Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
enam
💙💙💙💙
"Zahra, kalau saya putus sama Arin menurut kamu gimana?"
Ara tidak dapat menahan ekspresi wajah terkejutnya saat mendengar pertanyaan sang atasan. Bosnya itu baru masuk ke dalam mobil beberapa menit yang lalu, mobil mereka bahkan baru keluar dari area parkir bandara, tapi Garvi sudah menanyakan pertanyaan yang menurutnya sangatlah tidak wajar.
"Pak Garvi abis berantem sama Mbak Arin?" tebak Ara terlihat ragu-ragu.
Garvi menjawab dengan gelengan kepala. Lalu Ara berpikir sebentar dan kembali bertanya.
"Terjadi sesuatu di Singapure?" tebaknya lagi.
Kali ini Garvi terkekeh sambil menggaruk kepala bagian belakangnya. Terlihat seperti orang yang sedang salah tingkah, meski tidak terlalu ketara juga.
"Bukankah justru aneh kalau tidak terjadi sesuatu mengingat usia saya?"
Bibir Ara langsung mencabik kesal. "Bukan itu, Pak, yang saya tanyakan. Maksudnya, semacam Pak Garvi memergoki Mbak Arin sama pria lain?"
Kali ini ekspresi Garvi terlihat seperti orang kebingungan. "Maksudnya, ini sekarang kamu lagi nuduh Arin selingkuh gitu ya?"
Waduh, kali ini giliran Ara yang garuk-garuk kepala. Sepertinya rambutnya yang mendadak gatal bukan karena hari ini dia tidak sempat keramas deh. Melainkan karena ia sedang bingung harus menjawab apa pertanyaan yang dilayangkan pria itu. Ia takut salah ngomong.
"Zahra, kamu tahu Arin kan?"
Kali ini nada suara Garvi terdengar kalem dan tenang. Raut wajah tersinggung terlihat cukup jelas dan ini membuat Ara semakin bersalah.
"Iya, Pak, maaf, saya siap salah. Ya abis Bapak pertanyaan aneh-aneh, abis nyamper pacar tiba-tiba nanya putus. Kan saya sebagai manusia normal jadi pikirannya kemana-mana."
Harus Ara akui, meski hubungan mereka masuk kategori aneh dan tidak dapat ia mengerti dengan akal sehatnya. Tapi ia cukup dapat mempercayai kalau keduanya tidak akan melakukan pengkhianatan seperti yang ia sebutkan barusan. Keduanya sudah cukup dewasa dan sama-sama matang untuk sekedar mempermainkan sebuah hubungan. Meski terkadang, menurut Ara sendiri hubungan mereka tidak seperti orang serius. Tapi Ara cukup yakin dengan keduanya. Keduanya tidak akan mempertahankan hubungan kalau memang ada orang lain di tengah-tengah mereka.
"Kayaknya saya capek deh makanya nanyanya ngelantur," balas Garvi.
Mendengar itu, Ara jadi menyipitkan kedua matanya curiga. "Pasti ada sesuatu kan, Pak?" tebaknya tepat sasaran. Ia menoleh ke arah Ara karena kebetulan sedang lampu merah, "saya nggak minta Bapak cerita, tapi kalau emang Bapak mau cerita saya siap dengerin. Mumpung kita belum nyampe kantor juga."
Garvi menggeleng pelan. Pria itu memejamkan kedua mata sejenak diiringi helaan napas pelan, tapi tak lama setelahnya pria itu menegakkan tubuh dengan gerakan tiba-tiba, hal ini membuat Ara sedikit terkejut karenanya.
Jujur, Ara ingin mengomel tapi mengingat posisinya yang hanya seorang personal asisten, membuatnya harus menahan diri tentu saja.
"Zahra," panggil pria itu.
"Ya, Pak, butuh sesuatu?"
Garvi menggeleng. "Kayaknya saya punya solusi lain."
"Oh."
Jujur, Ara bingung juga harus merespon bagaimana. Maka dari itu hanya bereaksi demikian.
