Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman dan Kegelapan
Hari itu dimulai seperti biasa, tetapi ada ketegangan yang tak kasat mata di udara. Ryan merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, tetapi ia tidak bisa memastikan apa. Ketika jam istirahat tiba, ia berjalan menuju kantin bersama Elma. Ia berharap sedikit obrolan ringan dapat mengalihkan pikirannya, tetapi bayangan Hery tetap menghantui pikirannya.
Ketika mereka sampai di kantin, Hery dan gengnya duduk di sudut ruangan, tatapan tajam mereka tertuju langsung ke arah Ryan dan Elma. Hery tersenyum sinis, menyeringai seperti predator yang sedang mengincar mangsanya. Ryan berusaha mengabaikan mereka, tetapi Elma merasakan ketegangan itu. "Ryan, mereka terus menatap kita. Ada apa?" bisiknya.
Sebelum Ryan bisa menjawab, Hery berdiri dan berjalan mendekat, diikuti oleh dua anggota gengnya. Suasana kantin menjadi sunyi, dan semua mata tertuju pada mereka. "Ryan," kata Hery dengan suara pelan namun penuh ancaman, "kau pikir kau bisa lepas begitu saja setelah apa yang kau lakukan kemarin?" Hery melirik Elma dengan pandangan yang membuat gadis itu bergidik.
"Aku tidak ingin masalah, Hery," jawab Ryan tegas, meskipun hatinya berdegup kencang. "Aku hanya ingin hidupku tenang. Biarkan kami sendiri." Tapi Hery hanya tertawa kecil, seolah-olah jawaban itu adalah lelucon baginya. "Tenang? Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja?" katanya dengan nada yang semakin mengancam.
Hery mendekat lebih dekat, suaranya berubah menjadi bisikan dingin yang hanya bisa didengar Ryan dan Elma. "Aku tahu di mana kau tinggal, Ryan. Aku tahu jam-jam kosong Elma. Apa kau ingin aku membuktikan seberapa jauh aku bisa pergi?" Kalimat itu membuat tubuh Ryan menegang. Elma menggenggam lengannya erat, dan Ryan bisa merasakan ketakutan yang sama pada dirinya.
Elma mencoba bersikap berani, meskipun jelas ia merasa takut. "Hery, tinggalkan kami. Ini tidak ada hubungannya denganku," katanya, mencoba mengalihkan perhatian. Namun, langkah itu hanya membuat Hery semakin tertarik. "Oh, justru kau yang membuat ini semakin menarik," katanya, menyeringai lebih lebar. "Kau tahu, Ryan, aku bisa saja membuat hidupnya jauh lebih sulit jika kau tidak berhati-hati."
Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Ryan. Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah dan rasa takut yang bercampur aduk. "Jangan bawa-bawa dia ke dalam ini," katanya dengan suara gemetar. Tapi Hery tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur. "Kau tahu di mana mencariku jika ingin bicara," katanya sebelum berbalik dan meninggalkan kantin, meninggalkan suasana yang penuh ketegangan.
Sepanjang sisa hari itu, Ryan tidak bisa fokus. Tatapan Elma penuh kekhawatiran, tetapi ia tetap diam, tidak ingin memperburuk situasi. Malamnya, Ryan duduk di kamarnya, merenungkan apa yang harus ia lakukan. Ancaman Hery terasa nyata, dan ia tahu bahwa pria berjubah hitam mungkin akan muncul lagi untuk menawarkan solusi cepat.
Ketika tengah malam tiba, suara berat itu kembali terdengar. "Masih merasa kuat tanpa bantuanku, Ryan?" pria berjubah hitam muncul dari bayang-bayang, matanya bersinar dengan intensitas yang menakutkan. Ryan menatapnya dengan marah. "Aku tidak membutuhkanmu," katanya dengan penuh keraguan. Tetapi pria itu hanya tersenyum. "Kau tahu, Hery bukan satu-satunya ancaman yang harus kau khawatirkan. Kadang, mereka yang kau lindungi adalah yang paling mudah dihancurkan." Kalimat itu menusuk Ryan seperti belati.
Pria itu mendekat, suaranya kini terdengar lebih dingin dan menekan. "Tawaran ini masih berlaku, Ryan. Kekuatan yang kau butuhkan untuk melindungi Elma, untuk mengalahkan Hery... semuanya ada di ujung jarimu. Yang perlu kau lakukan hanya mengatakan 'ya'." Bayangannya semakin dekat, hampir menyelimuti Ryan sepenuhnya. "Jadi, bagaimana? Apakah kau siap menerima takdirmu, atau kau akan terus menunggu sampai semuanya terlambat?"
