Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Kedai
Nara menyingkirkan dedaunan kering yang menutupi tanah. Perutnya keroncongan, tapi sejauh ini ia hanya menemukan buah-buahan kecil berwarna ungu yang tampak mencurigakan. Di sampingnya, Uto mengendus-endus tanah, mencari sesuatu dengan hidung mungilnya.
“Gue nggak bakal makan sesuatu yang bikin gue halu atau mati mendadak, ya?” tanya Nara sambil menunjuk buah ungu itu.
Uto melirik sekilas. “Kalau lo suka tantangan, makan aja. Tapi kalau lo masih mau bertahan hidup, cari buah merah dengan pola bintang di kulitnya. Itu aman.”
Nara mendesah, membuang buah ungu ke semak-semak. “Kenapa sih semuanya di sini harus penuh teka-teki? Bahkan makanan aja kayak ujian hidup.”
“Karena dunia ini memang ujian,” jawab Uto sambil mencakar tanah, mengeluarkan akar putih yang melingkar seperti ular. “Coba ini. Rasanya seperti kentang, tapi lebih pahit.”
Nara mengambil akar itu, menggigit sedikit, dan langsung meringis. “Pahit banget! Apa nggak ada yang lebih enak di sini?”
Uto mendongak dengan seringai lebar. “Enak itu untuk yang beruntung, Nara. Lo belum di tahap itu.”
Nara mendengus.
Sambil berjalan mencari tempat berlindung, Nara memperhatikan sekeliling. Pohon-pohon dengan batang bengkok membentuk bayangan aneh, seperti tangan yang ingin mencengkeram siapa pun yang lewat. Angin berdesir pelan, membawa suara samar seperti bisikan.
“Bagaimana gue tahu tempat ini aman?” tanya Nara, menghentikan langkahnya di depan gua kecil di bawah batu besar.
Uto masuk ke dalam gua, wujudnya kembali menyerupai manusia lalu mengendus-endus. “Tidak ada jejak. Tidak ada bau makhluk lain. Sepertinya aman.”
“Sepertinya?” Nara menyipitkan mata.
“Lo mau jawaban pasti? Maaf, di sini tidak ada yang pasti, kecuali kematian.” Uto keluar dengan santai. “Tapi hei, kalau lo bertemu makhluk yang lebih besar dari lo, lari saja ke arah yang paling gelap. Mereka biasanya tidak suka gelap.”
“Jadi, gue harus lari ke kegelapan? Oke, itu nggak menyeramkan sama sekali,” gumam Nara sambil memeriksa gua dengan hati-hati.
Uto mendengus, duduk di atas batu di dekat pintu masuk. “Lo harus mulai berpikir seperti dunia ini, Nara. Di sini, yang terang belum tentu menyelamatkan lo, dan yang gelap belum tentu menghancurkan. Intinya, belajarlah membaca tanda-tanda di sekitar lo.”
Nara mengambil nafas panjang, mencoba mencerna kata-kata Uto. “Jadi, gue harus selalu curiga pada segalanya?”
“Bukan curiga,” jawab Uto sambil memiringkan kepala. “Waspada. Dunia ini adalah labirin, dan lo harus menjadi satu-satunya yang tahu jalan keluar.”
Nara menatap gua itu sekali lagi sebelum akhirnya masuk. “Baiklah. Satu langkah demi langkah, ya?”
Uto tersenyum puas. “Dan kalau lo tersesat, ingatlah, di sini gue lumayan hebat sebagai pemandu.”
“Lumayan?” Nara melirik ke belakang sambil tersenyum kecil. “Kita lihat nanti seberapa hebatnya lo, Uto.”
Nara tidak tersesat meskipun Uto tidak mengarahkan apa-apa lagi selain perkataannya di awal. Sampai di ujung gua, Nara terbelalak. Dia terpaku dengan napasnya yang tertahan melihat pemandangan yang terbentang di hadapannya.
Nara melihat aktivitas rakyat dunia bayangan.
