Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.
Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.
Lalu untuk apa Arman menikahinya ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 6
Candra duduk di sofa, menatap langit sore yang mulai gelap. Dira menyodorkan secangkir teh hangat, ujung bibirnya melengkung dalam senyum hangat, menghapus sedikit kekhawatiran yang membayangi.
"Minum ini, Candra. Kamu butuh," Dira berkata sambil menyelipkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinga.
Candra tersenyum lemah. "Terima kasih. Sekali lagi, rasanya aneh menikmati teh di rumah orang lain."
"Ini bukan rumah orang lain. Ini rumah kita," Dira menjawab tegas. "Kamu perlu tinggal di sini. Tercium aroma masakan Ibu yang lebih enak daripada kerupuk makanan cepat saji yang Arman tawarkan."
Candra menggelengkan kepala, meskipun dalam hatinya, ide itu menggoda. "Tapi… aku sudah memiliki rumah."
Dira mengangkat alis, menantang. "Rumah? Atau tempat di mana kamu merasa terkurung? Candra, kamu berhak untuk bahagia. Menjalani hidup tanpa bayang-bayang itu."
Candra meruntuk. Mengingat pengabaian Arman membuat perasaannya membara dalam. "Aku tidak tahu... Bukankah itu mengecewakan?"
"Dengar," Dira menjelaskan, penuh semangat. "Kita bisa mulai usaha kecil-kecilan. Kafe atau toko, atau apa pun yang kamu suka. Sambil mengisi waktu dan menyembuhkan luka."
"Hah," Candra mendala napas. "Kafe. Sepertinya itu mimpi yang jauh."
"Kenapa tidak? Kita belajar bersama. Nikmati setiap langkahnya. Gadis-gadis seperti kita bisa membuat apa pun yang kita inginkan," Dira menginspirasi.
Candra mengedip, terkejut ketika matanya mulai berkilauan. "Jadi? Kamu mau menjalani ini bersamaku?"
"Kenapa tidak? Kita sudah melewati banyak hal bersamaan. Saatnya beranjak, bukan hanya untuk kamu, tapi juga untuk kita berdua."
Candra merasakan harapan merayap ke dalam hati. "Tapi bisakah kita bertahan? Jika semua ini gagal? Jika… jika aku tidak bisa."
"Jangan berpikir negatif. Kita bisa melakukannya. Ambil langkah kecil. Tentukan cita-cita kita," Dira menyatakan, memegang tangan Candra dengan sepenuh hati.
Candra menggigit bibirnya, berpikir. "Aku merasa seolah kehilangan arah."
Dira menatap tajam, cerah di matanya. "Kau bukan kehilangan arah. Kau mencari jalan baru. Percayalah pada dirimu sendiri."
"Seandainya Arman mendengarku. Seandainya semuanya berbeda," Candra membiarkan keluhan itu terlepas.
"Dia bukan satu-satunya alasan hidupmu. Cobalah untuk mundur sedikit. Hidup tidak berhenti karena orang lain," Dira berusaha menyemangati.
"Arman tidak pernah mendorongku untuk bermimpi. Dia justru menahan semua impianku."
"Kita bisa membuat impian itu jadi kenyataan, Candra. Dengan caramu sendiri."
Candra mulai tersenyum, perlahan keyakinan menghangat di dalam diri. "Kau benar. Aku ingin hidupku sendiri."
"Katakan padaku, apa yang kau inginkan di dunia ini?" Tanya Dira, semangatnya menyala.
"Kafe dengan banyak kue, mungkin dengan aroma kopi yang menyebar. Tempat yang hangat dan ramah," jawab Candra, bayangan tempat itu mulai terukir di benaknya.
"Dengar, bisa jadi kamu yang menciptakan tempat itu," suara Dira penuh semangat.
Candra mengangguk berulang kali, merasakan keterhubungan. "Aku mau. Mungkin kita bisa melakukan beberapa sketsa atau daftar ide."
"Persis! Ayo kita mulai dari rumah ini. Siapa tahu jadi tempat pertama kita menjual kue-kue terindah," Dira menyemangati.
Candra menimbang rasa kekhawatiran dan kebahagiaan. Langkah mulai terasa lebih ringan.
"Jadi, kapan kita mulai?"
"Sekarang! Mari kita buat daftar belanja dan rencanakan semua yang kita butuhkan. Yang tersisa hanyalah meluncurkan wira usaha kita!"
Keberanian mulai tumbuh dalam diri Candra. Dia tersenyum lebar, bergetar dengan keinginan baru. “Baiklah, mari kita buat rencana.”