Ryan menatap pria berjubah hitam itu, wajahnya memancarkan kebencian dan keraguan yang bercampur menjadi satu. Kata-kata pria itu menggema di dalam pikirannya, menekan setiap sudut keberaniannya. "Aku tidak ingin ini," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, namun cukup kuat untuk menunjukkan penolakannya. Tapi pria itu hanya tersenyum.
"Ryan, kau bisa terus berkata tidak, tetapi ingatlah ini: waktu tidak pernah berpihak pada mereka yang ragu," pria itu berkata sambil melangkah lebih dekat. Suaranya seperti bisikan angin dingin yang menerpa hati Ryan. "Hery tidak akan berhenti, dan ancaman yang ia lontarkan bukanlah omong kosong belaka. Kau bisa kehilangan Elma, keluargamu, atau bahkan dirimu sendiri." Kalimat itu seperti belati yang menusuk jantung Ryan, mengingatkan betapa genting situasinya.
Ryan mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan emosi yang membara di dalam dirinya. "Aku tidak butuh kekuatanmu. Aku akan melindungi Elma dengan caraku sendiri," katanya dengan suara yang lebih tegas namun dengan keraguan yang terlihat jelas. Meskipun demikian, bayangan kekalahan terus menghantuinya, seolah-olah ia sedang berjalan di atas tali yang bisa putus kapan saja. Pria berjubah hitam itu mengangkat bahu, seperti seseorang yang merasa tidak terganggu oleh penolakan tersebut.
"Baiklah," katanya, sambil memutar tubuhnya perlahan. "Tetapi ingat, Ryan, tawaran ini tidak akan bertahan selamanya. Ketika kau akhirnya menyerah pada ketakutanmu, aku akan ada di sini. Kau tahu di mana mencariku." Dengan kata-kata itu, ia menghilang ke dalam bayang-bayang, meninggalkan Ryan sendirian di dalam kamarnya yang gelap.
Keesokan harinya, Ryan mencoba menjalani harinya seperti biasa, tetapi ancaman Hery terasa semakin nyata. Ketika ia berjalan menuju kelas bersama Elma, ia melihat Hery berdiri di lorong dengan tatapan yang lebih tajam daripada sebelumnya. Kali ini, Hery tidak hanya menatap Ryan, tetapi juga Elma. Ia melangkah mendekat, memblokir jalan mereka dengan senyum sinis di wajahnya.
"Kau masih berpikir bisa menyelamatkan dia?" tanya Hery sambil menunjuk Elma dengan dagunya. Elma mundur selangkah, dan Ryan berdiri di depannya, mencoba menjadi perisai. "Hery, aku tidak ingin masalah," kata Ryan, suaranya tegang tetapi berusaha terdengar kuat. Namun, Hery hanya tertawa pelan, seperti seekor serigala yang mengejek mangsanya.
"Masalah? Masalah itu kau yang ciptakan," katanya sambil mendekatkan wajahnya ke arah Ryan. "Kau pikir aku akan melupakan apa yang kau lakukan? Kau membuatku terlihat lemah, Ryan. Dan untuk itu, aku akan memastikan kau merasakan apa artinya kehilangan." Tatapannya beralih ke Elma, membuat gadis itu menundukkan wajah dengan ketakutan.
Ryan merasa kemarahannya memuncak, tetapi ia tahu bahwa melawan Hery dengan fisik hanya akan memperburuk situasi. "Sudah cukup, Hery," katanya dengan suara yang penuh tekanan. Namun, Hery hanya tersenyum dan berbisik, "Kita lihat siapa yang akan menyerah lebih dulu, Ryan." Dengan itu, ia melangkah pergi, meninggalkan ancaman yang menggantung di udara.
Sepanjang hari itu, Ryan merasa semakin tertekan. Setiap langkahnya terasa berat, setiap detik seperti bom waktu yang siap meledak. Malamnya, ketika ia mencoba untuk tidur, suara berat itu kembali terdengar. "Ryan, waktumu hampir habis," pria berjubah hitam muncul lagi, kali ini dengan aura yang lebih menekan. "Hery tidak akan berhenti, dan kau tahu itu. Jadi, apa yang akan kau lakukan?"
Ryan tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu dengan mata yang dipenuhi kebingungan dan ketakutan. Tawaran itu masih menggantung di udara, dan kali ini, Ryan merasa semakin sulit untuk menolaknya.Hari itu, awan mendung menggantung di langit, menciptakan suasana yang suram. Ryan merasa ada sesuatu yang tidak beres sejak pagi, tetapi ia tidak bisa menjelaskan apa itu. Ketika ia tiba di sekolah, Elma tidak terlihat di tempat biasanya. Ia mencoba menghubunginya, tetapi tidak ada jawaban.
Saat jam istirahat, Ryan masih tidak melihat Elma di kantin atau di kelas. Kekhawatirannya semakin meningkat. Ketika ia bertanya kepada teman-temannya, beberapa dari mereka mengatakan bahwa Elma pergi lebih awal karena suatu urusan. Namun, Ryan merasa ada yang janggal, terutama dengan tatapan Hery yang seolah penuh rahasia dan kepuasan.
Menjelang siang, suasana sekolah mendadak heboh. Ada berita bahwa seorang siswa mengalami kecelakaan di jalan depan sekolah. Ryan yang mendengar kabar itu merasa jantungnya berdegup kencang. Dengan panik, ia berlari keluar menuju lokasi kecelakaan, berharap bahwa firasat buruknya salah.
Ketika ia tiba di tempat kejadian, Ryan melihat tubuh Elma terbaring di trotoar, dikelilingi oleh orang-orang yang mencoba menolong. Wajahnya pucat, dan ada darah di lengannya. Sebuah mobil hitam terparkir tak jauh dari sana, dengan sopir yang tampak gelisah berbicara dengan polisi. "Elma!" teriak Ryan, berusaha menembus kerumunan untuk mencapai gadis itu.
Paramedis tiba tidak lama kemudian dan segera membawa Elma ke rumah sakit. Ryan mencoba ikut masuk ke ambulans, tetapi ditahan oleh petugas. "Dia akan baik-baik saja," kata salah satu paramedis, meskipun nada suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan. Ryan hanya bisa berdiri di sana, merasa tak berdaya dan dipenuhi rasa bersalah karena tidak ada di sisi Elma.
Ketika sore tiba, Ryan duduk di ruang tunggu rumah sakit, menunggu kabar tentang kondisi Elma. Ia memikirkan kejadian itu berulang kali, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba, suara langkah seseorang mendekat. Ia menoleh dan melihat Hery berdiri di dekat pintu, tersenyum tipis.
"Kecelakaan yang tragis, bukan?" kata Hery dengan nada sinis. Ryan menatapnya tajam, merasa amarah dan kecurigaan menyatu di dalam dadanya. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya penuh ketegangan. Hery hanya mengangkat bahu, masih dengan senyum mengejek di wajahnya.
"Kau tahu, Ryan, dunia ini penuh dengan kebetulan yang menarik. Terkadang, hal buruk terjadi pada orang baik. Dan terkadang... hal itu direncanakan." Hery menatap Ryan langsung, kata-katanya seperti belati yang menusuk ke dalam pikiran Ryan. "Apa yang kau katakan?" Ryan bangkit berdiri, mengepalkan tangannya.
Hery mendekat, berbisik pelan, "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku selalu ada, Ryan. Selalu." Dengan itu, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Ryan yang terguncang oleh kemungkinan bahwa Hery ada di balik kecelakaan Elma. Dalam benaknya, satu hal menjadi jelas: ini bukan kecelakaan biasa.
Malamnya, ketika Ryan kembali ke rumah, ia duduk di kamar dengan pikiran yang dipenuhi rasa marah dan putus asa. Suara pria berjubah hitam itu muncul lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. "Apa kau sudah melihat bagaimana rapuhnya mereka yang kau coba lindungi, Ryan?" katanya. Ryan menunduk, tidak tahu harus berkata apa.
Pria itu muncul dari bayang-bayang, matanya bersinar dengan intensitas yang menyeramkan. "Hery tidak akan berhenti sampai ia menghancurkan segalanya. Jika kau benar-benar ingin melindungi Elma, kau tahu apa yang harus kau lakukan." Ryan memejamkan matanya, merasa terjebak di antara pilihan yang tak pernah ia inginkan. Tawaran itu kembali terlintas di pikirannya, semakin sulit untuk diabaikan.