Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
(SELALU PERHATIKAN TANGGALNYA YA)
^^^^
18 Maret 2018
What's worse than knowing you want something, besides knowing you can never have it?
Kiana akhirnya tahu bahwa Rosa mengambil tempat dalam hati Dio. Tanpa menyisakannya sedikit untuknya, Rosa mencuri atensi milik laki-laki itu. Sepenuhnya. Membuat Kiana merasakan perasaan buruk sebab jelas menginginkan Dio yang tidak akan pernah dimilikinya.
Kiana mematung sesaat, dalam jarak 5 meter, di depan sana Dio sedang fokus dengan laptopnya di sofa seperti biasa. Di tangan kiana, ada selimut yang biasanya digunakan laki-laki itu untuk tidur di kamar tamu di lantai bawah. Walau seharusnya Kiana terbiasa, sayangnya tetap terasa nyelekit juga ketika ia ingat kejadian sebulan lalu, saat Dio menolaknya dan mengatakan bahwa ia mencintai Rosa.
"Ini selimut kamu, tadi Mbok Dar cuci."
Kiana meletakkan selimut untuk Dio di meja. Tanpa repot-repot menoleh pada Kiana, Dio menggumamkan terima kasih.
Kiana jengah, namun ia memilih duduk di sisi Dio dalam sejengkal jarak. Kepalanya menyerong, mencoba melihat apa yang selalu sibuk dikerjakan suaminya. Isinya tentu saja lembar demi lembar hal yang menurut Kiana membosankan.
"Memangnya nggak capek ya pulang kerja masih harus sibuk sama laptop?"
Dio menjeda kegiatannya menyadari Kiana memperhatikan laptopnya. "Kewajiban."
Kiana menoleh kearah wajah Dio dan laki-laki itu juga melihat kearah wajahnya. Keduanya bersitatap untuk detik-detik yang terasa melambat. Memberi waktu bagi Kiana untuk menelusuri wajah suaminya dengan leluasa. Wajah laki-laki yang sebulan sebelum menikah, mengajaknya berpacaran dengan serius. Wajah yang tentu saja, pernah menciumnya sekali ketika Kiana berulang tahun di hari ke 15 mereka berpacaran.
Ah ... mungkin saat itu, Kiana yang sejatinya mencium Dio dan laki-laki itu hanya membiarkan Kiana melakukan apapun sesuka hati. Semuanya demi pernikahan ini.
Kiana memutus pandangan, mengalihkannya ke langit-langit. Kiana mendongak. "Aku suka sama kamu cuma karena kamu pernah gendong aku ke UKS waktu SMA."
Dio menutup laptopnya. Dilepasnya kacamata bulat yang selalu dikenakannya ketika bekerja. "Kapan itu?"
"Kamu nggak ingat?"
Dio menggeleng.
"Waktu kamu baru pindah sekolah. Aku desminore karena hari pertama dapet. Sakit banget sampai pingsan. Tapi kamu dengan baik hatinya gendong aku ke UKS dan nungguin aku sampai aku siuman. Siapa yang nggak melting kalau diperlakukan begitu," kekeh Kiana. Matanya masih menatap langit-langit, menerawang pada kenang saat remaja yang membuatnya tersenyum.
"Mungkin kamu gampang jatuh cinta," ejek Dio.
Kiana mendengkus namun tak elak tertawa, "Gimana kamu bisa jatuh cinta sama Rosa?"
Dio terkejut. Ia menegapkan tubuhnya untuk kemudian menatap Kiana heran.
"Kamu pasti ya yang naksir dia duluan," ejek Kiana.
"Are you okay, Kia?"
"No, I'm not. Tapi ... aku harus gimana? Aku bisa apa?" kekehan Kiana terasa mengiris di telinganya sendiri. Kiana meringis, hatinya perih. Ia tidak tahu, pernikahan ternyata bukan jaminan sebuah kehidupan yang penuh bunga. Pernikahan tetaplah ujian. Sebuah ujian baginya untuk tetap waras dalam cinta bertepuk sebelah tangan.
"Kamu bisa jatuh cinta sama siapapun, Kia. Aku nggak akan melarang kamu."
"Selingkuh maksudnya?"
"Aku nggak keberatan."
"Aku yang keberatan, betewe."
"Rumah tangga kita juga akan tetap baik-baik aja, Kia. Kamu cuma perlu ketemu orang baru dan bahagia."
"Dengan begitu kamu nggak akan merasa bersalah-bersalah amat ketika leluasa mencintai Rosa, betul?" Kiana tertawa. Sebuah tawa yang keras, lama, namun sebenarnya hampa. Matanya justru menitikkan air mata.
"Hidup aku lucu, Dio," ucap Kiana disela tawa. Sialnya, tawa itu tidak mengijinkan air mata bersembunyi. Mereka turun bersamaan, membuat pipi Kiana basah. Dan Dio terhenyak melihatnya.
"Kia ... please, don't cry. Silakan marah sama aku. Tapi ... maaf karena aku sudah menyeret kamu dalam keadaan ini."
Kiana menggeleng. "Aku yang buta."
