Menyukai seseorang itu bukan hal baru untuk Bagas, boleh dibilang ia adalah seorang playernya hati wanita dengan background yang mumpuni untuk menaklukan setiap lawan jenis dan bermain hati. Namun kenyataan lantas menamparnya, ia justru jatuh hati pada seorang keturunan ningrat yang penuh dengan aturan yang mengikat hidupnya. Hubungan itu tak bisa lebih pelik lagi ketika ia tau mereka terikat oleh status adik dan kakak.
Bagaimana nasib kisah cinta Bagas? apakah harus kandas atau justru ia yang memiliki jiwa pejuang akan terus mengejar Sasmita?
Spin off Bukan Citra Rasmi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hipertenlove ~ part 6
...Kamu pusat tata suryaku...
......Bagaskara Ragatan Niskala......
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sasi masih menggendong tasnya lengkap dengan seragam putih-putih siang ini. Tumpukan buku di lengan yang bikin otot lengan segede samson masih setia ia dekap di dada.
Alisnya mengernyit menghalau teriknya cuaca, dengan buliran keringat diantara cepolan rambut yang hampir semrawut karena lelahnya aktivitas belajar. Berulang kali ia berdecak dan menghentak jalan tempatnya berdiri.
"Si, ngga pulang?!" tanya basa-basi beberapa teman.
"Mau nginep." jawabnya sekenanya dengan bibir mengerucut kaya bebek.
"Shhh, lama ih!" omelnya mengkritik kelambanan mang Ujang.
"Si, mau bareng ngga? Nunggu jemputan?"
"Bukan. Nunggu malaikat maut..." jawab Sasi ngasal. Wajahnya semakin masam dan keruh saja ketika telfon yang masuk adalah pemberitahuan dari mang Ujang jika mobilnya terpaksa harus masuk bengkel, "den rara, aduh punten...ini teh tadi mesinnya berasap. Jadi aja mamang bawa ke bengkel, ternyata overheat..."
Harinya tak bisa lebih buruk lagi, entah karena bawaan sebentar lagi ia yang akan memasuki fase tamu bulanannya jadi bawaannya tuh kepengen marah-marah, orang nafas kenceng dikit aja bawaannya pengen maki-maki.
"Ih, si mamang mah! Terus gimana? Harusnya bilang dari tadi, jadi Sasi ngga nunggu-nunggu!" sewotnya dengan kobaran amarah yang meluap-luap, tanpa mau mendengar kalimat penyesalan apalagi maaf, Sasi langsung saja mematikan panggilan dari mang Ujang.
Begitu sifat dan perangai Sasi yang terkadang suka bikin orang rumah pengen jitak kepalanya sampai bubuk, Rashmi sempat menjulukinya little amih kalo gadis itu sedang berada di mode reognya. Mungkin karena bawaan bungsu-nya dan perlakuan dimanjakan oleh semua anggota keluarga yang membentuk karakter Sasi menjadi seperti itu.
Sasi yang kepalang ngambek, akhirnya menghubungi nomor siapapun sekenanya, entah itu teh Asmi, a Candra, a Bajra ataupun apih, namun kesemuanya memiliki dunianya sendiri.
"Apih, masa Sasi disini sendiri...kalo diculik gimana!" adunya.
(..)
"Aa mah ngga sayang Sasi!" omelnya.
(..)
"Teteh biasanya juga langsung otewe!" keluhnya lagi ketika satu-persatu anggota keluarganya tak bisa menjemput. Hampir saja matanya itu mengalirkan lelehan panas yang menganak sungai. Dari sekian ribu penghuni Bandung, dan sekian ribu pengguna kendaraan, ngga ada gitu satu pun yang nganggur buat dijadiin tebengan gratis?! Salahnya yang menghabiskan uang jajan hari ini untuk membeli pulpen-pulpen lucu segambreng sampe menuhin tas.
Hingga pilihan terakhirnya adalah merepotkan Bagas untuk ke sekian kalinya, "hallo, a Bagas...."
....
Entah kenapa, Bagas tak bisa mengatakan tidak. Dalam pikirannya daripada si bocil nebeng sama temen-temen ngga bener, atau justru dempet-dempetan sama tukang ojek, ia lebih percaya jika Sasi bersamanya. Rasa itu, tak tau sejak kapan, rasa posesif terhadap adek orang.
Baru saja Sasi mematikan panggilannya, tak lama Asmi memanggil, telat teh! Orangnya udah hampir mewek-mewek minta dijemput.
"Gue duluan. Ada perlu..." pamitnya padahal mereka baru 10 menit berada di luar ruangan demi menghirup udara kampus yang masih terasa segar, bersama sebotol teh dan soda dingin.
"Eh, mau kemana atuh meni buru-buru?"
Nongkrong yang unfaedah namun menghasilkan ketenaran itu terpaksa harus Bagas sudahi karena si adek kecil takut digondol orang.