Bersama, mereka mulai menggambar garis besar kafe. Dengan kertas dan pensil, ide-ide mengalir deras. Candra menemukan kebebasan yang dia rindukan.
“Bisa kita tambahkan patio kecil di luar?” tanya Candra, matanya berbinar.
“Dimana kita bisa menaruh meja-meja? Oh, aku membayangkan tanaman merambat dan lampu hias yang menggantung,” Dira membayangkan dan menggambar sketsa.
Mereka berkutat dengan gambar, tertawa saat ide-ide liar mendominasi. Rasanya seperti kembali ke masa kanak-kanak, di mana tidak ada batasan, hanya ada kebahagiaan.
“Lihat! Bisa kita tambahkan area pembelajaran untuk anak-anak? Seperti workshop kue!” Candra menunjukkan semangatnya.
“Wow, kamu berbakat! Dengan kegiatan berkualitas, bisa menarik lebih banyak pelanggan,” Dira memuji.
“Dan kita bisa mengundang mereka untuk berpartisipasi,” ide Candra meluncur bebas.
Ketegangan yang membebani mereka mulai mencair. Rencana yang sederhana membawa harapan baru. Candra menatap Dira dengan mata bersinar.
“Terima kasih sudah mempercayaiku, Dira.”
“Sama-sama, sahabat. Kita satu tujuan,” Dira menjawab, penuh kehangatan.
Malam jatuh, tapi semangat mereka melambung tinggi. Dalam perjalanan ini, Candra tahu, dia tidak sendiri lagi. Ditambah dengan sahabat yang tak tergoyahkan, hidup dapat mulai bertunas kembali.
Saat mentari pagi menyinari rumah Dira, aroma kopi menari di udara. Candra berdiri di dapur, mencoba mengaduk adonan kue pertama mereka dengan penuh antusiasme.
"Apakah ini seharusnya terlihat seperti ini?" Candra bertanya, melihat campuran adonan yang tampak sedikit terlalu kental.
Dira menyeruput kopi dan melangkah mendekat. "Kau hanya perlu menambah sedikit susu. Coba saja."
Candra menambahkan susu dengan hati-hati. "Bagaimana kalau ini gagal? Kita sudah memimpikan kafe ini. Jika kue ini mengerikan…"
Dira memotong. "Kau jangan berpikir seperti itu. Setiap usaha ada risikonya. Dan kita di sini untuk belajar."
Candra mengangguk, berusaha menyingkirkan keraguan. "Kau benar. Mari kita coba lagi."
Sekali lagi mereka melanjutkan, dan Candra merasakan ritme kerja sama yang enak. Beberapa saat kemudian, aroma kue mulai tercium hangat dan menggoda.
"Rasa kue itu seperti cinta, kan?" Dira berkomentar, sambil mengawasi kue yang mengembang di dalam oven. "Semakin kau perhatikan, semakin baik hasilnya."
Candra tersenyum. "Rasa kue ini juga butuh perhatian yang tepat. Kadang sulit menciptakan keajaiban dari bahan yang sederhana."
Dira tertawa kecil. "Jadi kita harus menciptakan keajaiban dalam hidup kita juga, ya?"
Candra mengernyit, lalu tertegun. "Mungkin itulah yang sebenarnya kita lakukan. Mencari keajaiban di antara kekacauan."
Sesaat kemudian, timer oven berbunyi. Mereka bergegas membuka pintu oven, wah aroma manis memukau menyebar di seluruh ruangan. Kue itu mengembang sempurna.
"Wow, lihat! Ini lebih baik dari yang kita bayangkan!" Dira berteriak, wajahnya bersinar.
"Kita harus mencicipinya!" Candra mengangkat kue dengan penuh rasa bangga. Tangan Dira mengapa di atas meja, bersiap mengambil potongan pertama.
Setelah memotong, Dira mengangkat sepotong kue dan menggigitnya. "Hmm! Ini enak! Kita bisa menyajikannya di kafe nanti."
Candra mengikuti jejaknya, merasakan rasa manis yang melimpah. Secercah kebahagiaan melintas di wajahnya. "Akhirnya! Mungkin kita benar-benar bisa melakukannya."
Dira tersenyum lebar. "Mulai dari kue ini, kita bisa membuat segalanya."
Mereka menghabiskan waktu seharian di dapur, menciptakan berbagai resep dan membayangkan konsep kafe yang akan datang. Tanpa sadar, suara tawa dan kebahagiaan mengisi ruang di sekitar mereka.
