abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Jeruji dari Batu
Malam telah sepenuhnya menelan kastil itu, dan kegelapan di luar jendela terasa seperti lautan tanpa dasar. Isabella berdiri di depan jendela besar di aula utama, menatap bulan yang hanya sesekali muncul dari balik awan hitam. Ia mencoba membuka jendela itu, namun jeruji besi di luar telah menutup rapat, seolah-olah kastil ini tidak menginginkan mereka untuk pergi.
“Koneksi ponsel masih mati total,” kata Viktor dari sudut ruangan, mencoba untuk tetap tenang. Ia memegang ponselnya yang tidak berguna lagi, sementara Maria duduk di lantai dengan lutut ditekuk, kepalanya bersandar pada dinding.
“Bagaimana bisa tidak ada sinyal sama sekali?” Maria bertanya dengan suara parau. Matanya merah setelah menangis terus-menerus.
“Ini bukan hanya soal sinyal,” kata Jonathan sambil menatap peta kastil yang mereka temukan di ruang perpustakaan. “Ada sesuatu yang membuat tempat ini... terisolasi. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi rasanya seperti... kita berada di dimensi lain.”
“Dimensi lain? Itu tidak masuk akal!” Maria memotong, suaranya melengking karena panik.
“Tidak ada yang masuk akal di tempat ini,” gumam Isabella, menoleh dari jendela. “Lihat saja apa yang terjadi pada Elisa.”
Pernyataan itu membuat ruangan menjadi sunyi. Elisa—dan kematiannya yang mengerikan—masih menghantui pikiran mereka semua. Tubuhnya yang seharusnya tidak bisa bangkit, kini tidak ditemukan lagi.
Isabella mencoba mengatur napasnya, lalu berkata, “Kita harus tetap fokus. Kastil ini memang seperti perangkap, tapi pasti ada jalan keluar. Kita harus menemukannya sebelum kita semua—”
“—sebelum kita semua mati?” potong Maria, sinis.
Isabella menahan kata-katanya, tidak ingin memperburuk situasi. Ia tahu Maria ketakutan, sama seperti dirinya. Namun rasa cemas dan ketakutan itu harus dilawan.
Jonathan menunjuk peta di depannya. “Ada lorong bawah tanah yang terhubung dengan ruang penyimpanan di bagian timur kastil. Mungkin itu jalan keluarnya.”
“Ruang bawah tanah?” Viktor mengulang dengan ragu. “Kalau tempat itu ada, kenapa kita tidak menemukannya tadi?”
“Karena sebagian besar lorong di kastil ini tersembunyi,” jawab Jonathan sambil menggerakkan jarinya di peta. “Dinding-dindingnya penuh dengan mekanisme rahasia. Aku yakin lorong itu terkunci oleh sesuatu yang hanya bisa dibuka dari dalam.”
“Jadi kita harus ke ruang penyimpanan,” Isabella berkata, menguatkan diri.
Namun sebelum ada yang sempat bergerak, suara keras terdengar dari lantai atas, seperti sesuatu yang berat terjatuh. Semua mata langsung mengarah ke tangga spiral yang gelap.
“Apa itu?” Maria berbisik, suaranya hampir tak terdengar.
Viktor menelan ludah. “Mungkin hanya angin—”
“Tolong jangan bilang itu angin,” potong Maria. “Aku sudah cukup dengan penjelasan tidak masuk akal.”
Isabella meraih lilin dari meja dan menyalakannya dengan korek. “Kita harus periksa. Kalau ada sesuatu yang mengancam kita, lebih baik kita tahu sekarang.”
Mereka menaiki tangga spiral dengan perlahan, setiap langkah terasa berat seperti membawa beban. Udara di atas terasa lebih dingin, menusuk kulit mereka meskipun tidak ada angin yang berhembus.
Di lantai atas, lorong-lorong panjang menyambut mereka, gelap dan sepi. Suara detak jantung mereka terasa lebih keras daripada langkah kaki mereka. Di ujung salah satu lorong, sebuah pintu terlihat terbuka sedikit, dan bayangan bergerak di baliknya.