"Cabut dulu, ada janji."
Fauzi memperhatikan ketergesaan Bagas, jika bukan karena perempuan sudah pasti karena band.
"Salsa?"
Bagas menggeleng, "si Sasi."
Fauzi mengehkeh geli, playboy satu itu memang selalu direpotkan oleh bocil manis satu itu. Manis, Sasi memang manis, bukan hanya manis, Fauzi akui Sasi memiliki pesonanya sendiri meskipun masih kelas 2 SMA.
"Gue duluan Zi, yo baraya!" salamnya melenggang meninggalkan teman-temannya setelah bertos ria.
Drrrtttt
Bak pejabat daerah, kehadiran Bagas begitu penting untuk siapapun, jika tadi Sasi dan Asmi, maka sekarang adalah permaisuri hatinya yang memanggil, "yank, dimana? Udah keluar? Sini atuh, aku lagi di tukang batagor..."
"Aku ada perlu dulu, Sa. Maaf ngga bisa anter pulang dulu ya..." jawab Bagas meredupkan senyuman Salsa disana.
"Emmhh, kok gitu ih. Penting ya, lebih penting dari aku ya..." terkadang sifat kekanakan dan egois pun sering timbul meski usia wanita itu tak lagi bisa disebut bocah. Disaat beginilah Bagas paling malas dengan perempuan.
Hanya des ahan lelah yang terdengar dari Bagas, dan Salsa mendengar itu. Maka cepat-cepat ia menyetujui permintaan Bagas, "ya udah, ngga apa-apa. Kamu ati-ati kalo gitu," ujar Salsa.
"Iya. Ya udah, aku matiin ya." se-simple itu untuk Bagas, toh mereka tak memiliki ikatan resmi apapun, janur kuning belum pernah melengkung mengibarkan nama keduanya. Jadi sah-sah saja baginya untuk berlaku semaunya, Bagas adalah pemuda yang tak mau diatur oleh orang lain, apalagi hanya orang yang baru dikenalnya.
Kunyahannya bahkan belum sampai membuat makanan lum at, namun Salsa telah menelannya bulat-bulat persis pil pahit, sepaket wajah redupnya.
"Kenapa Sa? Bagas pergi lagi?" sudah tak aneh bagi Irna mendengar Salsa yang mengeluhkan Bagas tak ada saat dirinya mau.
"Namanya juga Bagas, cowok paling sibuk, resiko punya cowok mahasiswa, mana anak band," jawabnya, ini seorang Bagas loh, yang semua pun tau pemuda keren satu itu bukanlah mahasiswa yang pendiem, tanpa memiliki kegiatan lain selain dari belajar.
Salsa mengangguk setuju. "Tapi kamu juga harus waspada Sa, kali aja kan, kita ngga tau ya, yang namanya cowok ganteng mah, apalagi anak band pasti banyak yang suka," terlebih Bagas.
Salsa segera menepis pernyataan Irna, "selama sama aku, Bagas ngga gitu Na. Ngga kaya pas sama yang lain," angguknya mantap, padahal kini hatinya ragu, really?
Salsa tau dalam kontak di ponselnya tak ada nama Sasi, namun jiwanya meronta-ronta penasaran ingin tetap mencari dan menscroll meskipun ia tau hasilnya akan nihil, feelingnya kuat merasa jika Bagas memang sedang bersama adiknya itu. Sempat Salsa bertemu Sasi di acara yang diadakan keluarga Bagas, namun ia tak sempat menanyakan nomor ponsel si adik kecil itu.
Terlebih saat bertanya pada Bagas pun, Bagas tak memberinya. Seribu alasan Salsa berikan namun Bagas tetap tak jua memberikannya, ketimbang nomor wa doang kaya mau minta berlian segudang! Alasan yang jelas ia gemakan adalah, Sasi bukan siapa-siapa dan ngga penting di hubungan kita. Dan selanjutnya Bagas terlihat kesal pada Salsa.
Bisa hubungi Fauzi atau anak sekre kalo aku ngga bisa dihubungi.
Kalo engga,
Kalo hape ku mati atau ngga bisa dihubungi, itu artinya aku lagi sibuk.
Sekian lama menunggu, bahkan pohon Angsana yang berdiri hampir seusia dengan usia sekolah Sasi saja telah merontokan dedaunannya hingga menutupi sebagian bahu jalan. Sesekali petugas kebersihan berompi biru dan oranye dari DLHK bergantian menyapukan rontokan daun kering yang terbawa angin itu.
"Tumben neng, belum dijemput?" satpam sekolah menggeser gerbang putih yang sempat dibukanya lebar saat membludaknya siswa di jam pulang sekolah tadi, gerbang besi bercat putih yang telah menjadi saksi bisu lulusnya generasi ke generasi anak muda berprestasi kota Bandung, sempat diganti dan berulang kali di cat ulang agar terlihat bersih.
