Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Pembelaan Sang Ayah
"Kiana?"
Suara Gavin terdengar ragu, memecah ketegangan aneh yang menyelimuti aula sekolah. Dia berdiri di sana, menatap istrinya yang tersenyum manis—terlalu manis—sambil menggandeng lengannya dengan mesra.
Pemandangan ini sangat tidak masuk akal bagi Gavin. Lima menit yang lalu, dia membayangkan Kiana sedang menjambak rambut seseorang atau sedang dikeroyok massa.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aula itu hening seperti kuburan, dan wanita-wanita sosialita yang biasanya berisik itu kini menunduk dalam-dalam seolah sedang mengheningkan cipta.
"Eh, Mas Gavin sudah datang," sapa Kiana dengan nada manja yang dibuat-buat, kepalanya disandarkan sedikit ke bahu Gavin. "Kok keringatan begitu sih, Sayang? Lari-lari ya? Duh, kasihan suamiku."
Kiana mengeluarkan sapu tangan dari tasnya, lalu dengan gerakan pelan dan dramatis, dia mengelap keringat di dahi Gavin.
Gavin membeku. Dia merinding. Sentuhan Kiana lembut, tapi tatapan matanya yang tersembunyi di balik bulu mata lentik itu mengirimkan kode keras: Ikuti permainanku atau kau mati.
"Saya... saya khawatir," jawab Gavin kaku, berusaha mengikuti skenario meski dia tidak tahu naskahnya. Matanya melirik Bu Siska yang masih sesenggukan di dekat kaki meja. "Apa yang terjadi di sini? Kenapa Bu Siska menangis? Dan kenapa Pak Heru memeluk amplop itu seperti mau dibawa kabur?"
"Oh, itu," Kiana tertawa kecil, suara renyah yang terdengar mengerikan bagi telinga Bu Siska. "Bu Siska cuma terharu, Mas. Kita tadi lagi sharing soal betapa pentingnya pendidikan karakter buat anak. Iya kan, Bu Siska?"
Kiana menatap Bu Siska. Tatapannya setajam silet.
Bu Siska tersentak kaget. Dia buru-buru mengangguk, air matanya berhamburan lagi. Dia tidak berani menatap Gavin. Rasa malu dan takut bangkrut bercampur aduk di dadanya.
"I-iya, Pak Gavin... b-benar... Bu Kiana sangat... sangat bijaksana..." cicit Bu Siska dengan suara gemetar.
Gavin menyipitkan mata. Dia bukan orang bodoh. Dia CEO yang sudah makan asam garam dunia bisnis selama belasan tahun. Dia tahu arti tangisan Bu Siska. Itu bukan tangis haru. Itu tangis keputusasaan orang yang baru saja kalah telak dalam negosiasi.
Gavin menatap Kiana lekat-lekat. Istrinya ini... benar-benar menakutkan. Dia tidak perlu berteriak atau main fisik untuk melumpuhkan lawan. Dia cukup berdiri di sana dan menggunakan otaknya.
Seketika, rasa protektif Gavin muncul. Bukan untuk melindungi Kiana, karena wanita ini jelas tidak butuh perlindungan. Tapi untuk menegaskan posisinya. Dia suami Kiana. Dia kepala keluarga Ardiman. Kalau Kiana sudah membuka jalan dengan bulldozer, tugas Gavin adalah memasang bendera kemenangan di atas puing-puingnya.
Gavin melepaskan tangan Kiana dari lengannya, lalu ganti merangkul pinggang ramping wanita itu. Dia menarik tubuh Kiana merapat padanya, menunjukkan dominasi dan kepemilikan yang mutlak di depan semua orang.
"Dengar baik-baik," suara bariton Gavin menggema di aula tanpa perlu mikrofon. Auranya berubah drastis, dari suami yang bingung menjadi penguasa yang absolut.
Semua kepala yang menunduk kini mendongak takut-takut. Mommy Cecil dan Bunda Rara menahan napas.
