"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 | Mau Satu Kelompok Denganku?
“Jadi, mau pulang sekolah bersamaku?” tanya Ryan, saat kami berdua masih ada di kantor BK.
Ruangan kecil itu terasa semakin sempit, seolah menyerap emosi yang menggumpal di antara kami. Hawa pendingin ruangan tidak cukup untuk mendinginkan suasana yang memanas.
Aku hanya diam, menghela napas panjang. Rasanya sudah cukup. Kesabaran yang selama ini kutahan kini mendekati batasnya.
Setelah menyelesaikan tulisanku, aku meninggalkan kertas itu di meja tanpa berkata apa-apa dan segera berdiri, bersiap meninggalkan ruangan. Rasanya lega, seakan beban di punggungku berkurang sedikit.
“Aura, tunggu aku ...” suara Ryan memanggil, terdengar mengejarku.
Aku merasakan desiran langkah cepat di belakangku, namun aku mempercepat langkah, seolah kecepatan bisa membuatku kabur dari situasi ini. Begitu sampai di kelas, aku merasa lega karena belum ada guru. Hanya suara hiruk-pikuk teman-teman yang memanfaatkan jam kosong.
Aku duduk di dekat jendela, mencoba menenangkan pikiranku sambil memandang ke luar. Angin sepoi-sepoi dan pemandangan dedaunan bergoyang seolah membantuku melupakan drama tadi. Cahaya matahari sore yang masuk melalui celah jendela menyinari rambutku yang tergerai, menambah rasa hangat yang sedikit menenangkan.
Namun, tak butuh waktu lama sebelum ketenangan itu terganggu. Dari balik kerumunan teman-teman yang tengah sibuk dengan obrolan mereka, Ryan muncul di depan kelas. Aku hampir lupa, dia adalah ketua kelas X IPA 1. Pasti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
“Teman-teman, pelajaran fisika hari ini ditiadakan karena Pak Tono sakit. Kita disuruh membentuk kelompok beranggotakan tiga orang untuk mengerjakan tugas halaman 24. Presentasinya minggu depan,” suaranya menggema di ruangan, membuat teman-teman sekelas langsung riuh mencari kelompok.
Aku menggigit bibir, merasa canggung. Sudah sebulan aku di sini, tetapi belum terlalu dekat dengan siapa pun. Pikiran berkecamuk di kepalaku, siapa yang mau mengajakku bergabung? Aku menatap ke arah Ryan yang masih berdiri di depan kelas, berharap dia tak mengajakku, berharap dia tidak membuat semuanya semakin rumit.
Hiruk-pikuk langsung memenuhi ruangan. Suara kursi digeser, bisikan, hingga panggilan di seberang meja terdengar bersahutan. Aku menggigit bibir bawah, merasa tak nyaman. Hampir satu bulan aku di sekolah ini, tapi masih belum punya teman dekat. Hanya Ryan yang sesekali berinteraksi denganku, namun justru itulah yang membuatku merasa canggung.
Aku menundukkan kepala, pura-pura sibuk dengan bukuku. Dalam hati, aku berharap tidak ada yang menyadari keberadaanku, berharap bisa luput dari kehebohan pembentukan kelompok. Namun, doa itu tak terkabul. Tak lama, Ryan mendekat dengan langkah santai.
“Aura, mau nggak jadi satu kelompok sama aku?” tanyanya, suaranya terdengar tulus.
Di matanya ada sorot yang tak bisa kuterjemahkan, antara perhatian dan ketulusan.
Dadaku berdegup lebih cepat. Pikiranku berperang, aku ingin menolak, menjaga jarak, tetapi aku tahu tak punya pilihan lain. Tugas kelompok tak mungkin diselesaikan sendirian. Belum sempat aku menjawab, Edo, teman Ryan yang sering dianggap badut kelas, menyela.
“Bro, seriously? Satu kelompok sama cewek? Kenapa nggak ngajak Raka aja?” Dia terkekeh, diikuti beberapa teman lain yang mendengar.
Ryan tetap tenang, menatap Edo dengan senyum tipis.
“Iya, kenapa?” tanyanya. Kali ini suaranya sedikit lebih rendah, seolah memberi peringatan agar Edo tak terus meledek. “Please, Do. Kali ini aja aku sekelompok bareng kamu dan Aura.”
