Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 06: Messing Up With My Stepmother
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, matahari mulai terbenam bersamaan dengan hadirnya lembayung yang indah menghiasi langit. Semburat merahnya begitu elok dan mempesona. Burung-burung mulai berterbangan untuk kembali ke sarangnya dan bersua dengan anak-anaknya.
Aku, Bibi Chen dan Kak Hana masih berada di pusat perbelanjaan ini. Menikmati semangkuk ramen yang masih hangat dengan penuh suka cita. Kami membicarakan banyak hal sembari menikmati ramen yang masih panas.
Bibi Chen menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bekerja untuk keluarga Tuan Selatan, ia sudah bekerja bersama keluarganya sebelum Tuan Selatan lahir.
Sementara Kak Hana menceritakan kehidupan kelamnya saat masih bersama dengan mantan suaminya dan bagaimana ia bisa berakhir menjadi juru masak di kediaman Tuanku.
Aku mendengarkan cerita mereka dengan seksama, kemudian mereka memintaku untuk menceritakan tentang diriku, namun aku menolaknya karena merasa belum siap.
"Hana, makanlah dengan perlahan. Nanti kamu tersedak," ucapnya mengingatkan.
Kak Hana hanya mengangguk sambil terus menyantap ramen miliknya.
Aku menikmati semangkuk ramen milikku dengan hati-hati karena masih sedikit panas. Ruangan dengan nuansa Jepang ini semakin membuatku merasa nikmat.
Setelah kami menghabiskan ramen itu, aku berpamitan pada Kak Hana dan Bibi Chen untuk ke toilet. Aku berniat untuk membenarkan ikatan rambutku dan riasan yang menempel di wajahku.
Aku berdiri di depan cermin toilet dan mulai menyisir rambutku yang sudah tampak kusut, memiliki rambut panjang yang sedikit bergelombang itu merepotkan. Kemudian aku membiarkannya tergerai begitu saja. Gaya ini lebih cocok dengan diriku yang baru.
Aku mengambil semua lipstik berwarna merah dari tasku dan mulai mengoleskan di bibir mungil ku. Ini membuatku tampak lebih elegan.
"Apa kabar, Sayang?" suara perempuan setengah baya itu mengganggu fokusku.
Ia berdiri di samping ku sembari menatap kearah cermin kemudian berganti untuk menatap wajahku. Ia mencengkram daguku dengan sangat keras hingga aku tak bisa berbuat apa-apa.
Aku terkejut bukan main, bagaimana dia bisa sampai di sini? Setahuku dia hanya pergi ke tempat-tempat mewah bersama teman-temannya sosialitanya. Apakah dia turun kelas?
"Apa kau tidak merindukan Ibu tiri mu yang cantik ini?" senyum licik terukir di wajahnya.
Netraku menatapnya dengan nyalang, api kebencian berkobar di dalam hatiku. Aku berusaha melepaskan cengkeramannya dengan sekuat tenaga.
Aku menyeringai, "Huh, untuk apa aku menyimpan rindu untuk orang licik sepertimu. Di dalam hatiku hanya ada kebencian untukmu!"
"Pelacur!" ucapku sambil menunjuk wajahnya.
Wajahnya memerah setelah mendengar ucapanku, tatapannya nyalang seperti hendak menerkam.
"Kurang ajar kau!"
Ia menjambak rambutku dengan kedua tangannya, cengkramannya sangat kuat hingga aku hampir menangis. Sial, wanita ini benar-benar sialan!
Dia terus melontarkan kata-kata kasar sambil menjambak rambutku hingga terlihat sangat berantakan.
"Dasar tak tahu diuntung!"
"Beban!"
"Anak kurang ajar!"
"Bocah tidak tahu malu!"
"Anak haram!"
Semua kata-kata itu dengan mudah terlontar dari mulut wanita sialan itu, rasanya aku ingin mencabik-cabik mulutnya dengan tanganku.
"Anak dari seorang jalang memang tak pantas bahagia! Aku akan selalu membuatmu menderita!"
Api kebencian dalam diriku semakin berkobar setelah mendengar ucapannya, aku menatapnya dengan nyalang dan mencekiknya, "Jangan pernah berani menghina Ibuku dengan mulut kotor mu itu!" ancam ku.