Langit yang terbentang di atasnya benar-benar biru. Matahari bersinar cerah, tapi panasnya tidak terasa menggigit-- kontras dengan langit hutan tempat ia terdampar. Rumah-rumah kayu berjejer rapi, dihiasi bunga-bunga yang menggantung di sepanjang jendela. Suara riuh pasar berpadu dengan tawa anak-anak dan derap langkah kuda yang lewat di jalan berbatu, membuatnya merasa seperti melangkah ke dunia lain.
Pandangan Nara tertarik ke deretan kedai dan pasar yang ramai di kejauhan. Pedagang berteriak menawarkan dagangan mereka, dari buah-buahan segar hingga kain berwarna cerah yang berkibar diterpa angin. Bau rempah-rempah, daging panggang, dan aroma manis dari sebuah kedai kue memenuhi udara. Semua terlihat begitu nyata, begitu sibuk, seperti miniatur kehidupan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Nara berdiri mematung, tak mampu menahan decak kagum.
"Amazing! gue baru lihat suasana kaya gini Uto!"
"Lo senang?"
"Ya iyalah, ini pengalaman baru. Gue suka petualangan. Akhirnya gue nemu pemandangan kaya gini." Nara menarik nafas dalam, membaui aroma lalu lalang peradaban lama.
Nara melirik ke arah kedai di seberang jalan, di mana aroma makanan yang menggoda tercium jelas bahkan dari tempatnya berdiri. Perutnya meronta, memaksa dirinya untuk memberanikan diri berbicara. "Uto," panggilnya ragu. "Gue pengen coba makanan di sana. Kelihatannya enak banget. Minjam duit boleh nggak? Daripada gue makan akar dari lo yang nggak enak itu."
Matanya tak bisa lepas dari seorang pedagang yang tengah membolak-balik daging di atas panggangan, asap tipis mengepul di udara. Nara menelan ludah, menunggu reaksi Uto dengan cemas.
Uto mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa, lalu merogoh kantong kulit yang tergantung di pinggangnya. Ia mengeluarkan beberapa keping uang logam berwarna emas dengan ukiran yang tak pernah Nara lihat sebelumnya. "Ini uang kerajaan. Pakailah, tapi jangan terlalu boros," katanya, menyerahkan uang itu ke tangan Nara.
Sambil memandangi logam yang terasa dingin di telapak tangannya, Nara mengangguk cepat, tak mampu menyembunyikan senyumnya. "Terima kasih, Uto!" serunya sebelum bergegas menuju kedai, sudah tak sabar untuk mencicipi kuliner dunia bayangan.
Kedai itu ramai, penuh dengan suara cangkir yang beradu, gelak tawa pengunjung, dan aroma sup hangat yang memenuhi udara. Nara duduk di bangku kayu panjang bersama Uto, matanya menjelajahi interior sederhana kedai itu. Dindingnya terbuat dari kayu kasar, dihiasi dengan beberapa ukiran bunga dan daun yang tampak tua. Seorang pelayan datang dengan celemek yang sudah lusuh, mencatat pesanan mereka dengan sigap sebelum bergegas ke dapur. Sambil menunggu, Nara menyesap udara, mencoba mengatasi rasa laparnya.
Namun, perhatiannya teralihkan oleh bisikan-bisikan di meja sebelah. Seorang pria paruh baya dengan janggut lebat berbicara dengan nada serius, sementara teman-temannya mendengarkan dengan wajah tegang. Mereka sedang membicarakan Dewa Iblis yang disinyalir penunggu hutan larangan.
Nara berusaha menahan diri, tapi rasa ingin tahunya membuncah. Ia menoleh sedikit, mencoba menangkap lebih banyak detail tanpa menarik perhatian. Di sisi lain, Uto hanya diam tampak tak terkejut. Seakan, cerita ini adalah bagian dari kenyataan sehari-hari yang tidak asing baginya.
BRAK!
.
.
Bersambung.