Sasi menggeleng, "yang jemputnya kena macet pak," ujarnya mengobati diri sendiri, padahal sudah dari tadi hatinya menjerit jengkel, pengen jajan!!! Ia paling tak suka menunggu, menunggu itu pekerjaan paling memuakan.
"Di pos satpam aja atuh neng, nunggunya?" tawar ramah si bapak.
Sasi menggeleng, takutnya nanti justru Bagas tak melihatnya disana, "ngga apa-apa, pak. Disini aja. Sebentar lagi juga kayanya nyampe," may be.... Ia meniup rambut yang setia menutupi kening.
Setelah nunggu tujuh purnama bahkan para semut saja sudah sempat mengangkut sisa sisa makanan dari kantin untuk koloninya, sebuah sepeda motor datang dari arah kawasan dago, ia harus memutar terlebih dahulu karena jalan yang diterapkan satu arah menuju sekolah Sasi.
Wajah ketus Sasi menyapa setelah sekian lama meski kini hatinya lega bisa melihat Bagas, "a Bagas lama, Sasi jamuran disini." keluhnya.
"Kenapa ngga di masak aja dulu jamurnya kan bikin kenyang?" tawanya kecil berseloroh.
"Suruh siapa dadakan, aa naek motor bukan teleportasi." jawabnya tak mau kalah dari bocil, enak aja disalah-salahin, "mau naek atau cuma mau marah-marah?"
Sasi mengusap jok motor Bagas terlebih dahulu, seperti kebiasaannya, katanya takut disana bekas piknik para kuman, sembarangan!
"Ngga usah dibersiin, Si. motor aa ngga pernah di masukin ke ladang virus," omel Bagas.
"Siapa tau abis boncengin pacar a Bagas yang lagi cacingan." Balasnya sekenanya, menyebalkan memang, tapi jika tak menyebalkan bukan Sasi, dan Bagas tak bisa untuk tak terhibur saat bersama gadis ini. Kata-katanya terkadang pedas, namun bukankah makan pun ngga enak kalo ngga pedes? Warna hidup Bagas jadi lebih semarak mendapatkan lawan yang sepadan.
"Megang atuh!" pinta Bagas.
Puk! Pukulnya pelan di punggung.
"Udah ih, ini juga udah megang." Sasi mencengkram ujung di kedua sisi kemeja Bagas dengan kedua genggamannya.
"Kalo kaya gitu mah nanti kamu jatoh pas aa ngasih tarikan gas, sama sulap-salip di jalanan," alasan Bagas. Yang kelewat gatel kalo ngga godain adik kecilnya itu.
Sasi membalasnya dengan decakan, ia membenarkan posisi duduk yang memaksanya semakin merapat pada Bagas, lalu melingkarkan kedua lengannya itu dengan manis di perut Bagas, "udah. Cepet atuh jalan. Jangan sampe kita di klaksonin orang karena ngalangin jalan!" Gadis itu memiringkan kepalanya lebih dekat dengan Bagas, jujur saja hatinya serr-serr an, gilak parah! Tak dipungkiri Bagas itu ganteng dan keren serta wangi, dan Sasi adalah gadis abg yang normal, mungkin jika bukan status mereka yang menjadi penghalang, Sasi sudah menambatkan hatinya pada Bagas. Terlebih ia cukup tau diri jika Bagas memiliki banyak kekasih.
Tak jarang teman-teman Sasi termasuk Anjana, rekan sebangku dan sepenanggungan pun menitipkan salam kagumnya untuk Bagas.
Bagas mengurai senyuman hangat, merasakan situasi panas yang ia ciptakan sendiri melalui Sasi, sebut saja ia lelaki kurang ajar, saudara ipar breng sek....namun ia tak bisa mengelak, jika kini Sasi adalah pusat tata suryanya. Selalu ada gaya gravitasi yang menarik Bagas untuk selalu memusatkan perhatiannya untuk Sasi.
.
.
.
.
sainganmu berat a'...banyak lg yg kesemsem ama si neng...bukan wilang lagi yg udah sedari piyik memendam rasa ada jg tuh si akang surya kembara jg.... hmmm lika liku buat ngedapetin si eneng agaknya susah nie a"klo emang kmu dah sadar ama perasaanmu buat si neng....siap siap ajalah a"...😊
mb sin kebanyakan nongolin walang sihhh
gantung yeuh, pengin tau ketemuan mereka di rumah Alva
sugan Weh Aya selegit2 setrum diantara keduanya🤭😅
sedih aku kalau ingat kamu Lang, tapi mohon maaf, restu aku sudah kuberikan pada a' Bagas. kamu sama yang lain aja ya 🙏🙏🙏
haturnuhun updatenya teh Sin, semoga selalu sehat dan dilancarkan urusannya 🤲🤲😇