Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam
Karin akhirnya berhasil menemukan pintu keluar rumah besar itu. Setelah berkali-kali melewati ruangan demi ruangan yang penuh dengan perabot mewah dan dinding-dinding tinggi yang terasa asing, akhirnya ia menemukan jalan keluar. Sesaat, ia menarik napas panjang, mencoba mengatur kembali ketenangan yang telah terkuras sejak semalam.
Matahari pagi menyambut Karin di halaman depan, hangat namun tak cukup untuk mencairkan kekesalannya. Dia langsung melangkah cepat menuju pos satpam, tempat seorang pria berbadan tegap dan berwajah ramah tengah berjaga. Begitu melihat Karin mendekat, pria itu menegakkan tubuhnya, lalu menyapanya dengan sopan.
"Selamat pagi, Nona," ucap Dani dengan senyum kecil, nada suaranya sangat hormat. Sebelum ini, Bibi Xia sudah memberi tahu pria itu bahwa tugasnya pagi ini adalah memastikan Karin tetap berada di rumah.
Karin tidak membalas sapaannya. Dia langsung melipat kedua tangannya di depan dada, wajahnya serius. "Tolong buka pintunya sekarang!" pintanya tegas, tanpa sedikit pun basa-basi.
Dani sejenak terdiam, lalu ia menjawab dengan nada datar, "Maaf, Nona. Saya harus meminta Anda untuk kembali ke dalam rumah."
Karin mendengus kesal. Sorot matanya tajam, menunjukkan bahwa ia tidak main-main. "Aku bilang buka pintunya, sekarang!" suaranya mulai meninggi, menahan kekesalan yang sejak tadi ia tahan.
Dani tetap tenang dan menatapnya dengan lembut. "Maaf, Nona, saya tidak bisa melakukannya. Ini perintah langsung dari Tuan Raka," ucapnya, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat, meski nada suaranya tetap kokoh.
Karin semakin tidak sabar. "Mana kuncinya? Kalau kamu tidak mau membukanya, aku akan melakukannya sendiri." Dia mengulurkan tangannya, memerintahkan Dani untuk menyerahkan kunci itu padanya.
Namun, pria itu hanya menggeleng pelan, menahan senyum simpul. "Maaf, Nona, saya tidak bisa memberikan kunci ini kepada siapa pun selain Tuan."
Karin merasakan amarahnya semakin memuncak. Apa maksud mereka semua mengikuti perintah Raka sampai seperti ini? Mengapa mereka seolah-olah membiarkannya seperti burung dalam sangkar emas ini?
"Ada apa dengan kalian semua, sih? Kenapa kalian begitu patuh pada Raka?" Karin mendengus frustrasi, lalu mulai memukul-mukul lengan Dani, melepaskan kekesalan yang sejak tadi menumpuk di dadanya.
Namun, tubuh Dani yang tegap dan berotot tidak bergeming sedikit pun. Pukulan Karin hanya seperti sentuhan ringan baginya. Walau Karin sudah memukulnya dengan sekuat tenaga, pria itu tetap berdiri tegak tanpa menunjukkan rasa sakit atau keberatan.
Dani hanya tersenyum tipis dan menundukkan kepala, seolah-olah pukulan itu bukanlah masalah besar. Karin merasa semakin jengkel melihat sikap tenangnya.
"Kenapa kamu diam saja?! Apa kau pikir aku bercanda?" teriak Karin, mengeraskan pukulannya.
Di tengah amarah dan suara keras Karin, tiba-tiba terdengar suara klakson dari luar pagar. Karin menoleh ke arah suara itu, melihat seorang pria keluar dari dalam mobil hitam mengkilap, Maybach yang tidak asing baginya. Dani bergegas membuka gerbang dan membiarkan mobil itu masuk.
Mobil tersebut melaju perlahan, lalu berhenti tepat di depan Karin yang masih berdiri dengan napas memburu. Dengan gerakan pelan namun tegas, Raka keluar dari mobilnya. Ia berdiri tegap, memandang Karin dengan tatapan lelah namun penuh perhatian. Pria itu mengangkat tangan, mengusap pelipisnya sambil menarik napas panjang, tampak sedikit jengkel namun tetap tenang.
"Kenapa kau berteriak-teriak pagi-pagi seperti ini?" tanya Raka dengan nada rendah yang terkesan santai, namun mata tajamnya menyiratkan rasa penasaran.
Karin memelototinya, melangkah maju hingga jarak mereka hanya sejengkal. "Antar aku pulang sekarang juga!" ucapnya tanpa basa-basi, penuh dengan ketegasan.
Raka menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan dengan senyum tipis yang mengusik emosi Karin. "Ini rumahmu juga, Karin. Mau pulang ke mana lagi?" tanyanya lembut namun penuh makna, mencoba menahan tawa melihat kekesalan istrinya itu.
Karin menghela napas dalam-dalam, merasa semakin marah. "Ini rumahmu, bukan rumahku!" ucapnya penuh penekanan, seolah ingin menegaskan bahwa dia tidak ingin berada di tempat itu.
Raka mendesah, senyumannya sedikit melembut. "Oh, ayolah. Kau tampak lelah. Bagaimana kalau mandi dulu dan beristirahat?" katanya sambil mendekat dengan langkah mantap. Sebelum Karin bisa merespon, tiba-tiba saja pria itu mengangkat tubuhnya dalam gendongan.
"H-Hei! Lepaskan aku!" Karin memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan kuat Raka. Namun, Raka tidak peduli. Dia tetap berjalan menaiki tangga dengan tenang, tidak sedikit pun terpengaruh oleh pukulan dan cubitan yang Karin layangkan ke dadanya.
"Hentikan, atau kita akan jatuh bersama!" ucap Raka, memelankan langkahnya sejenak sambil menatap Karin dengan tatapan tajam namun tenang, memperingatkannya dengan nada tegas namun lembut.
"Turunkan aku sekarang juga, Raka!" Karin masih memberontak, namun suaranya mulai terdengar melemah.
Raka akhirnya tiba di kamar, lalu membaringkan Karin dengan hati-hati di atas tempat tidur. Karin mendongak, menatap Raka yang berdiri di depannya dengan tatapan kesal dan penuh emosi.
Tanpa berkata apa pun, Raka mulai membuka kancing kemejanya satu per satu dengan gerakan cepat, lalu melepaskannya hingga hanya tersisa celana pendek yang melekat di tubuhnya.
Karin terkejut, matanya melebar saat melihatnya. "Apa yang sedang kau lakukan?!" serunya panik, lalu menarik selimut dan menutupi tubuhnya. Dia menatap Raka dengan tatapan waspada.
Raka hanya tersenyum tipis, lalu merangkak naik ke tempat tidur, mendekati Karin dengan pandangan penuh ketenangan yang justru membuat Karin semakin waspada.
Karin terus melangkah mundur, menggenggam selimut erat-erat seolah itu satu-satunya perlindungan yang ia miliki. "Jangan mendekat! Jangan macam-macam denganku!" suaranya bergetar, namun tatapannya penuh peringatan.
Raka mengulurkan tangannya, menghentikan gerakan Karin dengan tatapan yang tak terbaca. Pria itu tersenyum, seakan-akan menantang.
Sedetik kemudian,
"Aku hanya ingin mengambil ulat di rambutmu,” katanya datar sambil mengulurkan tangan untuk menangkap bulu hijau yang tersangkut di rambutnya.
Karin menggaruk kepalanya dengan gelisah, merasakan gatal di kulit kepala akibat ulat bulu itu. Ia segera menyisir rambutnya dengan kasar, panik saat mengingat betapa menakutkannya makhluk itu.
“Cepat buang!” teriak Karin, matanya melebar melihat Raka memegang ulat itu tepat di depan wajahnya.
Raka menatapnya dengan senyum nakal, alisnya terangkat. “Apakah kamu takut ulat?” tanyanya, seolah menikmati momen ini.
“Raka, tolong buang itu,” Karin memohon, suaranya mendesak dan sedikit melengking, menggambarkan ketidakberdayaannya.
“Dengan satu syarat!” Raka mengedipkan mata, membuat Karin merasa jantungnya berdebar tidak menentu.
“Apa?” tanyanya, peluh dingin mengalir di pelipisnya.
Raka mendekatkan pipinya ke wajah Karin, meminta untuk dicium. Rasa geli dan ketakutan bercampur aduk dalam hati Karin.
Alih-alih memenuhi permintaannya, Karin justru melayangkan bantal ke wajah Raka dengan marah.
"Bajingan kau!" teriaknya, seolah itu satu-satunya cara untuk melepaskan ketegangan.
Raka tertawa, melemparkan ulat itu ke sudut ruangan dan mencengkeram pergelangan tangan Karin, menahannya agar tidak bisa lepas. Wajahnya semakin mendekat, hingga Karin dapat merasakan napas hangatnya yang membuat jantungnya berdebar cepat.
Dia menutup matanya, enggan menatap Raka, takut jika melihat wajahnya akan semakin mengguncang hatinya.
"Ayo mandi! Apa aku harus memandikanmu?" tawar Raka, namun diucapkan dengan nada yang menggoda. Sebagian pakaiannya sudah ia lepaskan.
