadi karyawan yang baik dan tenang hancur seketika akibat bosnya yang tukang suruh-suruh hal yang tidak-tidak semakin membuatnya jengkel.
Sifatnya yang ceria dan kelewat batas menjadi bulan-bulanan bosnya. Akankah ia mampu bertahan demi uang yang berlimpah? Atau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Paham
...****************...
Teddy mengemudikan mobil dengan santai, sesekali melirik ke arah Aulia yang duduk di kursi penumpang. Sejak kejadian hampir ketabrak tadi, Aulia tidak banyak bicara, meskipun ia sudah tertawa-tawa seperti biasa.
Saat mobil berhenti di depan gedung apartemen, Aulia menoleh ke arah Teddy.
"Eh, naik bentar, yuk," katanya tiba-tiba.
Teddy mengangkat alis. "Ngapain?"
"Tangan Mas luka tuh," ujar Aulia sambil menunjuk telapak tangan Teddy yang merah dan sedikit lecet akibat terjatuh tadi. "Saya obatin dulu, kasihan kalau infeksi."
Teddy melihat tangannya sekilas. "Ah, gak parah, Aul."
Aulia mendecak. "Udah, ikut aja. Gak lama kok."
Teddy akhirnya mengalah dan mengikuti Aulia masuk ke dalam lift menuju apartemennya.
Begitu masuk, Teddy duduk di sofa sementara Aulia bergegas ke dapur untuk mengambil kotak P3K.
"Nih, taruh tangan Mas di sini," kata Aulia setelah kembali, menunjuk ke meja kecil di depannya.
Teddy menghela napas, lalu menaruh tangannya.
Aulia mulai membersihkan luka dengan kapas antiseptik. "Sakit gak?"
"Enggak," jawab Teddy santai.
"Tahan dikit ya," ujar Aulia sebelum menempelkan plester. Tangannya begitu telaten dan hati-hati, membuat Teddy sedikit terdiam.
Suasana di antara mereka tiba-tiba terasa lebih tenang dari biasanya.
Teddy menatap Aulia yang fokus mengobati tangannya. Ia jarang melihat sisi ini dari Aulia—biasanya cewek ini selalu tengil, cerewet, dan suka bikin rusuh. Tapi saat ini, ada sisi lembut yang berbeda.
"Udah, beres," kata Aulia akhirnya, tersenyum puas.
Teddy menatap tangannya yang sudah diperban rapi. "Makasih, suster."
Aulia terkekeh. "Sama-sama, pasien."
Mereka pun berdiri, bersiap keluar.
Namun begitu pintu terbuka—
Mereka langsung dihadapkan pada sosok Aldiano yang berdiri di depan apartemen Aulia.
Tatapan Aldiano dingin.
Teddy otomatis membeku di tempat.
Aulia juga refleks menelan ludahnya.
Mata Aldiano langsung tertuju pada Teddy, menelusuri pria itu dari ujung kepala sampai ujung kaki, sebelum akhirnya menatap tangan Teddy yang sudah diperban.
Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik.
Suasana tegang memenuhi udara.
Aulia mencoba mencairkan suasana dengan senyum kaku. "Eh, Pak Bos. Ngapain di sini?"
Alih-alih menjawab, Aldiano mengalihkan pandangannya kembali ke Teddy.
"Kau dari apartemennya?" Suaranya rendah dan tajam.
Teddy yang biasanya santai, kali ini merasakan tekanan berbeda. Ia mengangguk. "Aulia cuma bantu ngobatin tangan saya."
Aldiano melirik sekilas ke tangan Teddy, lalu kembali menatapnya. "Begitu."
Teddy bisa merasakan bahwa Aldiano tidak sepenuhnya percaya.
Sementara itu, Aulia merasakan hawa dingin dari ekspresi bosnya.
"Eh, udah malam. Mas, kamu pulang aja dulu," kata Aulia cepat, berusaha mengakhiri situasi canggung ini.
Teddy juga menangkap sinyal itu. Ia mengangguk ke arah Aulia, lalu menatap Aldiano sekilas sebelum melangkah pergi.
Begitu pintu lift tertutup, Aulia menoleh ke Aldiano dengan senyum canggung.
"Pak Bos, serius deh, dia cuma—"
"Apa yang dia lakukan di dalam?" potong Aldiano datar, matanya tajam menusuk.
Aulia menelan ludah. "Gak ngapa-ngapain. Cuma ngobatin tangannya, sumpah."
Aldiano tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Aulia dalam-dalam, seolah sedang menilai apakah dia berkata jujur atau tidak.
Lalu, tanpa peringatan, Aldiano melangkah masuk ke dalam apartemen Aulia.
Aulia terbelalak. "Eh, Pak! Ngapain masuk?"
Aldiano berjalan ke tengah ruangan, melihat sekeliling, lalu menatap meja di mana perban dan kapas antiseptik masih berserakan.
Matanya kembali ke Aulia. "Aku ingin memastikan."
