Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pintar memanfaatkan keadaan
Tak terhitung berapa lama waktu yang Delvia lewati hingga suhu tubuhnya kembali normal, antara terlalu nyaman atau karena kondisi tubuhnya sudah membaik sehingga gadis itu tampak begitu pulas tidur di pelukan Dikta.
Ketika fajar menyingsing, alarm alam mulai berkumandang, nyanyian burung bersahut-sahutan, seolah menyerukan pada Delvia dan Dikta jika malam telah terlewati.
Perlahan Delvia membuka matanya, gadis itu baru ingat jika semalaman dia tidur seraya di peluk oleh Dikta. Delvia meneguk salivanya kasar, merasakan kedua tangan Dikta yang masih begitu erat mendekap tubuh mungilnya. “Mas,” panggil Delvia dengan suara parau, dia berusaha membangunkan Dikta agar Dikta melepasnya pelukannya. “Mas Dikta.”
“Sepuluh menit lagi, biarkan aku tidur sebentar lagi,” sahut Dikta pelan.
“Hem,” bukan Delvia tak ingin melepaskan diri, namun dia merasa bersalah karena telah merepotkan Dikta. Anggap saja Delvia sedang membalas budi dan membiarkan Dikta tidur seraya memeluknya.
Sepuluh menit kemudian, Dikta menepati ucapannya, pria itu membuka mata dan hal pertama yang dia lihat adalah rambut hitam Delvia yang tampak begitu lebat. Diam-diam Dikta mendekatkan wajahnya, menghirup aroma Rosemary dari rambut Delvia. Aneh, meski telah berkeringat sepanjang malam, namun rambut Delvia masih begitu segar. “Bagaimana kondisimu?” tanya Dikta seraya melepaskan pelukannya. Dikta lalu beranjak dari duduknya, meregangkan tubuhnya yang terasa begitu pegal.
“Sudah membaik mas,” jawab Delvia apa adanya.
Dikta kembali duduk di dekat Delvia, membantu melepas dua jaket tebal yang menyelimuti Delvia. Tanpa permisi Dikta menyentuh kening dan leher Delvia, dia juga memeriksa denyut nadi untuk memastikan gadis itu sepenuhnya membaik. “Syukurlah, semuanya sudah kembali normal,” ucapnya dengan lega. “Aku akan mengganti perbanmu, setelah itu kita sarapan dan setelah Tofa dan yang lainnya kembali kita langsung turun.”
“Hem, terima kasih banyak mas,” sepertinya ucapan terima kasih tidak cukup untuk semua kebaikan yang Dikta lakukan padanya. Namun saat ini Delvia hanya bisa mengucapkan terima kasih, mungkin saja suatu saat nanti Delvia bisa membalas kebaikan Dikta.
Saat Dikta tengah mengobati lukanya, diam-diam Delvia menatap lekat wajah Dikta. Gadis itu mengulas senyum saat menyadari Dikta terlihat semakin tampan jika di lihat dari dekat.
“Delvia.”
Suara teriakan Sari membuat Delvia terkejut, gadis itu segera menarik pandangannya dari wajah Dikta, dia menjadi gugup seketika. “Aku di dalam, mas Dikta sedang mengganti perban,” sahut Delvia lantang.
Setelah selesai, Dikta keluar dari tenda di ikuti oleh Delvia di belakangnya. Melihat Delvia keluar, Sari langsung memeluk Delvia dengan erat. “Bagaimana kondisimu? Kamu baik-baik saja kan? Aku benar-benar tidak bisa tenang saat mendaki,” ucap Sari tanpa jeda.
Delvia terkekeh, dia senang karena Sari begitu peduli padanya. “Aku sudah baik-baik saja, mas Dikta merawatku dengan baik!”
“Syukurlah!” Sari melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah Delvia dengan mata memerah. “Aku janji, suatu hari nanti aku akan menemanimu mendaki hingga puncak Mahameru!” janjinya sungguh-sungguh.
“Aku menantikannya.”
Bukan hanya Sari, semua orang juga mencemaskan Delvia saat mereka mendaki, namun kini melihat Delvia baik-baik saja semuanya merasa lega.
Perjalanan turun memakan waktu yang cukup lama karena Delvia masih berjalan dengan kaki pincang dan beberapa kali beristirahat agar luka di kaki Delvia tak memburuk.