"Winona Kusuma Jaya, jika mulut kotor mu berani menghina Ibuku sekali lagi, aku benar-benar akan menghabisi mu!" aku semakin mengeratkan cengkeraman di lehernya.
Ia tersentak kaget, nafasnya tersengal-sengal dan air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia berusaha untuk melepaskannya, namun sia-sia.
"Akkh! A-ampun..." ucapnya dengan terbata-bata dan masih terus berusaha melepaskan cengkeramanku.
Salah siapa mencari gara-gara denganku, aku sudah lama menahan semua ini selama bertahun-tahun dan akhirnya aku bisa melampiaskan semuanya sekarang.
Wajahnya tampak pucat pasi, keringat mulai bercucuran di wajahnya dan diiringi dengan isak tangis yang semakin histeris. Ah, pemandangan yang indah. Aku menyeringai dan menatapnya dengan tajam.
"See, ini adalah akibat jika kau bermain-main denganku."
Kemudian aku melepaskan cengkeramanku dari lehernya, tubuh wanita itu jatuh tersungkur ke lantai. Berusaha mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.
"Benar-benar menganggu," aku berbalik badan dan meninggalkan ia yang ketakutan sendirian.
Winona sepertinya tak menyangka gadis kecil yang dulu sering menjadi sasaran amarahnya kini melakukan perlawanan balik kepadanya.
Aku sudah berjanji akan hidup untuk diriku sendiri dan menjadi lebih kuat setelah Tuan Selatan membawaku bersamanya. Aku akan membalas semua rasa sakit yang telah mereka berikan padaku.
......─────────── ✦ ──────────......
Aku melangkahkan kakiku dengan percaya diri menuju meja lima puluh delapan, tempat kami duduk sebelumnya. Aku tersenyum manis ke arah Bibi Chen dan Kak Hana. Namun mereka malah menatapku dengan keheranan.
"Apa yang terjadi? Rambutku berantakan sekali, kau tampak seperti orang gila!" Kak Hana tertawa kecil.
"Huftt ... aku membereskan seekor serangga tadi, jadi seperti ini deh rambutku, kesal deh!" aku menghela napas, kemudian duduk kembali di kursiku.
Bibi Chen hanya menggelengkan kepala dan berdecak setelah mendengar penjelasannya dariku. Ia mengambil sebuah hair clip dari tasnya dan menyuruhku untuk memakainya.
"Terimakasih, Bibi," aku tersenyum dan mulai menata rambutku agar rapi kembali.
Setelah rambutku kembali rapi, Kak Hana mengajak kami untuk pulang karena jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku mengiyakan dan mulai merapikan barang-barangku.
Aku menggandeng tangan Kak Hana dan menyenderkan kepalaku di bahunya, "Apasih kau ini, lepas!" ucapnya sambil mendorong kepalaku menjauh.
Aku tertawa mendengarnya, sengaja memang untuk memancing amarahnya. Bibi Chen tersenyum kecil melihat tingkah kami berdua.
"Kalian ini ribut terus, seperti kakak adik saja." ucap Bibi Chen.
Kami yang mendengarnya kemudian saling bertatapan, melontarkan tatapan geli satu sama lain dan kemudian tertawa bersama.
Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir kami bersenda gurau dan tertawa bersama. Membuatku lupa sejenak akan masalah yang baru saja terjadi.
Tak berhenti disitu, selama perjalanan pulang kami tak kalah heboh dari sebelumnya. Kami memutar sebuah lagu dan menyanyikan bersama-sama.
Kak Hana mengeraskan volume lagu dan bergaya seolah-olah tengah memegang mikrofon dan mulai bernyanyi layaknya penyanyi terkenal. Suaranya begitu keras, sepertinya gendang telingaku akan rusak setelah mendengarnya.
Kak Hana merangkul diriku dan aku pun mulai bernyanyi dengan tak beraturan seperti dirinya. Aku mengangkat tanganku dan mulai bergoyang mengikuti irama lagu. Bibi Chen juga melakukan hal yang sama.
Kami bertiga menggoyangkan tangan kesana-kemari dengan begitu energik hingga supir yang tengah mengendarai mobil pun ikut terhanyut dalam keseruan ini.
Mobil mewah bergaya eropa yang kami kendarai itupun melaju dengan kencang membawa kami para penumpang yang tengah asik bernyanyi dan bergoyang.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus