NovelToon NovelToon
Pulang / Di Jemput Bayangan

Pulang / Di Jemput Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Mata Batin / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:642
Nilai: 5
Nama Author: Novita Ledo

para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3: Bayangan di Belakang

Ruangan di dalam gubuk tua itu gelap pekat, dengan hanya sedikit cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah dinding kayu yang lapuk. Udara di dalam terasa dingin, lembap, dan berat—seolah-olah sesuatu di sana tidak ingin mereka tinggal. Mereka berdiri saling berdekatan, tubuh mereka kaku, mendengar suara napas berat yang terdengar begitu dekat.

“Ini... bukan cuma perasaan gue, kan?” bisik Andre, nyaris tak bersuara.

Tidak ada yang menjawab. Semua terdiam, terlalu takut untuk bergerak. Napas berat itu terdengar seperti berasal dari makhluk besar, hanya beberapa langkah di belakang mereka.

“Jangan… berbalik,” ulang Raka, lebih pelan, nyaris seperti doa.

Namun, ketegangan itu terlalu berat untuk ditahan. Citra, yang berdiri paling dekat dengan dinding, bergetar hebat. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan teriakannya, tapi tubuhnya seakan ingin lari. Tiba-tiba, sebuah tangan dingin menyentuh pundaknya.

Citra menjerit.

Jeritannya memecah keheningan, membuat semua orang spontan berbalik. Namun saat mereka melihat ke belakang, tidak ada apa-apa.

Hanya bayangan gelap di sudut ruangan.

“APA ITU!” teriak Bima sambil menunjuk sudut ruangan, tempat sebuah sosok perlahan terlihat dari kegelapan. Sosok itu tinggi, sangat tinggi, lebih besar daripada manusia biasa. Tubuhnya hitam pekat, seolah tidak sepenuhnya berbentuk, seperti bayangan yang hidup. Mata merah menyala itu kembali menatap mereka, menyiratkan rasa lapar yang tidak terjelaskan.

Raka mengangkat sebuah kayu tua dari lantai, memegangnya seperti senjata. “Jangan dekati kami!” teriaknya, meski jelas ia ketakutan.

Makhluk itu tidak bergerak. Hanya berdiri, memandang mereka. Tapi semakin lama mereka menatapnya, semakin mereka merasa sesuatu sedang menarik mereka. Ruangan itu terasa berputar, menjadi lebih gelap, lebih kecil. Suara-suara aneh mulai terdengar—gumaman-gumaman dalam bahasa yang tidak mereka mengerti, bercampur dengan tawa kecil yang menyeramkan.

“Ini bukan nyata… ini bukan nyata…” Andre bergumam sambil memegangi kepalanya.

“Keluar dari sini! SEKARANG!” teriak Dinda, menarik tangan Citra yang masih gemetar.

Raka membuka pintu dengan paksa. Mereka semua berlari keluar, meninggalkan gubuk itu tanpa menoleh ke belakang. Udara dingin malam menyambut mereka, tapi hutan di luar terasa lebih menakutkan daripada sebelumnya. Pohon-pohon tinggi tampak seperti raksasa yang mengawasi, dan bayang-bayang mereka bergerak dengan cara yang tidak alami.

“Kita ke mana sekarang?” tanya Andre dengan suara putus asa. Kamera di tangannya kini tergantung lemah, lensa pecah akibat jatuh saat mereka berlari keluar.

“Kita harus cari jalan keluar!” balas Bima.

“Jalan keluar? Kita bahkan nggak tahu di mana kita sekarang!” balas Andre, hampir menangis.

Tiba-tiba, suara itu terdengar lagi. Langkah kaki berat. Kali ini lebih cepat, lebih keras. Mereka menoleh ke arah suara, dan bayangan hitam itu terlihat lagi. Berjalan perlahan, tetapi setiap langkahnya mengguncang tanah di bawah mereka.

“Cepat!” Raka berteriak. “Ikut gue!”

Mereka berlari mengikuti Raka, yang membawa mereka lebih jauh ke dalam hutan. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah tanah di bawah mereka menarik mereka masuk. Ranting-ranting tajam mencakar kulit mereka, udara semakin dingin hingga napas mereka terlihat seperti uap putih.

Namun, bayangan itu tetap mengikuti, tak pernah jauh di belakang.

---

Setelah berlari tanpa arah selama beberapa menit, mereka tiba di sebuah celah di antara dua tebing batu yang curam. Di dalamnya terdapat sebuah lorong sempit yang tampak seperti jalan keluar.

“Lewat sini!” teriak Raka, meski hatinya ragu. Lorong itu gelap, dan udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Tapi mereka tidak punya pilihan lain.

Satu per satu, mereka masuk ke dalam lorong itu. Suasana di dalam lebih mencekam. Dinding-dinding batu yang sempit menekan mereka dari kedua sisi, dan suara langkah kaki mereka menggema, menciptakan ilusi bahwa mereka tidak sendiri.

“Apa kita… aman?” tanya Citra, suaranya hampir tak terdengar.

Sebelum ada yang sempat menjawab, sebuah tangan kurus dengan kuku panjang mencengkeram bahu Andre dari belakang.

Andre menjerit, tubuhnya ditarik dengan kekuatan luar biasa ke dalam kegelapan lorong. “TOLONG GUE!” teriaknya, tangannya meraih ke depan, mencoba mencari pegangan.

“ANDRE!” Raka dan Bima berusaha menariknya, tapi kekuatan itu terlalu besar. Dalam sekejap, Andre menghilang, lenyap di balik kegelapan lorong.

Semua terdiam, napas mereka terengah-engah. Hanya suara napas mereka yang tersisa, hingga akhirnya, suara langkah berat itu terdengar lagi—kali ini dari dalam lorong.

“Kita harus terus jalan,” bisik Raka, suaranya serak.

“Tapi Andre—” Dinda mulai bicara, tapi Raka memotongnya. “Kita nggak bisa nolong dia kalau kita mati!”

Mereka melanjutkan perjalanan, meski hati mereka penuh rasa bersalah. Langkah mereka semakin cepat, mencoba mengabaikan suara langkah berat yang terus mengikuti dari belakang.

Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruang terbuka. Namun, pemandangan yang mereka temukan jauh dari yang mereka harapkan. Di depan mereka berdiri sebuah altar batu besar, dengan simbol-simbol aneh yang terukir di permukaannya. Di sekitar altar, lilin-lilin besar menyala dengan api biru, meski tidak ada angin yang berhembus.

“Ini apa…” bisik Citra, tubuhnya menggigil.

Sebelum ada yang menjawab, suara gumaman tadi terdengar lagi. Kali ini, lebih jelas, lebih keras. Mereka menyadari bahwa suara itu berasal dari altar. Dan di atas altar itu, perlahan, sesosok tubuh mulai terbentuk dari kegelapan.

Mata merah menyala itu kembali menatap mereka, kali ini disertai tawa kecil yang membuat darah mereka membeku.

“Kita nggak akan keluar dari sini…” ujar Bima dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Namun, Raka melangkah maju. Dengan tangan gemetar, ia mengambil kayu dari lantai dan berteriak, “Kalau kita mati, kita lawan sampai akhir!”

Sosok itu hanya tersenyum, menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Dan sebelum ada yang sempat bergerak, bayangan itu melompat ke arah mereka, menelan seluruh ruangan dalam kegelapan yang mencekam.

1
そして私
numpang lewat, jangan lupa mampir di after book bang
Novita Ledo: Yups, bentar yah
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!