"Saya tidak tahu apa yang kalian bicarakan sebelum saya datang. Tapi melihat istri saya harus turun tangan sendiri ke sini, saya asumsikan ada masalah besar yang mengganggu kenyamanan keluarga saya," ucap Gavin dingin. Matanya menyapu satu per satu wajah di ruangan itu.
"Kiana adalah istri sah saya. Nyonya Ardiman. Ibu dari Alea Ardiman," tegas Gavin. Setiap kata ditekankan dengan bobot yang berat. "Siapa pun yang berani merendahkan dia, menyindir dia, atau membuat dia tidak nyaman di lingkungan sekolah ini..."
Gavin menatap lurus ke arah Bu Siska yang makin menyusut di tempatnya.
"...Berarti kalian sedang mendeklarasikan perang terbuka dengan Ardiman Group. Dan saya pastikan, saya tidak akan segan-segan menggunakan seluruh sumber daya perusahaan saya untuk membalas setiap penghinaan itu. Paham?"
Keheningan total menjawab ancaman itu. Bahkan suara AC yang baru saja dikritik Kiana terdengar sangat bising.
"P-paham, Pak..." jawab beberapa ibu-ibu dengan suara mencicit.
"Bagus," Gavin mengangguk singkat. Dia menoleh ke Pak Heru. "Pak Kepala Sekolah, saya harap kejadian seperti ini tidak terulang. Saya menitipkan aset paling berharga saya di sini: Alea. Kalau sampai saya dengar Alea pulang dengan luka lagi, atau istri saya harus repot-repot datang untuk memberi 'edukasi' lagi... Bapak tahu konsekuensinya."
Pak Heru mengangguk panik sampai kacamatanya melorot. "Siap, Pak Gavin! Siap! Saya jamin aman terkendali!"
Gavin kembali menatap Kiana, wajah dinginnya sedikit melunak. "Sudah selesai urusannya, Sayang? Atau masih ada yang mau kamu 'edukasi'?"
Kiana tersenyum puas. Dia merasa bangga. Gavin tidak memarahinya karena membuat keributan. Pria itu justru melengkapi serangannya dengan tameng baja. Kerja sama tim yang sempurna.
"Sudah cukup untuk hari ini, Mas. Kasihan tisu sekolah habis dipakai Bu Siska," jawab Kiana santai. "Ayo pulang. Aku laper banget."
Mereka berdua berjalan keluar dari aula. Kerumunan ibu-ibu sosialita itu membelah diri seperti Laut Merah, memberikan jalan selebar-lebarnya. Tidak ada lagi tatapan sinis. Yang ada hanya tatapan ngeri dan hormat. Mereka baru saja menyaksikan penobatan ratu baru di sekolah itu.
Sementara itu, di lantai dua gedung sekolah.
Di balik jendela kaca kelas 1B, sepasang mata kecil mengintip kejadian di halaman bawah.
Alea berdiri di atas jinjit, hidungnya menempel di kaca. Teman-teman sekelasnya sedang sibuk entah apa, tapi Alea tidak peduli.
Dia melihat Papi dan Tante Kiana berjalan keluar dari gedung aula menuju parkiran. Mereka berjalan berdampingan. Langkah mereka tegap, sinkron, dan terlihat sangat keren.
Alea melihat Bu Siska—ibunya Dino yang biasanya sombong dan suka pamer mobil—berjalan di belakang mereka dengan kepala tertunduk lesu, bahkan terlihat seperti mau pingsan saat dibopong oleh ibu-ibu lain.
"Wow..." bisik Alea tanpa sadar.
Dino, anak laki-laki bertubuh gempal yang kemarin mendorongnya, lewat di belakang Alea sambil memegang mainan robot.
"Minggir lo, anak aneh!" seru Dino, hendak menyenggol bahu Alea.
Biasanya Alea akan takut, atau marah dan meledak. Tapi hari ini berbeda. Dia baru saja melihat "pasukan"-nya menang perang. Dia melihat ayahnya yang gagah dan ibu tirinya yang mematikan.
Alea berbalik badan. Dia tidak mundur. Dia menatap Dino dengan dagu terangkat, rambut bob-nya bergoyang indah. Dia memasang senyum miring yang dia pelajari dari Kiana di depan cermin tadi pagi.
