Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28. Asha kecelakaan
Saat ini cuaca Stanford juga sedang di landa hujan gerimis, dia harap penerbangan tidak tertunda. Bersyukur Asha masih dapat tiket untuk penerbangan jam 12 malam, sementara itu di tempat lain Kafka sedang melaksanakan ujian step 3 nya. Dia berusaha fokus meskipun pikirannya sedikit kacau, ada rasa bersalah atas apa yang dia lakukan pada Asha. Tapi saat ini dia harus menyelesaikan ujian lisensi dokternya dulu, baru setelah itu menemui Asha.
Asha sudah sampai di Boston jam 9 pagi, saat ini sedang dalam perjalanan menuju kampusnya. Batas pendaftaran internshipnya adalah jam 10 pagi ini, kalaupun tidak terkejar setidaknya dia sudah minta bantuan Amoora dan Argan. Cuaca sekitar Harvard hari itu sedang hujan lumayan lebat, curah hujan di Harvard saat bulan maret memang lumayan tinggi.
“Langit sepertinya tahu kalau aku sedang patah hati,” Asha bergumam dengan dirinya sendiri, matanya mulai berkabut teringat ucapan Kafka kemarin. Dia mulai terisak-isak sambil menyetir, hujan yang semakin deras dan Asha yang sedang menangis membuat pandangannya semakin kabur.
“Braak,” mobil Asha tergelincir dia berusaha untuk menstabilkan kemudinya namun gagal dan berakhir berguling beberapa kali sebelum akhirnya menabrak sesuatu. Asha terluka kembali, bukan hanya fisiknya tapi juga batinnya. Ditengah derasnya hujan antara sadar dan tidak, antara mimpi atau kenyataan yang tak lagi dapat dia bedakan. Lamat-lamat Asha mendengar suara seseorang memanggilnya. Amoora terus menerus memanggil namanya, saat ini Asha sudah berada di rumah sakit Massachusetts General Hospital (MGH).
Amoora dan Argan sedang mengurus semua berkas mereka bertiga saat Amoora mendapatkan telepon dari nomor yang tidak di kenal. Nomor tersebut ternyata adalah kepolisian yang mengabarkan bahwa Asha mengalami kecelakaan mobil, kontak dan nama Amoora tertulis pada name tag yang di jadikan Asha sebagai gantungan kunci tasnya sebagai orang terdekat yang dapat di hubungi saat di Harvard.
“Argan lu urus semua berkas gue dan Asha,” Argan kebingungan melihat Amoora panik dan menyerahkan semua berkas padanya. Belum sempat dia bertanya, Amoora sudah bicara.
“Asha kecelakaan, gue ke rumah sakit. Lu urus semuanya setelah itu cepat susul ke rumah sakit,” tubuh Arga gemetar mendengar ucapan Amoora, pikirannya kosong sepersekian menit sampai seseorang mahasiswa yang sedang buru-buru tak sengaja menabraknya.
“Argan sadar, bukan waktunya untuk hilang fokus. Harus bergegas,” dengan tangan yang masih sedikit gemetar Argan berusaha untuk tetap fokus, sesegera mungkin menyelesaikan semuanya.
Amoora terus berada di samping Asha, menggenggam tangannya dan terus memanggil namanya. Amoora berusaha untuk tidak panik melihat kondisi Asha dengan darah yang merembes dari balik hijab nudenya. Tim dokter sedang bergegas untuk menangani Asha dan mempersiapkan MRI untuknya.
“Oora,” Asha dengan ke sadaran yang masih 50% berusaha berbicara pada Amoora.
“Jangan banyak bicara dulu,” titah Amoora yang sudah berkaca-kaca.
“Tolong bilang pada bunda. Aku tidak mau Kafka tahu kondisiku,” Asha tak sadarkan diri setelah berbicara pada Amoora, Amoora segera memberitahu dokter. Argan saat ini sudah sampai di rumah sakit, mereka melihat Asha masih di tangani dokter.
Amoora menepi sejenak mencari tempat agak sepi untuk memberitahu keluarga Asha, setelah meminta Argan untuk tetep di sana melihat perkembangan kondisi Asha.
“Assalamu’alaikum. Bunda Maira, ini Amoora teman Asha. Bisa bunda ke Harvard sekarang? Asha kecelakaan bunda,” Amoora dengan suara yang sedikit bergetar memberitahu Maira.
“waalaikumussalam, Innalillahi. Bagaimana kondisi Asha nak?” Cia menghentikan aktifitasnya saat mendengar bundanya menyebut nama kakaknya.
“Asha harus mendapatkan operasi sesegera mungkin bun, kita butuh bunda untuk persetujuan,” mendengar itu Maira meluruh terduduk masih dengan ponselnya. Bersyukur saat itu Ze masih ada di rumah mereka.
“Kak, aku harus segera ke Boston. Asha kecelakaan dan harus mendapat persetujuan operasi,” Ze berusaha menenangkan Maira, sementara dilihatnya Cia yang sudah gemetar. Ze kemudian memanggil semua orang yang ada di rumah untuk ke ruang tengah, dia meminta bi Ana dan beberapa asisten menyiapkan keperluan Maira dan berkas-berkas yang harus di bawa.
“Kamu tenang dulu, bersiap-siaplah. Mas Al saat ini sedang perjalanan bisnis di Montreal (Kanada), dia mungkin bisa sampai di sana dalam waktu 30-40 menit perjalanan udara,” Maira mengangguk dan dia bergegas untuk siap-siap.
Maira memeluk Cia, menenangkan putri ke duanya. Meyakinkah bahwa kakaknya akan baik-baik saja, untuk sementara hanya Maira dan Ze yang akan ke Boston. Rion dan Cia harus tetap sekolah dan kuliah, mereka akan menyusul nanti setelah mengurus ijin sekolah.
“Hubby, Asha kecelakaan. Dia butuh persetujuan untuk melakukan operasi, mas bisa ke boston dulu sekarang?” Ze melakukan panggilan dengan Alvaro suaminya.
“Tentu sayang, aku akan segera ke sana. Biar asistenku cari pesawat kecil agar sampai di sana lebih cepat,” mereka mengakhiri panggilan. Alvaro meminta semua karyawannya bergerak mencari pesawat kecil yang bisa dia gunakan saat itu juga dari Kanada menuju Boston.
Sementara di Jakarta semua sibuk dan berusaha tidak panik, Ze dan Maira akan terbang menggunakan jet pribadi milik Alvaro. Tetap saja mereka butuh waktu 20 jam untuk sampai di boston. Cia dan Rion mengantar bunda dan mama mereka berangkat dengan tatapan nanar, mereka saling berpelukan berharap kakak mereka baik-baik saja.
Alvaro sudah berada di rumah sakit setelah sebelumnya menelpon Amoora untuk mencari keberadaan mereka. Amoora membawa Alvaro bertemu dengan dokter, setelah mendapat penjelasan dari dokter dia menyetujui semua tindakan yang akan di lakukan pada Asha.