"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Take-Off
Matahari pagi menyinari bandara dengan lembut, menciptakan suasana yang hangat dan penuh harapan. Di sudut kafe, dua sahabat, Hamzah dan Robi, duduk menikmati kopi sambil mengobrol tentang kehidupan yang telah mereka jalani. Namun, hari itu akan membawa mereka pada sebuah perjalanan yang tak terduga.
“Lhoh, berarti bibi itu istri bapak ya Bu Inem?” sahut Hamzah terkejut, matanya melebar saat mendengar penjelasan Pak Supri. Suara riuh di sekeliling mereka seolah menghilang, hanya ada rasa ingin tahu yang membara.
“Iya mas, itu istri saya,” timpal Pak Supri dengan senyum hangat di wajahnya. Ada kedekatan yang terasa dalam setiap kata yang diucapkannya.
“Lalu Amri,? Apakah yang kemarin melayani kita dengan ramah saat di ruang makan pak?” lanjut Hamzah, semakin penasaran.
“Iya mas, itu Amri anak saya,” sambung Pak Supri. Dalam sekejap, Hamzah merasa seolah telah menemukan potongan puzzle yang hilang.
“Tuan Dul sangat baik kepada keluarga saya mas, saya berhutang budi sama beliau,” lanjut Pak Supri dengan nada penuh rasa syukur. Kata-katanya menggambarkan hubungan yang erat antara mereka dan Tuan Dul, sosok yang selama ini menjadi misteri bagi Hamzah dan Robi.
“Iya pak, semoga Mbah Dul dan Pak Supri sekeluarga selalu diberikan kesehatan,” ucap Hamzah tulus. Doa itu meluncur dari hati kecilnya, berharap agar kebaikan selalu menyertai mereka.
“Aamiin ya Allah,” jawab Pak Supri dan Robi bergantian.
Mereka kembali menikmati kopi yang masih hangat. Aroma kopi menyatu dengan suasana hangat persahabatan. Beberapa saat kemudian, Pak Supri pamit. “Mas Hamzah dan Mas Robi. Ini saya mau pamit dulu, kalian berdua jaga diri baik-baik ya disana. Kalau nanti sudah pulang ke Indonesia, boleh mampir ke rumah Tuan Dul, pintu selalu terbuka untuk kalian mas,” ucap Pak Supri dengan nada penuh harapan.
“Iya pak, terimakasih banyak ya pak atas semua kebaikan bapak. Iya Pak, pasti kita akan menjaga diri baik-baik disana, doakan ya pak,” timpal Hamzah mewakili Robi yang hanya mengangguk.
“Iya mas pasti. Ya sudah mas, ini saya pamit dulu. Assalamu’alaikum mas,” lanjut Pak Supri sembari berdiri dari duduknya dan berjabat tangan dengan mereka berdua.
“Waalaikumussalam, hati-hati pak,” sahut mereka serentak.
Pak Supri berjalan menuju mobilnya, meninggalkan dua sahabat itu dalam keheningan penuh makna.
Setelah berjabat tangan dan berpamitan dengan Pak Supri, Hamzah melihat ponselnya, “Rob, ayo segera habiskan kopinya. Setelah itu segera check-in,” ucap Hamzah sambil melihat jam di ponselnya.
“Iya Zah,” jawab Robi pendek. Mereka berdua menghabiskan sisa kopi dengan cepat sebelum beranjak menuju tempat check-in.
Sesampainya di tempat check-in, antrian terlihat panjang. Mereka menunggu dengan sabar sambil berbincang tentang rencana perjalanan mereka ke luar negeri.
Akhirnya giliran mereka tiba. Hamzah berada di depan Robi saat menunjukkan tiket serta data diri seperti KTP dan paspor. Proses check-in berjalan lancar hingga mereka mendapatkan boarding pass. Setelah meletakkan tas di timbangan dan mendapatkan bukti nomor tas bagasi, mereka membayar airport tax sebelum masuk ke boarding room.
Sebelum memasuki pesawat, Hamzah mengambil handphone dari dalam tasnya. “An, bilang sama bapak dan ibuk kalau sebentar lagi Mas Hamzah mau naik pesawat. Minta do’anya semoga diberikan selamat sampai tujuan,” tulisnya dalam pesan singkat.
Hamzah kemudian mengambil botol air berukuran sedang dari dalam tasnya, merasakan kesegaran air yang mengalir ke tenggorokannya. Setelah meneguknya, rasa penasaran muncul dalam dirinya. “Eh Rob, ini setelah kita ketemu sampai sekarang, aku belum tahu kamu mengambil jurusan apa di sana?” tanyanya kepada Robi, sahabatnya yang duduk di samping.
“Hehehe, aku juga lupa Zah,” jawab Robi sambil mengelus-elus kepalanya dengan kebingungan yang lucu.
“Serius lupa?” Hamzah melanjutkan pertanyaannya, mencoba menggali informasi lebih jauh dan merasa sedikit curiga.
“Coba tebak!” sahut Robi dengan nada menantang, senyumnya merekah.
“Mmm, kamu ambil pendidikan mungkin?” tebak Hamzah, berharap bisa menebak dengan benar.
“Aku mengambil jurusan... Ada dehhh,” Robi menjawab sambil tertawa, menambah rasa penasaran Hamzah. “Akan aku jelaskan nanti Zah,” lanjutnya sambil mengedipkan mata.