“Aku mandi sendiri. Kamu duluan saja! Apa kamu tidak malu memakai celana seperti itu?” jawab Karin, wajahnya memerah menyadari betapa tidak nyamannya situasi ini. Dia memalingkan wajahnya, berusaha mengalihkan perhatian dari tubuh kekar Raka.
“Kenapa aku harus malu di depan istriku sendiri?” Raka menjawab sambil melangkah dengan percaya diri menuju kamar mandi.
Setelah Raka menghilang dari pandangannya, Karin merasa sedikit lega, namun kecemasan tak kunjung reda. Ia berpikir keras tentang bagaimana cara keluar dari rumah ini, merasa terjebak dalam situasi yang semakin tidak mengenakkan.
*****
Sekarang giliran Karin yang mandi. Di dalam kamar mandi, suara air yang mengalir menjadi penghalang bagi Karin untuk merenungkan rencananya. Dia sudah hampir setengah jam terkurung di dalam, dan suhu di luar mulai terasa dingin. Saat mendengar Raka berdering di telepon dengan putranya, Rio, suara tawa Raka menembus ketegangan di dalamnya.
“Hai Ayah, aku sangat merindukanmu!” seru suara kecil Rio yang ceria di telepon.
Karin penasaran dan menempelkan telinganya di pintu kamar mandi. Namun, hanya tawa Raka yang bisa didengarnya. Rasa cemburu mulai menyelinap ke dalam hatinya. Benar-benar pemain yang hebat! Dia benar-benar memanggil wanita simpanan lainnya, pikirnya, merasakan kegundahan yang terus menggerogoti hatinya.
Karin mengambil napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegelisahan saat ia sadar bahwa ia tidak membawa handuk untuk keluar dari kamar mandi. Apa yang harus aku lakukan? pikirnya, panik menyadari bahwa ia tidak bisa keluar tanpa mengenakan apa pun.
Dengan panik, dia melihat bajunya tergeletak basah di lantai. Kedinginan mulai merayap di kulitnya, sementara pikirannya berkecamuk mencari solusi.
“Karin! Kamu masih di sana?” tanya Raka, mengetuk pintu kamar mandi.
“Ya, aku...” suara Karin melemah, niatnya untuk meminta bantuan seolah terhalang oleh rasa malu.
“Apa yang sedang kamu lakukan? Ayo sarapan!” ajak Raka.
“Bolehkah aku meminta bantuan?” Karin ragu, menggigit bibir bawahnya menahan rasa malu.
“Tentu saja, kau ingin aku memandikanmu?” goda Raka, membuat jantung Karin berdegup kencang.
“Kalau kau tidak mau menolongku, pergi saja!” teriaknya, kesal namun merasa tidak berdaya.
“Kalau kamu tidak keluar, aku akan membuka pintunya!” ancam Raka, sedikit menggoda.
Mendengar itu, Karin mengumpulkan keberanian. “Tolong bawakan aku handuk! Aku lupa membawanya!” serunya dengan nada memelas.
“Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya? Tunggu sebentar, aku akan mengambilnya,” kata Raka sebelum bergegas ke lemari untuk mengambil handuk.
“Buka pintunya! Ini dia.” Ucapnya sambil berdiri di depan pintu.
Karin membuka pintu sedikit, mengulurkan satu tangan untuk mengambil handuk itu. Raka mengerutkan kening, merasa heran dengan tingkah laku istrinya yang satu ini.
Begitu handuk itu ada di tangannya, Karin segera menutup pintu, merasakan seberapa besar ketidaknyamanan yang dialaminya. Namun, saat mengenakan handuk tersebut, dia menyadari ukurannya terlalu kecil.
“Raka! Apa tidak ada handuk yang lebih besar dari ini? Aku tidak bisa keluar rumah dalam keadaan seperti ini!” seru Karin semakin frustrasi, merasa terperangkap.
Raka menggaruk kepalanya, memikirkan bagaimana caranya agar tidak mengecewakan Karin. Rasa kesal yang terpendam mulai mengalir dalam dirinya. Dia terpaksa segera menyiapkan pakaian untuknya.
“Aku akan mengambilkan pakaian untukmu,” kata Raka, berusaha menahan tawa melihat betapa paniknya Karin.
Karin membuka kembali pintu sedikit dan mengulurkan tangan untuk mengambil pakaian yang disodorkan Raka. Namun, saat dia memakainya, ternyata gaun itu lebih tragis daripada handuk sebelumnya. Bagian atasnya terbuka, dan ia merasa pahanya terekspos dengan bebas, menambah rasa malunya.