Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahta
...••••...
Mematut sekali lagi penampilannya didepan cermin, Echa merasa jika penampilannya sudah siap untuk dirinya berangkat. Kemeja lilac dan rok pan semata kaki membalut tubuhnya. Untuk rambutnya sendiri, sengaja Echa ikat setengah.
Hari ini dirinya sudah mulai mengajar disalah satu sekolah dasar swasta terbesar dan termewah yang berada di kotanya.
Meskipun pagi ini cuaca kurang mendukung di karenakan hujan sudah melanda dari dini hari tapi tidak membuat Echa kehilangan semangatnya.
Beruntungnya jarak sekolah tempatnya mengajar tidak terlalu jauh dari apartemennya.
Hanya lima belas menit naik bus akan sampai. Transportasi yang dipilih Echa karena dia ingin merasakan sensasi berangkat kerja bersama orang-orang. Pasti rasanya menyenangkan.
Keluar dari apartemennya, bertepatan dengan Lania yang juga akan kuliah di hari pertamanya setelah libur semester.
"Kak Echa ke sekolah naik apa?"
"Bus."
"Mau bareng sama aku? Kebetulan kakek kirim supir buat anterin aku ke kampus."
"Ngga usah, sekolahnya deket kok." Tolak Echa.
"Oh ya udah kalau begitu aku duluan ya kak." Lania melambaikan tangannya sebelum masuk kedalam mobil yang akan mengantarnya ke kampus.
Salah satu hal itulah yang Echa sukai dari Lania, gadis itu tidak akan memaksakan kehendak jika Echa menolak sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Echa harus berjalan sekitar seratus meter untuk menunggu bus di halte. Untungnya hujan sudah reda menyisakan rintik-rintik kecil membuat Echa tidak jadi membawa payung. Terlalu ribet nanti Echa membawa-bawanya.
Ketika sampai di halte kebetulan juga bersamaan dengan datangnya bus yang akan dinaikinya.
Benar saja seperti waktu yang sudah diperkirakan, lima belas menit diperjalanan akhirnya sampai juga Echa di depan sekolah tempatnya akan mengajar.
Hari pertama Echa mengajar rupanya membuat tenaganya hampir terkuras habis.
Anak-anak sekolah dasar yang sedang dalam masa aktif aktifnya itu memang sesuatu hal yang luar biasa. Butuh tenaga dan juga mental yang besar untuk menghadapinya.
Jika ditempat dulu memang sama-sama cape, hanya saja Echa tidak merasakan perasaan itu begitu kentara seperti disini. Entah apa sebabnya, Echa juga tidak tahu. Padahal dirinya sama-sama mengajar murid-murid kecil.
"Pulang naik apa Bu?" Bu Siwi, rekan sesama guru merupakan orang pertama yang mengajaknya berbicara setelah perkenalan singkat pagi hari tadi.
"Saya naik bus Bu Siwi."
"Oh, hati-hati dijalan kalau begitu. Saya duluan ya bu, suami sudah jemput." Bu Siwi menenteng tasnya meninggalkan Echa yang masih duduk di mejanya.
Menghela nafas perlahan, Echa juga bergegas membereskan barang-barangnya yang tidak seberapa karena hari ini masih pertamanya.
Saat akan keluar dari ruangan, suara seseorang memanggilnya membuat Echa menghentikan langkah dan membalikkan badan.
Yoga, guru olahraga yang sedari awal terus curi curi pandang terhadapnya yang memanggilnya membuat Echa tidak enak jika menolak ajakan obrolan itu.
"Bu Ayu mau pulang?" Jangan heran dengan panggilan Echa, wanita itu memang sengaja memilih nama akhirnya untuk panggilannya di sekolah ini.
"Iya pak." Apakah hal itu harus ditanyakan? padahal jelas-jelas Echa sudah akan pulang.
"Mau bareng sama saya ngga?" ugh, Echa mulai merasa tidak nyaman.
"Tidak usah pak, saya naik bus. Duluan, saya takut ketinggalan." Cepat-cepat Echa meninggalkan Yoga yang terlihat masih ingin berbicara padanya.
Saat tiba halte, sebuah Mercedes Benz berhenti didepannya membuat Echa yang tengah duduk menunggu bus terlihat kebingungan.
Lalu ketika keluar seorang pria dari mobil itu membuat tubuh Echa kaku.
Pramudya, pria dengan setelah jas itu berjalan menghampirinya.
"Kamu, ngajar disini?" Tubuh Pram yang besar menjulang tinggi didepan Echa membuat wanita itu harus mengangkat kepalanya untuk balas menatapnya. Aroma kuat yang masih tidak berubah wanginya sejak dulu langsung menusuk indra penciumannya.
"Iya mas, aku ngajar disini," jawab Echa seadanya.
"Ayo saya antar pulang."
"Tidak usah mas, aku naik bus." Sudah dua orang yang mengajaknya pulang bareng tapi tidak ada satupun yang Echa terima ajakannya.
"Narecha." Pram memanggil nama Echa dengan suaranya yang begitu dalam membuat Echa meneguk ludahnya kasar.
Suara Pram benar-benar terdengar mengintimidasi membuat tubuh Echa rasanya menggigil.
"Mas, beneran aku naik bus, itu busnya udah ada, duluan." Echa berdiri menyingkir dari hadapan Pram begitu bus sudah datang.
Cepat-cepat Echa masuk ke dalam bus tanpa berani menatap Pram yang masih menatap kepergiannya dengan pandangan yang begitu rumit.
Sekilas, Echa yang sudah duduk di bus bagian belakang menengok keluar dan tatapannya langsung bersibobrok dengan Pram yang memandang kearahnya.
Jantung Echa berdetak dengan keras dibuatnya.
Dengan cepat Echa memutus tatapan keduanya dan memandang ke sisi lain.
Bertatapan dengan Pram sungguh berbahaya, selain untuk kesehatan jantungnya, keberadaan Pram disekitarnya juga membuat akal sehat Echa hilang mendadak seperti orang bodoh.
Perasaan yang coba Echa kubur dengan dalam-dalam pada Pram rupanya masih menjadi pemilik tahta paling tinggi dalam hatinya.
Iya, Echa menyukai pamannya sendiri.
Perasaan yang tidak patut untuk Echa rasakan pada keluarganya sendiri.
Meskipun Pram hanyalah adik angkat wanita yang telah melahirkannya, tetap saja perasaan itu tidak boleh ada. Sangat tidak boleh.
Dan yang mengetahui rahasia terbesarnya itu adalah Naretha. Entah bagaimana caranya kembarannya itu tahu bahwa dia memiliki perasaan pada pamannya sendiri.
Sejak Naretha mengetahui perasaannya, sejak saat itulah Echa berusaha melupakan bayangan bayangan seorang Pramudya Angkasa dari dalam benak juga hatinya.
Tapi, ternyata tidak semudah yang diucapkan. Begitu sulit Echa membuang perasaan menggebu itu dalam hatinya.
Sudah sepuluh tahun Echa memiliki perasaan itu. Sudah selama itu pula Echa berusaha menutupinya dengan keras.
Enam tahun yang lalu, Echa pernah curi dengar obrolan Pram dengan Altheda atau mamanya yang memberitahukan jika pria itu sudah dijodohkan dengan seorang wanita dari keluarga terkemuka membuat perasaan Echa begitu hancur.
Echa yang dulu masih seorang remaja labil merasa jika hidup benar-benar tidak adil terhadapnya.
Tidak ada kasih sayang seorang pun yang pernah Echa dapatkan. Sosok Pram yang tadinya dia harapkan bisa mengeluarkannya dari neraka itu pupus sudah.
Setelah mendengar obrolan itu, Echa tidak pernah lagi bersinggungan dengan Pram. Jika ada satu momen yang akan membuat keduanya berpapasan sebisa mungkin Echa menghindarinya.
Dan berhasil, selama satu tahun sebelum kepergiannya Echa tidak pernah melihat lagi Pram.
Tapi kini, setelah enam tahun berlalu Echa harus bertemu lagi dengan perasaan yang sialnya masih saja dia rasakan.
"Kak, barang kali mau berhenti?" seorang remaja laki-laki berseragam sekolah menegur Echa yang melamun membuat wanita itu langsung tersadar.
Menilik ke sekitarnya, Echa menghela nafas kasar. Dia cepat-cepat keluar dari bus.
Apartemennya sudah terlewat sekitar delapan ratus meter. Sungguh, Echa merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya sampai tidak sadar jika apartemen sudah terlewat.
Kini, Echa harus berjalan kaki menuju apartemennya. Mungkin ini akibat juga Echa yang menolak ajakan dua orang sebelumnya.
Berjalan dengan langkah gontai, mengabaikan rintik hujan yang kembali membasahi jalan yang sebelumnya sudah kering.
......••••......