Hanya beberapa minggu setelahnya, Candra dan Dira berhasil mengumpulkan berbagai resep. Dapur kecil Dira kini disulap menjadi tempat bermimpi dan berkreasi. Setiap harinya mereka meracik kue, mencicipi dan berdiskusi, menjadikan kafe impian itu semakin nyata.
"Candra, aku ingin kita memberikan nama yang menarik untuk kafe ini," Dira berkata sambil mengaduk adonan kue cokelat.
"Apa pendapatmu tentang 'Manis Bersama'? Seperti kita yang berbagi kebahagiaan," Candra mengusulkan, senyumnya lebar.
"Bagus! Tapi kita bisa menggunakan nama yang lebih unik. Apa kalau 'Kue Kenangan'?" Dira mengusulkan dengan raut wajah serius.
"Kue Kenangan... terdengar menggugah," Candra mengangguk. "Membuat pelanggan teringat akan momen-momen manis mereka."
Dira menyentuh bahu Candra. "Bagus sekali! Setiap kue punya cerita. Sepertinya kafe ini akan menjadi tempat cerita-cerita yang tak terlupakan."
Candra merasakan semangat kembali berputar dalam hati. "Ya, dan kita akan menyiapkan tempat yang sempurna untuk itu. Dengan sajian yang memikat, siapa pun pasti ingin berkunjung."
Dira mengangguk, matanya berbinar. "Setiap meja punya cerita. Setiap kopi menghangatkan jiwa. Kita mengajak orang untuk berbagi kebahagiaan."
Keduanya mulai menggambar sketsa interior kafe di atas kertas, merancang sudut-sudut yang mengundang. Dira menggambarkan tanaman hias di sudut dan lampu-lampu yang menggantung di langit-langit.
“Ini harus hangat,” Dira berkata. "Kita perlu mengundang pelanggan untuk merasa seperti di rumah sendiri."
Candra mengisi beberapa catatan. “Dan kursi empuk. Mereka perlu merasa nyaman berlama di sini. Mungkin dengan bantal-bantal berwarna cerah."
"Setuju!" Dira bersemangat. "Aku membayangkan area baca sudut dengan buku-buku menarik untuk dibaca sambil menikmati kopi."
Candra membayangkan momen itu. "Dan kita bisa mengadakan sesi baca buku untuk anak-anak pada akhir pekan. Mengajak mereka mencintai sastra sejak dini."
Dira menyeringai. "Hebat! Kami akan menjadikan kafe ini lebih dari sekadar tempat untuk makan, tapi juga komunitas. Tempat berkumpul untuk segenap keluarga."
Mata Candra bersinar. "Kita bisa mengundang penulis lokal atau pengrajin makanan untuk berbagi pengalaman mereka. Tentu banyak yang ingin datang."
"Persis! Kafe kita juga bisa menjadi tempat workshop. Coba bayangkan, kue kreasi kita bisa menggugah semangat komunitas," Dira menambahkan, antusiasme terpancar jelas.
"Ah, ini sangat mengasyikkan! Setiap aktivitas akan membawa orang lebih dekat dan menjadikan ikatan di kota ini semakin kuat," Candra menyetujui.
Sementara mereka mengembangkan ide, suara ketukan pintu mengejutkan mereka. Candra melangkah mendekat dan membuka pintu, mendapati seorang wanita muda yang tampaknya tidak asing.
"Selamat pagi! Aku Nia, temannya Dira waktu kecil" ujar wanita itu dengan senyum lebar.
Candra tersenyum kembali, mencoba mengingat. "Oh, ya! Aku ingat! Kita pernah bermain bersama di taman."
"Kau terlihat berbeda. Sepertinya ada sesuatu yang baru dalam hidupmu," Nia menjelaskan, penuh rasa ingin tahu.
Dira melangkah maju, "Candra dan aku sedang mempersiapkan kafe! Makanan manis dan kenangan manis."
"Wow, itu kedengarannya mengasyikkan!" Nia merespons penuh semangat. "Aku sangat suka kue"
Candra mengangguk, senyum mengembang. "Kami sedang mencoba berbagai resep baru. Nanti kamu bisa jadi salah satu pengunjung pertama."
"Mengapa tidak? Aku bisa membantu! Aku juga punya beberapa resep keluarga yang bisa kita coba," Nia menambahkan dengan semangat.
Dira menatap Nia, semangatnya menular. "Bagus! Semakin banyak tangan, semakin banyak ide. Candra dan aku sudah memikirkan banyak hal."
Nia melangkah masuk, memandang sekeliling. "Jadi, kafe ini akan seperti… rumah kedua untuk banyak orang"
candra dan Dira mengangguk menanggapi ucapan Nia.
...----------------...