Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Dini hari, Aline terbangun dari tidur lelapnya. Hari ini ia ingin segera berangkat ke kampus. Ia sudah mengerjakan beberapa sketsa terbaiknya untuk tugas-tugasnya pagi ini. Selesai mandi dan berdoa, Aline segera turun dan bersiap menunggu taksi di depan asrama.
"Cepat! Cepat!"
Aline melihat James di depan parkiran, sedang menyuruh seseorang yang mungkin sepertinya adalah sopir pribadinya untuk mengeluarkan tumpukan kotak kardus dari bagasi.
"James!" Aline melambaikan tangannya dari gerbang kampus.
"Oh, Aline. Hai," James berlari ke arah Aline.
"Syukurlah kamu sudah datang. Nanti tolong bantu saya membawa semua ini ke aula, ya. Uli dan Elin masih dalam perjalanan katanya."
"Ha?" Aline mengangkat alisnya, heran melihat tumpukan kardus-kardus itu. "Apa isinya?"
James tersenyum tipis. "Nanti kamu juga akan tahu."
Aline bingung. Namun, ia tidak ingin bertanya lagi.
"Ini, kamu ambil yang ini saja." James menyodorkan kardus kecil kepada Aline.
Ukurannya kecil, tapi kenapa kardus ini berat sekali?
Aline mengernyit.
Ada empat kardus yang dibawa James dari rumah. Masing-masing kardus itu ukurannya berbeda-beda. Satu kardus sudah diberikan pada Aline. Dua kardus berukuran sedang dibawa oleh sopir pribadi James, sedangkan kardus yang lebih besar dibawa sendiri oleh James. Mereka berjalan ke aula.
Beberapa saat kemudian, Elin memasuki gedung aula.
"Mana Uli? Dia belum ke sini?"
Aline dan James saling berpandangan. Mereka menggelengkan kepala bersamaan.
"Saya hanya bertemu Aline di tempat parkir. Saya pikir kamu berangkat bareng Uli."
"Jadi, dia belum datang? Astaga, dia ke mana, sih? Padahal aku terlambat begini karena mampir ke rumahnya dulu. Kata ibunya, Uli sudah pergi bareng Kak Levi. Tapi kenapa dia belum datang-datang juga?" Elin kesal.
Gadis itu mengeluarkan ponselnya—bersiap untuk menelepon Uli.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari luar. "Hai! Maaf aku terlambat!"
Uli terengah-engah, mengatur napasnya. Ia langsung terduduk lemas di lantai aula yang kosong dan dingin.
"Kamu ke mana saja, sih?" tanya Elin sambil menggerutu.
Alih-alih meminta maaf padanya, Uli malah tertawa puas sambil menepuk-nepuk perutnya. "Aku kenyang," Uli terkekeh. "Maaf, ya, kawan-kawan. Aku baru selesai makan di kantin. Lumayan tadi dapat dua mangkuk soto. Gratis lagi. Hehe, ternyata betul, ya, rumor itu, soto babat kuningnya Pak Muh itu memang T-O-P banget. Serius, deh, kalian harus coba lain kali." Mata Uli terpejam, membayangkan rasa rempah-rempah yang masih menempel di lidahnya. Aroma kuah soto yang kental itu masih tercium di hidungnya, membuat perut Uli keroncongan lagi. Kalau Uli terus dibiarkan begitu saja, bisa-bisa ludahnya akan tumpah dan menetes deras ke lantai.
"Bangun, hei!" Elin menepuk punggung Uli dengan keras.
"Aduh... maaf, maaf, habis kebiasaan, sih, kalau udah makan enak jadi suka terbayang-bayang terus." Uli cengengesan.
Elin memutar bola matanya. "Kebiasaan lamamu jangan dibawa sampai ke kampus, dong. Kamu harus bersikap lebih dewasa, ngerti!"
"Iya, ya, tapi sebelum aku menjadi dewasa, aku boleh minta air minum dulu nggak? Aku haus, nih."
