Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6 Apa Zio Punya Papa?
“Mama, kenapa Mama menangis?” tanya Enzio dengan suara kecil yang penuh kekhawatiran.
Bocah berusia lima tahun itu berdiri di ambang pintu balkon, memperhatikan ibunya yang duduk termenung sambil menatap jauh ke langit malam.
Kania terkejut mendengar suara putranya.
“Mama tidak apa-apa, sayang,” jawab Kania, buru-buru menghapus air matanya. Kemudian menarik Enzio ke pangkuannya, membelai rambut bocah itu dengan lembut. “Kenapa kamu belum tidur, hum?”
“Zio dengar suara Mama,” kata Enzio polos. “Eh ternyata Mama menangis.”
Kania tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kesedihannya. “Tadi ada debu yang masuk ke mata Mama,” katanya, berharap alasan itu cukup untuk memuaskan rasa ingin tahu anaknya.
Namun, Enzio mengerutkan kening, jelas tak percaya. “Mama yakin tidak sedang berbohong sama Zio?”
Kania tertawa kecil, meski hatinya terasa perih. “Tidak, sayang. Mama baik-baik saja.”
Enzio menatap wajah ibunya lalu memeluknya erat. “Kalau ada yang nakal sama Mama, bilang ya. Biar Zio marahin!”
“Terus, Zio mau apain mereka?” Kania tertawa, terhibur oleh kepolosan putranya.
“Zio akan bilang, jangan ganggu Mama Zio yang cantik ini!” kata Enzio sambil mengerutkan alisnya, berusaha terlihat galak.
Kania tertawa lebih keras kali ini. Hadirnya Enzio di hidupnya adalah anugerah terbesar, kekuatan yang membuatnya mampu bertahan di tengah segala cobaan.
Namun, tawa itu tak bertahan lama ketika Enzio kembali bertanya dengan nada serius.
“Mama, Zio boleh tanya sesuatu?”
“Tentu, sayang,” jawab Kania sambil mengusap kepala putranya penuh kasih sayang.
“Apa Zio punya papa?” Pertanyaan itu terucap dengan mata Enzio yang berbinar penuh harapan, seolah-olah ia sangat ingin mendengar jawaban yang selama ini diimpikannya.
Kania tertegun, senyum yang tadi menghiasi wajahnya seketika memudar. Jantungnya berdebar, tak menyangka pertanyaan ini akhirnya keluar dari mulut Enzio.
“Kenapa Zio bertanya seperti itu?” tanya Kania lembut, meskipun ia sudah bisa menebak alasannya.
“Tadi... di sekolah, teman-teman Zio dijemput sama Papanya. Sementara Zio... Zio cuma sama Bi Inah. Zio juga pengen punya Papa kayak mereka,” ucap Enzio.
Hati Kania mencelos, perasaan bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Sudah lima tahun ia menyimpan rahasia ini, berharap Enzio tak perlu tahu.
Tetapi sekarang, putranya mulai mempertanyakan hal yang selama ini dihindarinya.
“Zio, Mama...” Kania menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian. “Sebenarnya, Papa kamu itu—”
Tiba-tiba, suara bel apartemen memecah keheningan, membuat Kania tersentak. Ia menoleh ke arah pintu, dengan jantungnya berdegup kencang. Siapa yang datang malam-malam begini?
“Ma, ada tamu?” Enzio menoleh ke arah pintu, wajahnya tampak penasaran.
Kania mengusap pipi Enzio, berusaha menenangkan. “Mama lihat dulu, ya. Kamu masuk ke kamar dulu, sayang. Nanti Mama lanjut cerita.”
Enzio mengangguk, meskipun wajahnya sedikit kecewa. Ia berjalan perlahan menuju kamar, sambil sesekali menoleh, berharap ibunya segera menyusul dan melanjutkan cerita yang tadi terpotong.
Setelah memastikan Enzio masuk ke kamarnya, Kania beranjak menuju pintu. Tangannya sedikit gemetar saat meraih gagang pintu, perasaan was was kembali menghantuinya.
Begitu pintu terbuka, tubuhnya seketika membeku. Disana berdiri seorang pria dengan tatapan penuh kerinduan, wajahnya yang tak asing lagi menatap Kania dengan sorot mata yang penuh arti.
“Adrian...” Kania berbisik, nyaris tak percaya. Lelaki yang selama ini ia hindari, lelaki yang pernah ia cintai, kini berdiri di depan matanya.
“Hai, Kania.” Suara Adrian terdengar serak, seolah berusaha menahan emosi yang bergejolak di dalam dadanya. “Boleh aku masuk?”
Kania menelan ludah, kebingungan melanda.
Sekian tahun berlalu tanpa ada kabar, tanpa ada penjelasan. Dan sekarang, pria itu muncul kembali, tanpa peringatan, saat ia nyaris menyerah pada segala kenangan masa lalu.
Meski baru tadi siang mereka bertemu setelah sekian lama. Itu tidak akan merubah apapun.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Kania berusaha terdengar tegar, meski suaranya bergetar.
“Aku ingin bertemu Zio.”
“Tidak sekarang. Sudah berapa kali aku bilang?” sentak Kania. “Pergilah. Zio juga tidak tahu apakah kamu masih hidup atau tidak.”
Adrian menarik napas panjang, menahan emosinya. “Dan dia pantas tahu siapa papanya. Aku disini untuk itu. Izinkan aku bertemu dengan Zio sekali saja... izinkan aku menjadi bagian dari hidupnya.”
Kania hanya diam, terjebak dalam kebimbangan. Tiba-tiba, langkah kecil terdengar dari balik kamar, dan hingga suara Enzio memecah keheningan.
“Ma? Siapa yang datang?” tanyanya sambil mengintip dari balik pintu, matanya menyipit melihat sosok pria asing di depan ibunya.
Kania menggigit bibirnya, lalu berbalik menatap Adrian. Inilah saat yang tak pernah ia persiapkan. Ataukah mungkin ini waktunya?
“Zio, sayang, dia–”
“Papa. Aku papa kamu Zio.” Adrian cepat-cepat memotong ucapan Kania. Sementara Enzio terlihat bingung.
“Papa?” Panggil Enzio.
Adrian mengangguk. “Iya, Zio. Sini peluk papa,” ucapnya sembari membuka lebar kedua tangan.
Enzio memeluk kaki Kania, nampak ketakutan melihat Adrian. “Jadi, Paman yang sudah membuat mama selalu menangis setiap malam?” tanyanya sontak membuat Adrian memaku di tempat.