Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasrat Kapten Muda
“Gue ke toilet dulu,” kata Ian. “Entar gue nyusul kalian.”
Amio jalan ke meja kasir, dan gue sama Tama mengikuti dari belakang. Gue curi pandang ke arah Tama. “Selamat ya,” kata gue pelan, tapi gue enggak tahu kenapa harus pelan-pelan.
Padahal kalo Amio dengar gue mengucapkan selamat ke Tama, dia juga enggak bakal curiga.
Gue rasa mungkin kalau gue ucapkan dengan nada yang cuma bisa didengar oleh Tama, itu bakal lebih bermakna.
Tama melirik ke arah gue dan senyum, terus lihat ke arah Amio. Pas dia lihat punggung Amio masih ke arah kita, dia menunduk dan kasih gue serangkai jari membentuk love ke arah gue.
Gue seharusnya malu sama kelemahan gue.
Harusnya cowok enggak boleh bikin gue merasa kayak begini. Gue tiba-tiba melayang, atau tenggelam, atau terbang. Apa pun itu seakan-akan enggak butuh lagi kaki gue, karena sekarang kaki gue rasanya enggak berguna.
“Makasih,” bisik dia, masih dengan senyum ganteng tapi entah bagaimana tetap rendah hati. Dia colek bahu gue dan lihat ke bawah kakinya. “Lo cantik, Tia.”
Gue ingin tulis tiga kata itu di billboard dan mewajibkan diri gue buat lewat di depannya setiap kali gue berangkat kerja.
Pasti gue enggak akan pernah bolos kerja lagi.
Gue ingin percaya dia tulus dengan pujiannya, tapi setelah gue menunduk dan melihat ke seragam yang sudah gue pakai selama dua belas jam, gue enggak percaya. “Gue lagi pake seragam Minnie Mouse.”
Dia menyender lagi ke arah gue sampai bahu kita menempel. “Gue emang suka sama Minnie Mouse dari dulu,” katanya pelan.
Amio berbalik, jadi gue buru-buru hapus senyum dari muka gue. “Mau dada atau paha?”
Gue sama Tama angkat bahu. “Mana aja boleh,” kata dia ke Amio.
Ian balik dari toilet setelah waiters mulai mau antar makanan kita ke tempat duduk.
Amio dan Ian jalan lebih dulu, dan Tama mengikuti di belakang gue. Benar-benar dekat. Tangan dia merangkul pinggang gue, terus dia memajukan kepala ke telinga gue dari belakang.
“Gue juga kayaknya juga naksir sama perawat,” bisiknya.
Gue angkat bahu buat mengusap telinga yang barusan dia bisiki, karena sekarang leher gue merinding.
Dia melepaskan pinggang gue dan jaga jarak waktu kita sampai di meja. Amio dan Ian duduk masing-masing. Tama duduk di sebelah Ian, jadi gue duduk di sebelah Amio, tepat di seberang Tama.
Gue dan Tama pesan soda, beda sama Ian dan Amio yang pesan bir.
Cuma satu lagi hal yang bikin gue enggak habis pikir. Beberapa minggu yang lalu, Tama mengaku kalau dia enggak minum alkohol, tapi lihat dia mabuk berat pas pertama kali gue ketemu dia, gue kira dia harusnya juga minum setidaknya satu gelas malam ini.
Karena dia jelas punya alasan buat merayakannya.
Waktu minuman dibawa ke meja, Ian mengangkat gelasnya. “Cheers, buat yang udah bikin kita kalah telak,” katanya.
“Lagi,” tambah Amio.
“Buat yang beban kerjanya dua kali lebih banyak dari kalian berdua,” kata Tama.
“Gue sama Amio punya cewek kali, itu bakal ganggu hubungan kita kalau harus kerja lembur,” balas Ian.
Amio geleng-geleng. “Jangan bahas pacar di depan adik gue.”
“Kenapa enggak?” celetuk gue. “Oh, jadi kadang sampai enggak pulang ke apartemen padahal pas lo lagi libur, ini alasannya? Gue bilangin Mama!”
Amio mengeluh. “Gue serius. Ganti topik.”
Gue setuju dan langsung mengubah topik.
“Udah berapa lama kalian bertiga kenal?” tanya gue tanpa menunggu siapa yang jawab, tapi gue cuma peduli sama jawaban yang ada hubungannya sama Tama.