Elin mendesis. "Minta? Mana mungkin orang dewasa akan minta? Kamu nggak malu, ya, menjadi ratu gratisan terus?"
"Astaga. Kamu bahkan tidak memberiku air minum. Hei, selai ... lihat ini! Kamu yakin mau mempertimbangkan Elin sebagai pacarmu?"
James yang mendengar itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kamu bawa-bawa James, sih?" komentar Elin.
"Habisnya kamu pelit. Dimintai minum saja nggak mau ngasih."
"Aku itu nggak pelit. Aku cuma lagi belajar berhemat, tahu!"
"Berhemat apanya, itu bukan hemat tapi—"
"Sudah, sudah. Ini, minum punyaku saja." Aline memberikan botol airnya kepada Uli. Kepalanya mulai pusing mendengar mereka berdua bertengkar sedari tadi.
Uli mendongak. “Wah, airnya dingin. Makasih banyak, Aline.” Uli langsung menyambar botol air berwarna ungu itu dari tangan Aline, meneguknya hingga tak tersisa setetes pun.
“Suegeer banget... Akhirnya tenagaku pulih lagi. Hehehe … tapi maaf, Lin, sepertinya aku menghabiskan minumanmu.”
Aline menggeleng sambil tersenyum tipis. “Nggak apa-apa.”
Aline pun memasukkan kembali botol air itu ke dalam tasnya.
“Lihat, El. Yang namanya sahabat itu yang seperti Aline ini, bukan seperti kamu. Pelit. Tega banget sih kamu sama teman sendiri.”
“Hah? Nggak sadar, ya? Kamu juga kejam sama aku, tahu!” sahut Elin.
“Kejam apanya? Perasaan aku nggak pernah bersikap kejam sama kamu."
“Oh, jadi kamu nggak merasa bersalah sama sekali? Kamu lupa, huh? Kamu bilang mau berangkat bareng, tapi kamu malah pergi duluan tanpa kasih kabar. Terus sesampainya di kampus, bukannya ingat sama tugas kita, kamu malah enak-enakan makan sama kakakmu. Kamu tahu, nggak? Gara-gara kamu, aku hampir kesiangan, tahu! Kamu enak berangkat sama kakak kamu, lah aku? Aku nunggu di rumah kamu saja lama, belum lagi nunggu bus. Masih untung nggak kesiangan." Elin mencibir, matanya menatap ke luar ruangan.
"Sebentar, sebentar... Kamu bilang aku berangkat sama kakakku? Kakak siapa yang kamu maksud? Kak Levi?"
"Memangnya kamu punya kakak yang lain?"
Uli tertawa. "Kamu yakin, aku berangkat dan makan sama Kak Levi?"
"Nggak mungkin sama orang lain juga, kan?" Elin menggerutu.
"Ih, sok tahu kamu. Siapa bilang nggak mungkin. Aku baru saja makan bareng Kak Raga, tahu. Malah, aku sampai ditraktir dua porsi soto, loh, sama Kak Raga."
"Kak Raga? Bohong banget. Mana mungkin Kak Raga yang ganteng itu mau repot-repot jemput kamu terus ngajak kamu makan di kantin kampus. Palingan kamu ngintilin Kak Levi terus minta diajak sarapan bareng Kak Raga."
Uli mendesis. "Tadinya memang aku berangkat sama Kak Levi. Ibuku yang suruh. Tapi aku diturunkan di tengah jalan sama monster sok kecakepan itu. Yah, untung saja tadi aku ketemu sama Kak Raga di perempatan, Kak Raga ngajak aku bareng naik mobilnya, deh. Coba saja kalau tadi nggak ada Kak Raga, mungkin aku juga udah telat dan nggak bisa nyobain semangkuk soto babat hangat buatan Pak Muh itu."
James mengerang. "Soto babat terus yang ada di kepala kamu. Sudah, cukup, ya, kita masih punya banyak pekerjaan, loh. Ayo, kamu juga bantu kami bongkar kardus-kardus ini sebelum kakak tingkat kita datang."