"Dino," panggil Alea tenang.
Dino berhenti, bingung. "Apa?"
"Liat ke bawah deh," kata Alea sambil menunjuk halaman sekolah lewat jendela. "Itu mamaku. Dan itu papaku. Mereka baru aja bikin mamamu nangis."
Dino melongok ke jendela. Dia melihat ibunya sedang duduk lemas di bangku taman sambil dipijat oleh orang lain.
Wajah Dino memucat. "Mama... kenapa?"
"Mungkin karena kamu nakal sama aku," jawab Alea enteng, lalu melipat tangan di dada. Tas branded-nya terlihat berkilau di punggung. "Jadi kalau aku jadi kamu, mendingan kamu minta maaf sekarang. Sebelum mamaku balik lagi ke sini dan bikin kamu nangis juga."
Dino menelan ludah. Nyalinya ciut seketika. "A-aku... maafin aku, Alea. Jangan laporin aku..."
Alea tersenyum puas. Rasanya luar biasa. Dia tidak perlu memukul, tidak perlu teriak. Cukup sedikit ancaman dingin, dan musuhnya bertekuk lutut.
"Oke. Aku maafin. Tapi jangan dekat-dekat aku lagi. Kamu bau matahari," ucap Alea sadis, lalu melenggang pergi meninggalkan Dino yang bengong.
***
Di dalam mobil mewah Kiana.
Gavin menyetir (atas paksaan Kiana karena Kiana bilang dia lelah menjadi 'pembunuh berdarah dingin' seharian). Kiana duduk di kursi penumpang depan, kakinya disilangkan santai, sambil memakan keripik singkong yang dia beli dari kantin sekolah sebelum pulang.
Alea duduk di kursi belakang. Dia diam saja sejak dijemput tadi, tapi matanya terus memperhatikan kedua orang dewasa di depannya lewat spion tengah.
Suasana di dalam mobil hening, tapi bukan hening yang canggung. Lebih ke hening penuh rasa penasaran.
"Jadi..." Gavin akhirnya membuka suara, matanya tetap fokus ke jalanan Jakarta yang mulai padat. "Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sekolah tadi? Kenapa Bu Siska sampai minta ampun begitu? Kamu apakan dia? Kamu ancam pakai pisau?"
Kiana mengunyah keripiknya dengan bunyi krak yang renyah. "Jangan lebay, Gavin. Aku ini warga negara yang taat hukum. Mana mungkin aku bawa senjata tajam ke sekolah dasar."
"Terus?"
"Aku cuma melakukan negosiasi aset dan manajemen risiko," jawab Kiana santai. "Bu Siska itu istri pemilik CV Santoso Jaya. Vendor tier tiga di perusahaanmu. Yang kemarin ngemis perpanjangan kontrak."
Gavin mengernyit, mengingat-ingat. "Ah... Budi Santoso? Yang pengirimannya telat terus itu?"
"Tepat sekali. Istrinya sombong pakai uang yang didapat dari belas kasihan perusahaan kamu. Jadi aku cuma... mengingatkan dia tentang posisinya dalam rantai makanan," Kiana membersihkan remah keripik di jarinya. "Aku kasih lihat data performa suaminya di proyektor. Dan data utang-utang teman-temannya. Sedikit transparansi publik."
Gavin tertawa pendek, menggelengkan kepala tak percaya. "Kamu membuka aib finansial mereka di depan umum?"
"Mereka yang minta," bela Kiana. "Mereka hina Alea. Mereka bilang Alea apel busuk. Mereka bilang aku janda gatal yang nggak becus didik anak. Jadi ya... aku tunjukkan siapa yang sebenarnya busuk."
Gavin terdiam sejenak. Tangannya mencengkeram setir lebih erat. Dia tidak tahu kalau hinaannya separah itu.
"Terima kasih," ucap Gavin pelan, tulus. "Saya... saya nggak tahu kalau Alea sampai dikatain begitu."
"Tugas istri dalam kontrak: menjaga nama baik keluarga," sahut Kiana formal, menutupi rasa bangganya. "Anggap saja bonus kinerja."