Isabella mengangkat lilin, mencoba melihat lebih jelas. “Siapa di sana?” tanyanya dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menakutkan. Jonathan mendorong pintu itu pelan-pelan, dan mereka menemukan ruangan besar yang dipenuhi dengan lemari kayu tua. Buku-buku berserakan di lantai, dan ada sebuah meja besar dengan kertas-kertas kuno yang penuh dengan tulisan tangan.
“Perpustakaan,” gumam Jonathan.
Namun perhatian Isabella tertuju pada sesuatu yang lain—sebuah buku besar yang terbuka di atas meja, dengan halaman yang dipenuhi gambar-gambar menyeramkan: lingkaran ritual, simbol-simbol aneh, dan sosok manusia tanpa wajah.
“Ini bukan buku biasa,” kata Isabella sambil membaca sekilas tulisan di halaman itu. Tulisan itu berbunyi: “Untuk membuka lorong, darah harus mengalir.”
“Darah?” Maria mengulang, wajahnya memucat.
Jonathan memegang bahunya untuk menenangkannya. “Mungkin ini hanya lelucon. Sesuatu yang ditulis untuk menakut-nakuti orang.”
Namun sebelum mereka bisa berdiskusi lebih jauh, suara lain terdengar dari belakang mereka—sebuah suara pelan yang terdengar seperti langkah kaki.
Isabella berbalik dengan cepat, mengangkat lilin untuk melihat ke lorong. Di sana, seorang wanita berdiri. Wajahnya pucat seperti mayat, dengan mata yang kosong. Pakaian lusuhnya meneteskan darah, dan tangannya memegang sesuatu yang menyerupai kapak kecil.
“Siapa itu?” Viktor bertanya dengan nada panik, tubuhnya mulai gemetar.
Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatap mereka dengan pandangan kosong. Namun, tiba-tiba ia bergerak maju dengan langkah cepat, mengayunkan kapaknya ke arah mereka.
“LARI!” Isabella berteriak.
Mereka berlari secepat mungkin, kembali ke tangga spiral, sementara wanita itu mengejar mereka dengan kecepatan yang mengerikan. Langkah-langkahnya berat, tapi ia selalu berhasil mendekat.
Saat mereka akhirnya sampai di aula utama, pintu besar di depan mereka tertutup dengan sendirinya, mengunci mereka di dalam. Maria berteriak histeris, memukul-mukul pintu, sementara Viktor mencari sesuatu untuk menghalangi jalan wanita itu.
Jonathan menunjuk ke cermin besar di sudut ruangan. “Kita bisa mengunci dia di sana! Itu satu-satunya cara!”
“Tapi bagaimana caranya?” tanya Isabella dengan putus asa.
“Percayalah padaku!” kata Jonathan, menarik Isabella untuk membantunya mengalihkan perhatian wanita itu.
Wanita itu semakin dekat, matanya yang kosong sekarang memancarkan cahaya merah yang mengerikan. Isabella mengambil kursi dari sudut ruangan dan melemparkannya ke arah wanita itu, mencoba memperlambatnya. Ketika wanita itu terhenti sejenak, Jonathan membuka cermin besar itu seperti pintu rahasia, sesuatu yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
“Masukkan dia ke sini!” teriak Jonathan.
Dengan kekuatan yang tersisa, mereka mendorong wanita itu menuju cermin. Sesaat sebelum wanita itu benar-benar menghilang ke dalam cermin, ia berteriak dengan suara yang mengerikan, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Kemudian, segalanya hening.
Mereka semua terengah-engah, tubuh mereka gemetar karena kelelahan dan ketakutan.
“Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Isabella akhirnya, suaranya hampir patah. “Kita harus menemukan jalan keluar. Kalau tidak…”
Kalimatnya terputus. Dari arah cermin, suara bisikan terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan menyeramkan.
“Yang kalian temukan hanyalah awal. Kalian belum melihat semuanya.”
Malam itu, mereka sadar: kastil ini tidak akan membiarkan mereka pergi dengan mudah. Rahasia yang tersembunyi di dalamnya semakin dalam dan mematikan. Dan kini, mereka tidak hanya melawan makhluk-makhluk misterius—tetapi juga kastil itu sendiri.