"No, Kia. It's not your fault, okay? Just tell me what should I do to make you feel better."
Kiana menggeleng. "Make me feel better? Nggak ada. Nggak akan ada, Dio. Nggak akan ada yang bisa buat istri merasa baik-baik aja ketika tahu suaminya mencintai perempuan lain. Rumah tangga yang seperti itu nggak akan pernah buat aku merasa baik-baik aja meskipun aku sudah coba."
Kiana akhirnya marah dalam lirih. Ketika lebih dari dua bulan lamanya ia memendam kecewanya sendiri, Kiana memilih meluapkannya hari ini. Pada suaminya, si sumber petaka.
"Aku udah coba ... tapi rasanya sakit banget."
"Kia ... please."
"Let's get divorced, Dio."
"Kiana, Please. Quite your mind. Kita bisa bicara baik-baik."
"Apalagi yang kamu mau bicarain, Dio? Ini nggak akan pernah sampai pada titik terang. Sebab ini adalah soal hati. Kamu nggak punya hati untuk aku. Jangankan memberikan orang tua kita cucu seperti yang mereka mau, melihat aku aja kamu merasa terganggu, 'kan?"
"Kia ...."
"Cukup ... aku mau istirahat. Besok pagi aku mau ke rumah mama Rania dan minta mereka untuk urus semuanya."
Kiana bangkit. Ia berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Tepat ketika ia hendak membuka handle pintu, Dio menahan tangannya.
Laki-laki itu menarik tubuh Kiana merapat padanya. Dengan cepat, tangan kanannya meraih dagu Kiana dan merapatkan bibir mereka satu sama lain. Dio mengecup bibir Kiana tergesa. Mencecapnya, memaksa Kiana membuka mulutnya.
Tentu saja Kiana terkejut. Ia berusaha melepaskan pergerakan Dio yang tiba-tiba. Sebelah tangannya yang tidak dipegang erat oleh Dio berusaha mendorong bahu laki-laki itu.. namun, percobaannya gagal. Dio justru semakin memperdalam ciumannya dan mendorong tubuh Kiana kearah pintu. Membuat Kiana tak memiliki space untuk melarikan diri.
"Dionata!"
Kiana berteriak tepat setelah Dio melepas ciumannya karena kehabisan napas.
"Aku bisa melakukan apapun asal kamu nggak meminta untuk pisah, Kia."
Kia tergugu. Meluruh tubuhnya, ditutupnya kedua mata dengan telapak tangannya. Air mata merembes disela-sela jarinya. "Kamu jahat, Dio."
"Aku tahu."
Dio berjongkok di hadapan Kiana. Dilepaskannya telapak tangan perempuan itu dari wajahnya untuk kemudian ibu jarinya menghapus pelan air mata Kiana. "Aku nggak bisa kalau harus pisah, Kia."
Dan malam itu, Kiana tidak pernah mengerti bagaimana isi kepala Dionata Dierja. Sebab, denting waktu yang terasa melambat mengikuti ritmis yang diciptakan pria itu. Pelan, Dio mendekatkan wajahnya pada Kiana. Menautkan bibirnya pada Kiana, memagutnya perlahan. Kiana pun bingung bagaimana ia justru memberikan Dio izin untuk menciumnya ketika ia sendiri yakin bahwa Dio masih Dio yang sama yang pernah menolaknya.
Ciuman itu terus berlanjut. Membawa keduanya dalam alunan yang berubah dari lembut menjadi menuntut. Hingga tubuh mungil Kiana terasa melayang, sebab Dio menggendongnya tanpa melepas pagutan mereka. Ia membuka handle pintu dengan sebelah tangannya yang bebas dan membawa tubuh Kiana ke dalam kamarnya.
Ia meletakkan tubuh Kiana lembut di tempat tidur. Sesaat, keduanya melepaskan pagutan. Saling memandang dengan napas yang sama-sama terengah.
"Can I ...."
Kiana mengangguk memberikan tanda sebagai setuju. Ia menyerahkan apapun pada langkah Dio yang entah hendak membawanya ke mana.
Tepat saat Dio akan memulai pada inti permainan, ponsel di saku celananya berbunyi. Berkali-kali sehingga siempunya tak bisa terus melakukan aksinya. Dio menarik diri dari tubuh Kiana, dan matanya berhasil melihat Kiana yang begitu berantakan.
"Halo, Oca? are you okay? No ... don't cry. Don't do anything and wait for me ... on my way."
Kiana tidak pernah tahu bahwa perasaannya akan sangat sesakit ini saat tanpa aba, Dio memilih berbalik dan meninggalkan kamarnya dengan tergesa. Meninggalkan Kiana dengan keadaannya yang berantakan. Tanpa sepatah kata, tanpa sebuah permintaan maaf.
Kiana meringkuk, memeluk lututnya. Ia membiarkan air matanya meluruh, habis malam ini dan kemudian terlelap dengan tubuh dan pikiran yang masih berantakan hingga pagi.
^^^^
To be continued
jahat bgt ih..
pgn tak geprek si dio