"Tahu, nih, yang ada di pikirkan kamu itu cuma makanan terus." Elin menimpali.
Uli mencibir. Gadis itu berdiri memandangi tumpukan kotak di sebelah Aline, dan melirik James dengan heran. "Ini kardus apaan, sih? Berat banget. Kamu jadi bawa koran yang kamu sebutkan kemarin itu?"
James mengangguk. "Saya begadang semalaman untuk menyiapkan semua bahan-bahan ini. Jadi, ayo cepat keluarkan semuanya, sebelum yang lainnya datang. Nggak lucu, kan, kalau kita sibuk membongkar kotak-kotak ini sementara yang lain sudah mulai dengan pekerjaannya."
"Selai, selai, seharusnya tuh kalau kamu tahu ini semua akan merugikan kelompok kita, kamu nggak perlu mengemas koran-koran itu di dalam kotak. Mana diikat dengan selotip pula. Bikin ribet saja."
"Ya, itu 'kan biar aman."
"Aman buat matamu. Kalau begini, kita yang nggak aman. Tugas kita itu diburu oleh waktu, tahu."
"Ya, maaf."
"Ck, dasar selai. Kamu tuh bisanya cuma ngasih kerjaan terus, ya?" Uli menggerutu sambil sibuk membuka tutup kotak yang terikat dengan rapi.
James menggeleng, geli melihat tingkah Uli yang menggemaskan. Sejak mereka bertemu kemarin, Uli memang sering memanggilnya dengan sebutan "selai", karena menurut Uli, menyebut nama James hanya akan mengingatkan Uli pada cokelat leleh kesukaannya—yang sudah lama tidak dimakannya.
James terkekeh mendengar alasan Uli, tetapi akhirnya ia mengizinkan Uli untuk mengganti nama panggilannya.
Bukan apa-apa. James sendiri merasa kalau nama James lebih terdengar kebarat-baratan. James lebih suka jika ia memiliki nama Indonesia seperti Braga, Reksa, atau Damar. Namun sayangnya ia tidak memiliki nama seperti itu, dan jika ia mengganti namanya sekarang, akan butuh proses yang panjang dan merepotkan—harus melalui sidang dan sebagainya. Ribet!
Ayah James seratus persen orang Prancis, tetapi ibu James asli orang Indonesia dengan logat Jawa yang cukup kental.
Sejak kecil, James bersekolah di Prancis, ia sudah hafal semua sejarah dan kehidupan di sana. Namun, sejak ia datang ke Indonesia. James merasa bahwa budaya di Indonesia cukup unik dan beragam. Berbeda sekali jika dibandingkan dengan Paris. Indonesia memiliki bahasa, budaya, dan tradisi yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Dan, itu membuat James semakin ingin tinggal dan menjelajahi seluruh pelosok di Indonesia.
James ingin mempelajari semua tentang Indonesia. Karena alasan inilah, James diizinkan orang tuanya untuk menetap dan menyelesaikan studinya di Indonesia.
Jujur saja, James ingin menetap di kota kelahirannya, Jakarta. Ia sangat ingin mengembangkan budaya Indonesia ke kancah internasional melalui industri mode yang tengah dirintisnya. Nenek James yang seorang sejarawan mendukung cita-cita James. Ia sangat bangga memiliki cucu seperti James, yang meski sudah lama tinggal di Paris, tapi tidak pernah melupakan negara tempat ia dilahirkan.
"Astaga. Buat apa kamu bawa-bawa koran sebanyak ini? Mau dijual?" tanya Uli setelah berhasil membuka semua kardus itu. Kertas koran berwarna hitam, putih, merah dan hijau kini tergeletak bebas di lantai.