"Kenapa kamu nggak bertanya?" tanya Garvi membuat kening Ara mengkerut heran.
Namun, sebisa mungkin Ara tersenyum. "Saya menghargai privasi Bapak. Meski saya personal asisten Pak Garvi yang dituntut mengurusi masalah pribadi Bapak sesuai kontrak yang tertulis, tapi saya rasa ini bukan ranah saya untuk tahu. Jadi akan terdengar tidak sopan kalau saya bertanya."
"Tapi solusi yang saya maksud saat ini berhubungan dengan kamu."
"Hah?" Sekarang Ara tidak bisa menyembunyikan wajah kebingungannya, "maksud Bapak?"
"Begini, sejujurnya Mama saya mendesak saya agar segera menikah--"
"Pak?" potong Ara berusaha untuk tetap bersikap tenang. Meski kalau boleh jujur pikirannya sudah tidak karuan.
Dengan gerakan cepat Garvi menggeleng cepat sambil mengibaskan telapak tangannya. "Enggak, Zahra, kamu tenang saja saya tidak sesinetron itu kok. Pokoknya buang jauh-jauh pikiran kamu ini, saya nggak begitu."
Sekarang Ara mendengus tidak percaya. "Memang Bapak atau isi pikiran saya sekarang?"
Dengan wajah percaya dirinya Garvi mengangguk cepat. "Saya tahu karena kamu hobinya nonton drama Korea."
Sekuat tenang mencoba menahan diri agar tidak tersulut emosi. Bagaimanapun ia sudah cukup terbiasa dengan sikap pria ini yang terkadang suka seenaknya sediri atau terkadang berada di luar nalar.
"Baik, kalau begitu bisa Bapak jelaskan solusi apa yang Bapak punya?"
"Jodohin kamu sama adik sa--"
Ciiiiitttttt
Ara secara mendadak langsung menginjak rem begitu saja hingga membuat suara decitan yang cukup kencang. Mendapati sang PA ceroboh, Garvi langsung mengomel kesal.
"Zahra, kamu berniat mencelakai saya?" tuduhnya kemudian.
Yang dituduh terlihat tak kalah kesal. Mungkin efek karena mau kedatangan si merah jadi membuat emosinya sulit terkontrol.
"Bapak juga berniat bikin saya kena serangan jantung?"
Kali ini respon Garvi berupa dengusan tidak percaya. "Kamu bercanda? Kamu bahkan tidak memiliki riwayat penyakit jantung, Zahra. Jangan mengada-ada!"
Ara jadi frustasi sendiri. "Tapi kalimat Bapak tadi bikin saya hampir kena serangan--"
"Zahra, hati-hati dengan kalimat yang kamu ucapkan. Ingat, ucapan adalah doa. Kamu mau kena serangan jantung beneran," potong Garvi dengan wajah menyebalkannya.
"Tahu lah, Pak, saya puasa ngomong sama Bapak," balas Ara kadung jengkel.
"Kamu barusan habis ngomong, Zahra."
Ara melirik pria itu sebentar lalu kembali menjalankan mobil. "Ya kalau gitu anggap saja saya barusan lagi sahur."
Kali ini Garvi berdecak sambil geleng-geleng kepala. Pandangannya kemudian beralih pada luar jendela diiringi helaan napas pendek.
"Padahal adik saya lumayan loh."
"Enggak cuma lumayan kali, Pak, tapi emang ganteng banget. Mana baik pake banget lagi," sahut Ara dalam hati.
Ara yakin tipe yang lemah iman pasti akan langsung bertekuk lutut hanya karena disenyumin sang adik dari atasannya.
"Zahra, kamu beneran marah?" tanya Garvi hati-hati.
Pria itu mengintip wajah gadis itu dengan perasaan ragu-ragu. Tapi Ara masih tetap mengabaikannya. Berhubung tidak ingin membuat mood sang PA memburuk, yang bisa saja nanti berefek pada kerjaannya. Mau tidak mau, Garvi memilih ikut diam. Ia kemudian memilih memejamkan kedua matanya, berharap ia bisa tidur sejenak sebelum nanti disibukan dengan pekerjaannya.