“Tama sama gue udah kenal abang lo sejak ketemu di sekolah penerbangan beberapa tahun lalu. Gue kenal Tama sejak gue umur sembilan atau sepuluh tahun?” kata Ian.
“Kita waktu itu dua belas,” Tama mengoreksi. “Kita ketemu waktu kelas lima.”
Gue enggak tahu apakah obrolan ini merusak aturan pertama tentang enggak boleh bahas masa lalu, tapi Tama enggak kelihatan terganggu membahasnya.
“Gue masih enggak percaya kalau lo bukan gay,” tegas Amio ke Tama ubah topik.
Tama memperhatikan dia dari balik paha ayam yang digenggamnya. “Katanya enggak boleh bahas seks.”
“Bukan,” kata Amio. “Kan, gue bilangnya kita enggak bahas kehidupan seks gue. Lagian, lo juga enggak punya cerita seks yang bisa dibahas.” Amio taruh minumannya di meja dan langsung menghadap Tama. “Serius, deh. Kenapa lo enggak pernah pacaran?”
Tama cuma angkat bahu, lebih tertarik sama makanan di tangannya daripada perang mata sama abang gue.
"Jalin hubungan kebanyakan hasilnya enggak akan sebanding dengan apa yang udah kita korbanin."
Ada sesuatu di hati gue yang retak, dan gue mulai khawatir kalau salah satu dari mereka bisa dengar hati gue yang pecah dalam keheningan.
Amio bersandar di kursinya. "Sial. cewek itu pasti jahat banget."
Mata gue tiba-tiba terpaku ke Tama, menunggu reaksinya, siapa tahu ada pengungkapan soal masa lalunya. Dia cuma geleng kepala sedikit, merelakan asumsi Amio lewat begitu saja.
Ian berdeham pelan, dan ekspresinya berubah seiring senyumannya yang biasa menempel di wajahnya hilang. Jelas dari reaksi Ian, apa pun masalah yang Tama punya dari masa lalunya, Ian pasti tahu soal itu.
Ian duduk tegak dan angkat gelasnya, pasang senyum yang dipaksakan di bibirnya. "Tama enggak punya waktu buat cewek. Dia terlalu sibuk mecahin rekor perusahaan dengan jadi kapten termuda yang pernah ada di maskapai kita."
Kita semua paham kalau Ian mau mengalihkan topik, dan kita angkat gelas masing-masing. Kita tos, dan semua mengambil minuman.
Gue enggak luput melihat pandangan terima kasih Tama ke arah Ian, walaupun Amio kayaknya enggak paham sama sekali.
Sekarang gue malah makin penasaran sama Tama. Dan gue juga mulai khawatir kalau gue sudah jatuh terlalu dalam, karena semakin lama gue bareng dia, semakin gue ingin tahu segala hal tentang dia.
"Kita harus rayain, tuh," kata Amio.
Tama turunkan minumannya. "Gue kira itu yang lagi kita lakuin sekarang."
"Maksud gue setelah ini. Malam ini kita ke Bar. Kita harus cari cewek buat akhiri masa paceklik lo," kata Amio.
Gue hampir saja semburkan minuman gue, tapi untungnya gue bisa tahan ketawa. Tama memperhatikan reaksi gue dan mengetok pergelangan kaki gue di bawah meja dengan kakinya. Tapi dia tinggalkan kakinya dekat banget sama kaki gue.
"Gue bakal baik-baik aja," kata Tama. "Lagian, kapten butuh istirahat."
Semua pemandangan mulai blur di depan mata gue, pikiran gue malah ke mana-mana, membayangkan kata-kata kayak ‘akhiri’, ‘masa paceklik’, dan ‘istirahat’.
Ian menatap ke arah Amio dan mengangguk.
"Gue ikut. Biar kapten balik ke apartemennya dan tidur buat ngilangin efek soda-nya."
Tama menatap gue dengan matanya dan geser posisi duduknya sedikit sampai lutut kita saling bersentuhan. Dia melingkarkan kakinya di belakang pergelangan kaki gue. “Tidur kayaknya enak banget,” katanya.
Dia berhenti menatap gue dan beralih ke makanan di depannya. “Ayo cepetan biar gue bisa balik ke apartemen dan tidur. Rasanya gue belum tidur lebih dari sembilan hari.”