James nyengir. "Maaf, saya terlalu bersemangat. Habis mau bagaimana lagi? Semalam saya hampir putus asa karena nggak bisa menemukan bahan untuk tugas kita. Dan, saat saya ingin menyerah, saya nggak sengaja menemukan tumpukan koran ini di lemari koleksi nenek saya dulu. Coba kalian lihat, kertas korannya berbeda dengan koran biasa, kan? Meski sudah tua, kertasnya tidak memudar, lapuk ataupun berbau. Dan, poin pentingnya, semua koran ini berisi pola desain berwarna-warni. Jika digunakan untuk molding, pasti kelihatannya akan bagus. Karena saya masih memiliki banyak di rumah. Jadi, saya ambil beberapa warna ini saja supaya kalian bisa memilih sendiri."
"Tapi ini terlalu banyak, Selai."
"Kalau memang terlalu banyak, 'kan kita bisa berikan ke tim lain yang membutuhkan."
Aline mengangguk. "James benar. Lagi pula, kita hanya butuh sekitar empat tumpuk."
"Empat tumpuk? Serius?"
"Ya, satu tumpukan koran berisi sebelas lembar, kan? Itu saja sudah cukup."
"Yah, kupikir karena sketsa desain yang kamu buat kemarin terlihat rumit, kita akan butuh lebih banyak koran. Apalagi modelnya Uli." Ucap James sambil menatap ke seluruh ruangan.
Uli melemparkan tatapan sinis ke arah James.
"Memang kenapa kalau modelnya sepertiku?"
James menggaruk bahunya. "Ng... Yah, nggak apa-apa, sih. Hanya saja kemarin yang membawa koran kan hanya Aline. Ditambah lagi desain Aline juga terlihat agak sulit menempel di tubuhmu. Itu sebabnya saya membawa koran sebanyak ini untuk berjaga-jaga, siapa tahu kamu butuh lebih."
"Apa maksudmu bicara begitu?"
"Maksud saya, ngg ... postur badan kamu terlalu boros. Sepertinya badan kamu kebesaran." James tertawa.
"Wah, kamu kurang ajar juga, ya, kamu. Itu body shaming namanya. Kamu nggak boleh mengkritik bentuk tubuh orang lain. Gemuk-gemuk begini, ibuku tetap menganggap aku sebagai putrinya!" Uli cemberut. Gadis itu lalu memukul lengan James dengan kesal.
"Aduh! Cukup, Uli. Sakit, nih. Sudah, dong, daripada kamu memukul saya, lebih baik kamu gunakan tenaga kamu buat buang sampah ini."
Tanpa membalas perkataan James, Uli langsung menyambar kantong plastik dari tangan James dengan kasar. Gadis itu berjalan sambil membusungkan dadanya, membuang sampah-sampah plastik ke tong sampah kuning.
Aline berdeham.
Mereka terdiam dan memperhatikan Aline yang mulai serius.
"Tadi malam aku mengubah konsep desain yang kemarin."
"Hah? Kenapa?"
"Nggak apa-apa," Aline menghela napas. "Aku cuma kepikiran ide baru. Habisnya kalau dipikir-pikir lagi, konsep yang kemarin itu kurang kuat untuk menyampaikan pesan dari gaya pakaian itu sendiri. Juga kurang cocok sama karakter Uli. Tapi kali ini aku yakin, konsepnya sudah tepat dan bisa diterima dengan baik."
Aline membuka ritsleting tasnya, mengeluarkan buku sketsa, dan menunjukkan hasil gambarnya kepada James dan kedua temannya.
Satu set pakaian yang tampak mewah namun sederhana. Aline memberikan kesan gelap pada sketsanya. Pakaian berwarna hitam tersebut senada dengan karakter Uli yang selalu tampil edgy. Ada tiga set pakaian yang dipadupadankan Aline untuk menciptakan adibusana yang sesuai dengan konsep terbarunya.
Di kertas itu, terlihat bahwa nantinya mereka harus memecah pola model rok dan blazer untuk Uli. Bagian tersulitnya adalah membuat aksen bunga kertas berukuran besar yang harus ditempelkan di lengan bahunya. Celana rok berbentuk kulot yang mirip dengan hakama Jepang dipadukan dengan model blazer berwarna gelap—pakaian yang menonjolkan sisi feminin tetapi juga bisa terlihat maskulin.