Aulia menghela napas dalam. "Astaga, Pak Bos. Saya ini bukan anak kecil, gak mungkin ngapa-ngapain!"
Aldiano menatapnya tajam, lalu perlahan mendekat.
"Jaga jarak dengan Teddy," ujarnya pelan namun tegas.
Aulia mengerutkan kening. "Kenapa?"
Aldiano tidak menjawab. Ia hanya menatapnya sesaat sebelum berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan Aulia yang masih bingung dengan tingkahnya.
Saat pintu apartemen tertutup, Aulia berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Di luar, Aldiano berdiri sejenak di lorong, ekspresinya tetap dingin.
...****************...
Aulia baru saja hendak menghela napas lega setelah Aldiano keluar dari apartemennya. Tapi, sebelum sempat bergerak, pintu kembali terbuka dengan tiba-tiba.
Aldiano melangkah masuk lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih gelap dan ekspresi yang sulit ditebak.
"Pak Bos?!" Aulia terlonjak kaget. "Loh, bukannya udah keluar—"
Brak!
Pintu ditutup dengan sedikit kasar.
Aulia otomatis mundur selangkah, tiba-tiba merasa ada yang tidak beres dengan cara Aldiano menatapnya.
Dengan langkah pelan tapi pasti, Aldiano mendekatinya.
"Apartemen ini diberikan untukmu," suaranya rendah, tetapi ada ketegasan di sana. "Bukan untuk memasukkan pria lain ke dalamnya."
Aulia menegang. "Loh, Pak—"
Dia semakin maju.
Aulia refleks mundur, tapi Aldiano terus berjalan mendekat. Setiap langkahnya membuat ruang antara mereka semakin menyempit, hingga akhirnya…
Punggung Aulia mentok ke tembok.
Mampus.
Dia mencoba mengangkat tangan untuk memberi jarak, tapi Aldiano lebih cepat. Tangan pria itu terangkat, menekan dinding di sebelah kepala Aulia, mengurungnya tanpa celah untuk kabur.
Dada Aulia mulai naik turun cepat. "Pak Bos, ini—"
Aldiano tiba-tiba menunduk, mendekatkan wajahnya ke sisi telinga Aulia. Nafasnya terasa hangat di kulitnya, membuat bulu kuduk Aulia meremang.
"Jangan pernah lagi kau mendekati seorang pria," bisiknya pelan, nyaris seperti ancaman.
Aulia menegang.
"Kenapa?" suaranya nyaris serak, matanya berkedip cepat.
Aldiano diam sejenak, sebelum menyandarkan satu tangannya ke tembok, semakin mendekat.
"Cukup aku," katanya lirih, tapi nadanya tidak main-main. "Gunakan aku."
Jantung Aulia seakan berhenti berdetak sedetik.
Matanya membesar, kepalanya mulai memproses makna kata-kata pria itu.
"Tunggu… apa?"
Aldiano menarik wajahnya sedikit, menatap langsung ke dalam mata Aulia. Tatapan tajamnya seperti menusuk, seperti menuntut sesuatu yang bahkan Aulia sendiri tidak tahu.
Hening.
Aulia menelan ludah.
Sial. Kenapa atmosfernya jadi begini?!
"A-Apakah Pak Bos sadar barusan ngomong apa?" Aulia mencoba tertawa kaku, tapi gagal total.
Aldiano hanya diam.
Lalu, dengan gerakan lambat, dia mengangkat tangannya dan menyelipkan satu helai rambut Aulia ke belakang telinganya.
"Jangan buat aku mengulangnya," ucapnya sebelum akhirnya menarik diri, meninggalkan Aulia yang masih terjebak di antara kebingungan dan debaran jantung yang entah kenapa tidak mau tenang.
Setelah itu, Aldiano berbalik, melangkah keluar dengan tenang, seakan tidak terjadi apa-apa.
Brak.
Pintu apartemen tertutup.
Aulia masih membeku di tempatnya, matanya berkedip beberapa kali.
Apa barusan… mimpi?
Atau—
"APAAN, SIH, ITU?!" teriaknya akhirnya, memegangi dadanya yang masih berdebar kencang.
.
.
Next👉🏻
Dalam dunia kerja, tidak ada adaptasi dengan dikasih waktu berkeliling. Perusahaan manapun waktu adalah uang, dan mereka tidak mau yang namanya rugi.
kalo diterima itu artinya sudah siap langsung bekerja. perkara tidak tahu, biasanya diminta untuk bertanya pada senior/pegawai yang sudah lama bekerja. itu logik bukan hujatan ya.
Tolong riset dulu ya biar logik ceritanya
dibandingkan temui, pilih kata 'menghadap' karena ini lingkungan kerja. Ada SOP jelas yang harus diperhatikan dan ditaati pegawai.
"Silahkan langsung menuju lantai lima belas. Kamu menghadap ke Pak Edwin bagian HRD," jawabnya bla bla
"Permisi. Saya Aulia, Office Girl yang baru. Mau lapor dulu nih, biar dibilang rajin," ujarnya