Aku menahan napas, menatap Ryan yang berdiri di sisiku. Beberapa detik yang sepi terasa begitu lama. Beberapa teman yang mendengar mulai tertarik memperhatikan, sebagian berbisik-bisik. Aku bisa merasakan panas di telinga dan pipiku, rasa malu bercampur kesal membakar.
“Udah, bro, cuma bercanda. Tapi nanti ngerjainnya yang serius, jangan kebanyakan micin ... eh, bucin,” kata Edo, mengangkat bahu lalu kembali ke bangkunya sambil terkekeh.
Kelas kembali sibuk dengan urusan masing-masing, suasana mereda. Ryan tersenyum kecil ke arahku, lalu menarik kursi dan duduk di dekatku.
“Jadi, gimana? Kamu oke?” tanyanya pelan, memastikan hanya aku yang mendengar.
“Entahlah ...” aku menjawab dengan jujur, menyunggingkan senyum kecil yang mungkin terlihat lebih seperti cengiran.
“Ayo lah, Ra …” Ryan semakin mendesakku.
Aku menggelengkan kepala, berusaha menormalkan napas.
“Aku ... masih memikirkannya,” jawabku, dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar.
Perasaan ragu bercampur lega menguasai hatiku. Jika satu kelompok dengan Ryan, setidaknya aku tidak perlu berjuang sendirian. Rasanya aneh, seperti ada ribuan kupu-kupu yang terperangkap di perutku. Tapi, aku tidak mau jadi incaran Isabella seperti tadi pagi.
Seorang teman perempuan satu kelasku, Kaila, yang berdiri di dekatku, berbisik sambil menyikut lenganku. “Bersama Ryan, ya? Wah, berani juga kamu. Hati-hati nanti jadi target fans-fansnya.”
Ryan, seolah mendengar bisikan Kaila, hanya menggeleng dan tersenyum kecil.
“Apaan sih? Mau cari gara-gara lagi? lagian pasti kalian para cewek nggak ada yang mau satu kelompok sama Aura,” katanya sambil menatapku penuh arti.
“Well, semangat ya, Ra. Jangan jadi beban buat Ryan.” Kaila pergi meninggalkan kami berdua.
Saat suasana kelas mulai kembali tenang dan teman-teman sibuk membentuk kelompok, aku menyadari sesuatu. Mungkin, hari ini tidak seburuk yang kubayangkan.
...»»——⍟——««...
Kring …
Ketika bel pulang berbunyi, aku mengemasi barang-barangku dan keluar dari kelas dengan langkah pelan. Pikiranku masih terfokus pada tugas yang harus dikerjakan.
Langkahku menuju gerbang sekolah terasa lebih panjang, meski jalan setapak itu biasanya kulewati dengan cepat. Rumahku tak jauh, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Namun, kali ini perasaanku lebih berat. Ada bayangan yang mengikuti di belakangku, aku tahu siapa itu tanpa harus menoleh.
“Ryan! Berhenti mengikutiku!” teriakku tanpa sadar, lama-lama aku curiga dia adalah stalker yang selalu mengikutiku ke mana saja.
“Hah?” Ryan tertawa kecil, menunjukkan sebuah rumah berpagar hitam.
“Aura, rumahku di sini. Aku tidak mengikutimu,” ujarnya, matanya berkilat-kilat dengan senyum geli.
Aku mematung, wajahku memerah karena malu. Baru kusadari bahwa rumah kami searah. Melihat ekspresiku yang salah tingkah, Ryan tersenyum lebar.
Di dekat pagar rumahnya, sebuah kotak kardus besar terlihat tergeletak. Di dalamnya, seekor induk kucing meringkuk, melindungi anak-anaknya yang masih kecil.
“Jangan-jangan itu …” aku menatapnya penuh tanya, kenangan samar mulai muncul di benakku.
Ryan mengangguk. “Iya, itu induk kucing yang kita selamatkan saat Masa Orientasi Siswa bulan lalu. Dia sudah punya lima anak sekarang.”
Melihat kucing-kucing itu, tawa kecil keluar dari bibirku. Semua perasaan canggung dan kesal seakan menguap begitu saja.
“Wah, lucu sekali! Aku harus melihatnya!”
Ryan mempersilakan aku untuk melihat kucing-kucing dalam kardus itu. Dadaku terasa hangat karena kucing-kucing kecil itu lahir dengan selamat dan induk kucingnya juga tampak sehat.
...»»——⍟——««...