“Hadeh, iya deh iya,” ucap Hamzah sedikit kesal namun tetap tersenyum.
Setelah beberapa saat berbincang, Hamzah dan Robi beranjak dari tempat duduk mereka. Suasana bandara yang ramai dan hiruk-pikuk penumpang memberikan semangat tersendiri bagi mereka. Dengan hati penuh harapan dan sedikit rasa cemas akan petualangan baru yang menanti di depan mata, Hamzah dan Robi melangkah menuju pesawat, memasuki pintu depan karena mendapatkan nomor kursi awal. Hamzah mencari-cari kursinya di dalam kabin yang penuh dengan penumpang lain. Mereka tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya sekadar fisik; ini adalah perjalanan menuju penemuan diri dan hubungan yang lebih dalam dengan orang-orang tercinta.
Setelah menemukan tempat duduknya, Hamzah meletakkan tas di bagasi kabin yang berada di atas. Saat itu, pandangannya menangkap sosok Robi yang duduk agak jauh darinya. Dengan cepat, ia kembali ke kursinya dan bersiap untuk penerbangan. Sesaat sebelum pesawat lepas landas, suara awak pesawat menggema memberikan petunjuk keselamatan. Hamzah memperhatikan dengan seksama setiap instruksi yang diberikan. Ia meraih sabuk pengaman dan segera memakainya, merasakan ketegangan menjalar di seluruh tubuhnya.
Duduk di sebelah jendela, Hamzah mengarahkan pandangannya ke luar jendela pesawat. Pemandangan bandara yang semakin kecil membuat hatinya berdebar-debar; ini adalah awal dari sebuah petualangan baru. Dalam benaknya terbayang berbagai kemungkinan yang akan mereka hadapi selama perjalanan ini.
Di dalam pesawat yang meluncur ke langit biru, Hamzah merenungkan semua pertemuan dan percakapan yang telah terjadi. Setiap kata dari Pak Supri terngiang di telinganya—sebuah pengingat bahwa setiap orang memiliki cerita dan hubungan yang berharga dalam hidup mereka.
Perjalanan ini adalah awal dari banyak cerita baru yang akan ditulis oleh tangan-tangan mereka sendiri—cerita tentang persahabatan, keluarga, dan harapan yang tak pernah padam meski jarak memisahkan.
***
Kekhawatiran hati terasakan dah-dig-dug.
jantungku berdegup kencang seperti perasaan dekat bersamamu,
tetapi ini karena dimulainya gemuruh deru mesin jet
bercampur dengan terasanya getaran roda pesawat yang berputar.
Begitulah alunan seni pacu adrenalin.
Detak jantungku, terasa semakin mempercepat tempo.
Bertalunya bersamaan dengan sebuah alunan rasa cinta yang abadi,
yang bersemayam murni bersih di dalam ruangan paling dalam.
Jantungku pun masih tetap berdetak,
semakin tenang bersamaan dengan moncong pesawat,
terasakan sudah terbang konstan mendatar, sejalur alur kulit Bumi Pertiwi.
Dan detak jantungku semakin terasa mulai teratur,
bersamaan dengan hinggapnya bayangan hati yang menerawang,
yang nan jauh ke sebuah gumpalan awan putih yang bersih
dan suci sepeti hati bidadariku.
Wahai kekasihku,
sekiranya mungkin menyelinap terbang
dengan sayapmu yang putih indah,
sambil melambai mengatakan sebuah perasaan.
Rindumu pada diriku.
***
Dalam sebuah pesawat yang melintasi langit biru sedang terbang menuju Inggris. Hamzah duduk di kursi dekat jendela. Suasana dalam pesawat terasa hangat, dengan penumpang lain yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, sementara pramugari berjalan dengan anggun melayani mereka. Di samping Hamzah, duduk seorang pria bernama Doni, yang terlihat tenang meski sedikit gugup. Pesawat meluncur melewati awan putih yang menggumpal, menciptakan suasana yang sempurna untuk sebuah pertemuan tak terduga.
"Mas?" ucap Doni, memecah keheningan. Hamzah menoleh, merasa panggilan itu ditujukan kepadanya. "Iya mas?" sahutnya.
Doni memperkenalkan diri dan mereka berjabat tangan. Sebuah perkenalan sederhana yang menandai awal dari sebuah hubungan yang tak terduga. Mereka berdua terlibat dalam percakapan ringan untuk mencairkan suasana. Saat mereka berbincang, Hamzah mengungkapkan alasannya pergi ke Inggris untuk melanjutkan studi. Doni mengagumi keputusan Hamzah dan menjelaskan bahwa ia pergi ke Inggris untuk urusan bisnis. Percakapan ini membuka pintu bagi Hamzah untuk bertanya lebih lanjut tentang Doni dan kehidupannya.
Ketika Hamzah menanyakan asal Doni, terjadilah momen mengejutkan ketika Doni menyebutkan bahwa ia berasal dari Jakarta dan memiliki teman dekat di Sawah Lor, desa tempat tinggal Hamzah. Ketertarikan Hamzah semakin meningkat saat ia mendengar nama teman Doni, Ririn, seorang wanita cantik yang ternyata adalah teman masa kuliah Doni.
"Haahhh," Hamzah terkejut mendengar nama Ririn. Dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan.
***