Kiana menoleh ke belakang, melihat Alea yang duduk diam memeluk tas barunya.
"Hei, Nona Kecil. Kenapa diam saja? Tadi Tante lihat kamu senyum-senyum sendiri di lobi," tanya Kiana.
Alea mendongak. Wajahnya cerah. "Tante... tadi Dino minta maaf sama aku."
"Oh ya?" Kiana tersenyum. "Terus kamu apain?"
"Aku bilang dia bau matahari," jawab Alea polos.
Gavin tertawa lepas. "Ya ampun, Alea. Itu ajaran siapa?"
"Tante Kiana," tunjuk Alea.
Kiana mengangkat bahu. "Itu fakta, Gavin. Anak laki-laki yang main bola siang bolong pasti bau matahari. Aku mengajarkan kejujuran."
Mobil berhenti di lampu merah. Alea bergerak-gerak gelisah di kursi belakang, merogoh saku roknya.
"Tante..." panggil Alea lagi.
"Apa?" Kiana memutar tubuhnya menghadap belakang.
Alea mengulurkan tangannya ke celah antara kursi depan. Di telapak tangan mungilnya, tergeletak sesuatu yang kecil, lengket, dan berwarna ungu.
Itu permen karet.
Bekas dikunyah.
Kiana menatap benda itu dengan tatapan horor. "Alea... itu apa?"
"Permen karet," jawab Alea. "Rasa anggur. Masih manis kok, baru dikit aku kunyahnya."
"Terus? Kenapa dikasih ke Tante? Mau Tante buangin?" tanya Kiana, siap mengambil tisu.
Alea menggeleng kuat. "Bukan. Buat Tante."
"Hah?" Kiana melongo. Gavin juga ikut melirik dengan bingung.
"Ini hadiah," kata Alea malu-malu, pipinya memerah. "Di film kartun, kalau kita temenan, kita harus bagi makanan kesukaan. Aku suka permen karet ini. Jadi aku bagi sama Tante."
Kiana terdiam. Dia menatap permen karet bekas yang menjijikkan itu, lalu menatap mata Alea yang penuh harap dan ketulusan.
Bagi Alea, memberikan permen karet yang sedang dia nikmati adalah pengorbanan terbesar. Itu tanda persahabatan tertinggi dalam logika anak tujuh tahun. Dia baru saja mengakui Kiana sebagai temannya. Sebagai sekutunya.
Gavin menahan tawa, ingin melihat reaksi Kiana si OCD kebersihan.
"Ambil dong, Sayang. Itu tanda cinta lho," goda Gavin.
Kiana menatap Gavin dengan tatapan 'awas-kau-nanti'. Dia menarik napas panjang, menekan rasa jijiknya demi diplomasi.
"Wow... makasih ya, Alea," ucap Kiana kaku. Dia mengambil permen karet lengket itu dengan ujung jarinya—sangat hati-hati—lalu buru-buru membungkusnya dengan tisu di tangannya. "Tante... simpan dulu ya. Sayang kalau dimakan sekarang. Buat kenang-kenangan."
Alea tersenyum lebar, merasa dihargai. "Iya! Simpan aja! Makasih ya, Tante, udah bikin Tante Siska nangis. Tante keren kayak pahlawan super!"
"Pahlawan super?" Kiana tersenyum miring, melihat tisu berisi permen karet itu dengan tatapan nanar. "Ya... pahlawan super yang pegang sampah permen karet."
Gavin mengacak rambut Kiana pelan dengan tangan kirinya. "Hebat kamu, Bu Kiana. Bisa menaklukkan macan-macan sosialita dan monster kecil sekaligus dalam satu pagi."
Kiana menepis tangan Gavin, tapi wajahnya memerah tipis. "Setir yang benar. Jangan pegang-pegang, nanti kena virus permen karet."
Di kursi belakang, Alea bersandar dengan nyaman. Dia menatap punggung kedua orang tuanya. Untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal, dia merasa mobil ini tidak sepi. Dia merasa aman.
Dan kalau ada yang berani ganggu dia lagi, dia tinggal panggil Tante Kiana.
vote untuk mu