💙💙💙💙
Ara memutuskan untuk ke pantry untuk membuat kopi karena ia merasa mengantuk sekaligus lelah. Tubuhnya butuh kafein sesegera mungkin agar pekerjaannya tidak berantakan, yang nantinya akan mempengaruhi kinerja sang atasannya juga.
"Ra, kalau lagi ada masalah rumah tangga di rumah itu, jangan dibawa ke kantor deh."
Ara spontan menghentikan niatnya yang hendak menyesap kopi instannya. Ia kemudian menoleh ke asal suara dan menemukan Mahesa, salah satu staf Finance senior baru masuk ke dalam pantry.
Batin Ara bertanya-tanya, ada apa dengan pria ini?
"Lo kesambet, Mas?" Ara berdecak sambil geleng-geleng kepala lalu memilih untuk duduk di salah satu kursi lalu mulai menyesap kopinya sedikit demi sedikit.
"Pak Garvi, anjir, maksud gue. Lo sama Pak Garvi pasti lagi marahan kan?" tebak Mahesa, "kalian kan kalau lagi berantem mirip pasutri. Ngambek gegara apa sih lo?"
"Dih,yakin banget lo, Mas, kalau gue yang ngambek?"
Kali ini Mahesa tertawa. "Orang bego juga tahu kalau lo yang ngambek lah pasti. Kalau Pak Garvi yang ngambek udah pasti lo pusing kelojotan kayak cacing kepanasan. Sekarang kan lo santai, udah, jelas lo yang ngambek."
Ara berdecak. "Sebenernya bukan ngambek lah, Mas, ya kali. Gue kan cuma bawahannya masa sok banget ngambek ke atasan."
"Yakin cuma atasan sama bawahan, tapi peran lo udah hampir-hampir mirip kayak istri Pak Garvi tahu, Ra."
"Sembarangan lo, Mas!" Ara kembali berdecak sambil melayangkan tinju ke udara, "amit-amit lah gue jadi istri beliau. Jadi PA doang aja gue udah tertekan sangat, apalagi istri."
Mahesa kembali tertawa. "Ya lo tertekan karena cuma jadi PA, coba kalau ntar jadi istri, yang ada lo bahagia terus."
"Ya, itu menurut sudut pandang lo, Mas. Karena lo belum tahu sifat asli beliau," dengus Ara dengan wajah kesalnya.
"Maksud lo selama ini Pak Garvi cuma pencitraan depan karyawan lain?" Mahesa menaikkan sebelah alis curiga, "masa sih beliau begitu?"
"Bukan gitu juga kali maksud gue, Mas." Ara jadi tambah bad mood, "tahu lah. Males banget jelasinnya. Mau balik ke ruangan aja lah."
"Baikan makanya, Ra. Biar lo nggak pusing, Pak Garvi nggak bingung, kita karyawan lain juga nggak was-was."
Ara mengurungkan niatnya untuk pergi. "Kenapa juga kalian harus was-was?" tanyanya heran.
"Ya soalnya kalau lo ngambek Pak Garvi moodnya susah ditebak, tim gue aja tadi sempet kena omel cuma perkara telat masuk ruang rapat. Padahal nggak nyampe lima menit anjir. Serem lah pokoknya kalau beliau ngamuk tuh."
"Cocokologi lo jelek banget, Mas," sahut Ara sambil terkekeh, "Pak Garvi sensi karena emang lagi capek itu, kena jetlag sih kayaknya."
"Emang Pak Garvi abis dari mana sampai kena jetlag?"
"Singapure. Nyamperin Mbak pacar," balas Ara sambil terkekeh geli.
Mahesa manggut-manggut paham. "Oh, jadi lo cemburu gegara beliau nyamper Mbak Pacar?"
"MAS MAHESA!!" amuk Ara sambil menyerang pria itu dengan gerakan brutal.
Wah, hampir seharian ini emosinya benar-benar dikuras habis. Padahal hari baru terlewati setengah.
💙💙💙💙
🙏 ...awal yg asyik u baca terus