Streetwear, spring summer, alter ego. Aline memadukan ketiga konsep itu dalam sketsa baru yang dibuatnya tadi malam.
"Wah, ini, bagus sekali. Tapi kelihatannya lebih rumit dari sketsamu kemarin." komentar James. "Tapi ini benar-benar gayaku." imbuh Uli.
"Yup, benar. Konsep kostum kali ini adalah Unisex. Bukan hanya wanita yang bisa pakai, pria juga." jawab Aline.
"Keren banget, Al." Mata Uli berbinar-binar, tampak senang dengan sketsa ilustrasi yang dibuat Aline.
"Huh, kalau desainnya kayak gini, aku juga mau pakai," cibir Elin. "Apa nggak bisa buat aku saja, Al?"
"Haha... Elin, Elin, kemarin kamu bilang nggak mau pakai kostum daur ulang." goda Uli.
"Yah, kalau kualitas koran dan desainnya sebagus ini, siapa yang nggak mau? Aku juga mau jadi modelnya kali."
"Hei, Nona Elin... sebaiknya kamu berkaca dulu sana. Kemarin kamu bilang A sekarang malah bilang Z. Aline sudah capek-capek mikirin sketsa ini buat aku, loh. Itu saja sudah menyita waktu istirahatnya. Masa sekarang kamu mau suruh Aline untuk memikirkan dan membuat sketsa baru lagi buat kamu? Repot, dong. Waktu kita juga mepet. Sudahlah, terima saja kalau aku yang akan menjadi model utama di tim kita. Lagi pula tenaga kita juga nggak bakalan cukup. Anggota regu kita aja cuma empat orang. Memangnya gampang apa? Molding juga butuh proses kali, bukan sekadar menempelkan kain atau bahan cetak pada badan. Itu juga butuh pengukuran dan ketelitian. Kalau kamu mau jadi model, kenapa tidak bilang dari kemarin?" cerocos Uli.
"Sudah, jangan ribut-ribut. Ayo cepat bereskan semuanya. Bel akan berbunyi tiga menit lagi." sergah James.
Benar saja perkiraan James. Tidak lama setelah mereka selesai membuang kardus-kardus di luar, bel langsung berbunyi tiga kali.
Gedung aula mulai ramai. Para mahasiswa baru yang masih berada di luar berlarian dan berkumpul dengan kelompok masing-masing.
Aline melihat Ode masuk bersama Sir Julian, disusul oleh Stev, dan Vany.
Vany selaku pembicara memulai acara orientasi kedua ini dengan pembawaannya yang ceria. Alunan lagu Tuxedo–Do it, yang diputar oleh Stev semakin lama semakin memeriahkan acara kali ini.
"Baiklah, hari ini adalah hari kedua sekaligus akan menjadi hari terakhir masa orientasi kalian. Besok kalian akan mulai belajar dengan produktif. Agar tidak membuang-buang waktu, mari kita mulai acara orientasi ini dengan peragaan busana. Setiap kelompok boleh mengirimkan satu orang untuk maju ke depan dan mengambil kostum yang telah kita siapkan di lemari yang ada di depan kalian. Ingat, ini adalah permainan kecepatan, jadi kalian harus gesit dan menyesuaikan kostum dengan aksesoris ataupun riasan yang sesuai, dan harus dibuat semenarik mungkin. Intinya, kalian tidak boleh asal-asalan saat mengambil barang. Harus konseptual, ya! Dua orang di depan kalian, Sir Julian dan Miss Ode akan menjadi jurinya. Nanti juga akan ada pemenangnya di akhir acara," jelas Vany lebih rinci.
"Siap, dalam hitungan ketiga, semua perwakilan tim akan mulai berburu! Oke, Satu ... Dua ... Tiga!"
DOR!