Dini hari mereka telah tiba di Pasar Tumpang, selagi menunggu mobil yang akan membawa mereka ke kota, mereka menghabiskan waktu untuk melakukan salam perpisahan, karena setelah ini kemungkinan mereka untuk bertemu lagi begitu kecil.
Begitu mobil jemputan tiba, Dikta memutuskan untuk menemani Delvia, karena begitu sampai di kota Delvia harus segera ke rumah sakit guna melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Meski baru beberapa hari kenal, Sari tak berhenti menangis saat melepas kepergian Delvia. Untung saja mereka sempat bertukar nomor ponsel dan berjanji untuk saling bertemu di lain waktu.
Perjalanan menuju kota terasa hampa, Delvia merindukan momen saat mendaki bersama teman-teman barunya. Delvia menatap keluar, memperhatikan jalanan yang masih gelap, pikirannya bergerilya, dia enggan kembali ke Jakarta dan bertemu dengan keluarganya yang penuh problema.
“Kamu masih kuliah?” tanya Dikta setelah cukup lama diam. Dia ingin menghabiskan waktu yang tak seberapa lama lagi.
Delvia menoleh, menatap Dikta yang juga tengah menatapnya. “Saya sudah lulus mas,” jawabnya pelan.
“Ah, berarti sudah kerja?” Dikta kembali bertanya.
“Hem, kebetulan saya punya butik kecil-kecilan di Jakarta!”
“Keren sekali, masih muda sudah punya usaha,” sanjung Dikta.
“Mas Dikta lebih keren, masih muda sudah jadi Dokter Spesialis Kandungan,” berkat informasi dari Sari, akhirnya Delvia tau jika Dikta bukan seorang Dokter Umum.
“Umurku 30 tahun, aku sudah tidak muda lagi,” jawab Dikta seraya tersenyum. “Boleh kita bertukar nomor, siapa tau suatu hari nanti aku pergi ke Jakarta dan butuh teman untuk jalan-jalan di sana!”
“Tentu,” keduanya lalu saling bertukar nomor, berharap komunikasi mereka akan terus berlanjut.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan UGD rumah sakit, Dikta lantas membantu Delvia turun dari mobil, memapah gadis itu masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
“Dokter Dikta,’ sapa dokter jaga yang berada di UGD.
“Pasien tertusuk ranting di gunung, lukanya tak terlalu lebar namun cukup dalam. 24 jam lalu sempat demam lalu pasien mengalami hipotermia,” jelas Dikta secara rinci.
Dokter jaga lalu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh setelah mendengar penjelasan Dikta. Selama pemeriksaan, Dikta sama sekali tak beranjak, dia menemani Delvia layaknya seorang wali.
“Tunggu disini, aku akan menebus obat,” ucap Dikta setelah pemeriksaan selesai. Delvia hanya mengangguk pelan seraya tersenyum. Tak berselang lama Dikta kembali seraya membawa bungkusan berisi obat. “Ini obatmu, harus di habiskan!”
“Baik mas,” Delvia menerima obatnya. “Berapa semuanya mas, mau saya transfer atau cash?”
“Tidak perlu,” tolak Dikta.
“Jangan begitu mas, saya tidak mau merepotkan mas Dikta lagi,” Delvia semakin merasa tak enak hati.
“Kapan kamu pulang ke Jakarta?” tiba-tiba Dikta mengalihkan topik pembicaraan.
“Keretanya besok sore mas.”
“Besok traktir aku makan siang di restoran yang ada di dekat stasiun, anggap saja sebagai uang obat,” ternyata ada udang di balik batu, pintar sekali Dikta memanfaatkan keadaan.
“Baik mas, besok saya akan menghubungi mas Dikta.”
“Aku menantikannya.”
“Mobil pesanan saya sudah datang mas, saya harus pulang ke hotel sekarang,” ucap Delvia berpamitan.
“Aku akan mengantarmu ke depan.”
Tiba-tiba tenggorokan Dikta terasa tercekat, padahal dia ingin mengucapkan sesuatu, namun mulutnya tertutup rapat sampai akhirnya Delvia masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan ke arahnya sebagai tanda perpisahan. Dikta tersenyum, membalas lambaian tangan Delvia dengan perasaan gusar, antara sedih karena harus berpisah dan tak sabar menunggu hari esok.
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan