Kamila gadis yatim piatu mencintai Adzando sahabatnya dalam diam, hingga suatu malam keduanya terlibat dalam sebuah insiden.
Adzando seorang artis muda berbakat.
Tampan, kaya, dan populer. Itulah kata-kata yang tepat disematkan untuknya.
"Apapun yang kamu dengar dan kamu lihat, tolong percayalah padaku. Aku pasti akan bertanggung jawab dengan apa yang aku lakukan. Kumohon bersabarlah."
Karena skandal yang menimpanya, Adzando harus kehilangan karier yang ia bangun dengan susah payah, juga cintanya yang pergi meninggalkannya.
"Maafkan aku, Do. Aku harus pergi. Kamu terlalu tinggi untuk aku gapai."
"Mila... Kamu di mana? Aku tidak akan berhenti mencarimu, aku pasti akan menemukanmu!"
Kerinduan yang sangat mendalam di antara keduanya, membuat mereka berharap bahwa suatu hari nanti bisa bertemu kembali dan bersatu.
Bagaimana perjalanan cinta mereka?
Mari baca kisahnya hanya di sini ↙️
"Merindu Jodoh"
Kisah ini hanya kehaluan author semata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
...*...
Zando terduduk di lantai balkon apartemennya, sambil menyandarkan punggungnya pada tembok dan meluruskan kedua kakinya. Dia memeluk gitar yang berada dipangkuannya, namun pikirannya menerawang jauh entah ke mana. Dipandanginya langit gelap yang hanya ada beberapa bintang tampak menghiasinya.
Sore tadi Zando memutuskan untuk pulang ke apartemen, setelah dokter menyatakan bahwa kondisi Adzana kakak kembarnya dalam keadaan stabil pasca operasi caesar. Dia juga menyempatkan diri menyapa duo bocil keponakannya yang baru lahir itu di ruangan bayi.
Pemuda itu tersenyum lega, manakala melihat keponakannya yang sangat tampan dan cantik, juga sehat. Lalu dia membayangkan anaknya sendiri yang akan lahir nanti.
"Apakah anakku juga akan secantik kakak, atau setampan abang?"
Zando tersenyum getir jika mengingatnya. Matanya mulai berembun dan tenggorokannya terasa tercekat menahan sesak di dada.
"Jagalah hatimu untukku, Mila. Aku pasti akan datang pada kalian. Jangan pernah pergi dari hatiku. Kumohon ... Pastikan hanya aku yang memiliki hati juga ragamu."
Zando lalu melipat kedua kakinya dan membenarkan posisi duduknya. Dia mulai memetik gitarnya dan menuangkan kegalauan hatinya menjadi lirik lagu.
Ketika Zando tengah asyik dengan dunianya sendiri, Nino datang dan mengagetkannya.
"Pantas saja dari tadi aku menghubungimu tidak diangkat, ternyata kamu ada di sini," gerutu Nino.
"Ada apa datang kemari?" tanya Zando.
"Kok tanya ada apa? Kita kan ada janji malam ini ketemu produser rekaman. Apa kamu lupa!" sarkas Nino.
Zando menarik napas malas, lalu berdiri dari duduknya. Tanpa berkata dia langsung masuk ke dalam kamar, meletakkan gitar pada tempatnya, kemudian berganti baju. Setelahnya ia berlalu begitu saja keluar dari kamarnya menuju pintu keluar.
"Eh, busyet itu bocah, main kabur aja!" Nino lantas mengejar langkah Zando yang sudah keluar dari unit huniannya.
"Do, tunggu ...!" teriak Nino saat melihat Zando akan masuk ke dalam lift. Dia langsung melesak masuk begitu lift hampir tertutup.
"Aku tahu, mungkin kamu kesal atau bahkan marah sama aku. Tapi sebagai seorang pekerja, bukankah kita dituntut untuk bersikap profesional?"
Tak ada tanggapan dari Zando. Sebenarnya dia bukannya marah atau kesal pada Nino, tapi entahlah, dia bahkan tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Kadang merasa moodnya baik, tapi sejurus kemudian ia merasa tiba-tiba moodnya anjlok dan tidak ingin berbicara dengan siapapun kecuali terpaksa.
Hingga keluar dari dalam lift, dan kini mereka berada dalam perjalanan menuju kantor studio musik, masih tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir Zando.
"Do, mau sampai kapan kamu mogok bicara sama aku. Apa yang aku lakukan itu semua demi kamu," ucap Nino.
"Kecuali jika kamu memutuskan ingin berhenti dari dunia entertainment, maka aku juga akan berhenti menjadi managermu dan memilih membuka usaha di kampung," sambung Nino kemudian.
Zando menoleh ke arah Nino yang sedang fokus menyetir, lalu berkata, "Entahlah, aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri. Akhir-akhir ini mood ku sering berubah, mungkin ini bawaan bayi."
"Bawaan bayi? Maksudnya?" Nino bertanya seraya memalingkan wajahnya sekilas ke arah Zando.
"Iya, Kamila saat ini sedang hamil anak aku."
Ciiiittttt....
Nino menginjak pedal rem dengan mendadak. Beruntung lalu lintas malam itu tidak terlalu ramai, sehingga tidak menyebabkan kemacetan.
"Apaan sih, No! Kamu mau membuat jidatku benjol?"
"Coba katakan sekali lagi, aku takut pendengaranku salah!"
"Tidak ada yang salah dengan apa yang kamu dengar. Kamu pikir kenapa setiap pagi aku selalu muntah-muntah, padahal aku tidak masuk angin ataupun sakit."
Zando menghembuskan napasnya, tatapannya menerawang jauh ke depan. "Apalagi setiap muntah tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali air."
"Bagaimana bisa?"
"Ya bisa saja. Itu terjadi mungkin karena ada ikatan kuat antara aku dan Kamila serta bayi yang dikandungnya. Mungkin juga karena aku terlalu mencemaskan Kamila secara berlebihan, sehingga terjadi penurunan hormon testosteron dan peningkatan hormon estradiol."
"Kamu tahu darimana kalau Kamila hamil?"
"Papa dulu juga begitu waktu Mama hamil aku dan Kakak. Bahkan Kak Arbi juga mengalaminya, sehingga Mama dan Kakak menyimpulkan seperti itu, bahkan Tante Icha juga berpikir hal yang sama," pungkas Zando.
Nino manggut- manggut entah mengerti atau tidak. Lalu dia mengemudikan kembali mobilnya melanjutkan perjalanan.
.
.
.
.
.
Kamila berjalan menuju warung yang berada di depan gedung Puskesmas. Ia berniat membeli cemilan untuk menemaninya menunggu Fika sampai gadis itu datang menjemputnya.
Selesai membayar apa yang di belinya, Kamila bermaksud kembali ke tempat semula, di mana dia biasa menunggu Fika. Tak disangka dia bertemu dengan Ikhsan yang akan pergi keluar entah ke mana.
Kamila langsung menghentikannya dan menyapa, "Selamat siang, Mas Ikhsan."
Namun tidak ada jawaban dari pemuda itu, bahkan dia tampak memalingkan wajahnya menghindari tatapan Kamila.
"Saya ... mengucapkan terimakasih atas pertolongan Mas Ikhsan pada saya," ucap Kamila.
Ikhsan menolehkan kembali pandangannya pada Kamila sambil tersenyum remeh lalu menyahut, "Anda tidak perlu berterimakasih, Dokter Kamila. Saya melakukannya atas dasar kemanusiaan. Jadi, Anda jangan kege'eran. Saya pastikan bahwa saya tidak akan terjerat oleh perangkap Anda!"
Kamila mengerjapkan matanya. Dia bingung dan tidak mengerti arah pembicaraan pemuda di depannya.
"Maksud Mas Ikhsan apa, ya?"
"Jangan pura-pura polos dan sok suci. Janda seperti Anda pasti mencari mangsa untuk mencari pria mana, yang mau menjadi ayah dari bayi yang Anda kandung itu!"
Deggg
Muka Kamila merah padam mendapatkan penghinaan seperti itu. Detik berikutnya ia segera melayangkan protesnya pada pemuda di depannya.
"Jaga mulut Anda ya, Mas ikhsan! Selama ini saya menghormati Anda sebagai pegawai di sini. Dan apa yang terjadi pada saya, itu sama sekali bukan urusan Anda. Apa pernah saya menggoda Anda? Bahkan saya selalu menjaga jarak dengan lawan jenis agar tidak timbul fitnah, tapi---"
"Halah ... itu kan, jurus yang Anda pakai agar para pria terpikat pada Anda. Saya tidak menyangka, ternyata Anda tidak lebih dari seorang wanita murahan yang tidak bisa menjaga---"
Plaaakkk
Cap jari tangan Kamila tercetak jelas di pipi kiri Ikhsan. Pemuda itu bahkan sampai memalingkan wajahnya ke samping, saking kerasnya tamparan yang Kamila berikan. Ia lalu memegangi pipinya yang terasa panas. Kemarahan sangat terlihat dari wajah Ikhsan.
Kamila sama sekali tidak merasa takut dengan kemarahan Ikhsan. Dia lantas melanjutkan ucapannya, "Entah punya masalah apa, Anda dengan saya, tapi saya sungguh tidak pernah merasa memiliki masalah dengan Anda. Saya bahkan sama sekali tidak tertarik pada Anda, apalagi sampai berusaha menarik perhatian Anda, permisi!"
Kamila meninggalkan Ikhsan dengan dada bergemuruh menahan emosi. Dia terus berjalan menyusuri jalan raya dengan airmata berderai. Sungguh, hatinya terasa sakit sekali. Hingga ia merasakan perutnya sedikit berdenyut nyeri. Kamila berhenti di pinggir jalan, lalu setengah membungkuk sambil mengelus perutnya dengan lembut.
"Maafkan bunda ya, Nak. Maaf bunda tidak bisa mengendalikan emosi. Adik takut ya, bunda marah, heemmm?" Kamila bergumam lirih sambil mengelus perutnya. Setelah dirasa membaik, dia lalu kembali melangkahkan kakinya.
Kamila terus berjalan, sampai dia merasakan pegal pada kakinya. Dia memutuskan duduk di bangku beton yang ada di depan pekarangan rumah orang. Kamila menarik napasnya yang tersengal, lalu menunduk dan mulai memijit betisnya yang terasa nyeri. Namun tidak senyeri luka di hatinya.
Perkataan Ikhsan padanya beberapa saat lalu, telah menorehkan luka mendalam di hatinya, hingga hilang respeknya pada pemuda itu.
"Seenaknya saja dia men-judge aku seperti itu, tanpa tahu yang sebenarnya." Kamila bergumam lirih.
"Segitu buruk-kah wanita hamil tanpa suami, sampai dia mengklaim aku wanita murahan. Aku juga tidak pernah menginginkan ini terjadi padaku," sambungnya.
"Seandainya kamu tahu, Do! Apa yang aku alami sekarang. Tapi semua telah terjadi dan aku yang memilih pergi darimu. Karena aku tidak ingin menjadi bebanmu. Maafkan aku." Bulir-bulir airmata jatuh berderai membasahi pipi Kamila. Berulangkali ia menghapusnya namun nampaknya airmata itu enggan untuk berhenti berlinang.
"Kamu ke mana sih, Fika? Kenapa lama sekali?"
Kamila menghentikan pijatan pada kakinya, dan bermaksud mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya. Namun perhatiannya seketika teralihkan, saat ia mengangkat kepala dan mendapati seseorang tengah berdiri tegak di depannya. Menatap dirinya dengan pandangan yang sulit di mengerti.
Sementara dari kejauhan seseorang menatap mereka dengan penuh amarah dan mengepalkan tangannya kuat-kuat.
...*...
.
.
.
.
.
zando kah
gak guna
kmu itu salah paham weeehh/Smug/
tak can ikhsan nee🙈🏌️
kaget kan luu 🤣
keburu dikekep pakrete 🤣
tangan siapa yang melayang sembarangan /Facepalm/