Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.
Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAS 6
"Aliyah, apa-apaan ini? Kenapa tidak ada makanan sama sekali, hah?" sentak Amar kesal saat membuka lemari penyimpanan makanan ternyata tak ada makanan sama sekali.
Aliyah yang baru saja mengompres dahi Amri pun segera berlari menuju dapur.
"Mas, jangan keras-keras! Amri baru aja tidur. Nanti malah kebangun lagi," ucap Aliyah lirih.
Amar yang sedang kesal karena perutnya lapar tapi tak ada makanan sama sekali di dapur lantas melemparkan gelas yang terkapar di atas meja ke lantai hingga hancur berkeping-keping.
Prang ...
"Aku tanya kenapa tidak ada makanan sama sekali di sini, hah? Sebenarnya apa kerjaan kamu seharian ini, hah? Jangan bisanya cuma malas-malasan!" bentak Amar mengabaikan permintaan Aliyah agar tidak bicara keras-keras karena bisa membangunkan Amri yang baru saja tertidur.
"Hua ... mbu ... mbu ... " teriak Amri yang akhirnya benar-benar terbangun karena terkejut.
Aliyah menghela nafas kesal, "aku bilang jangan. bicara keras-keras. Lihat, karena Mas, Amri jadi kebangun lagi," kesal Aliyah.
Aliyah lantas balikan padamu hendak ke kamar Amri, tapi Amar lebih dahulu menghentikannya. Amar meraih pergelangan tangan adalah dan menyentaknya kasar.
"Mas," pekik Aliyah sebab hampir saja ia terjatuh karena ulah Amar.
"Mau kemana kau, hah?"
"Mas dengar kan, Amri nangis. Dia demam dari semalam. Kalau mas tanya apa kerjaan ku seharian sampai nggak sempat masak karena Amri rewel. Dia mau minta gendong trus. Lalu aku harus apa? Aku harus bagaimana? Kamu jangan egois, Mas. Kau pikir aku tidak lapar? Aku juga lapar, Mas. Tapi aku hanya bisa makan nasi pakai kecap. Itupun sambil gendong Amri. Kau pikir aku aku hanya duduk-duduk santai di rumah? Atau aku cuma tiduran aja? Nggak. Aku bahkan cuci piring sambil gendong Amri. Sebisa mungkin aku akan tetap mengerjakan pekerjaan ku selagi aku bisa meskipun harus sambil mengendong Amri, tapi untuk memasak, aku nggak bisa. Itu bahaya. Tidakkah bisakah Mas bertanya baik-baik padaku? Bukan hanya bisa marah-marah nggak jelas kayak gini?" lirih Aliyah yang telah berurai air mata. Tak ada isakan, hanya air mata saja yang jatuh berderai, tanpa suara. Aliyah mencoba menahan isakannya, tapi yang ada, dadanya justru sakit. Sesak. Rasa diremas-remas.
"Halah, alasan saja. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis, dasar cengeng."
"Hua ... mbu ... " tangisan Amri makin kencang. Kini ditambah Gaffi yang ikut menangis sebab melihat kedua orang tuanya bertengkar. Gaffi yang tadinya telah tertidur di samping Amri, seketika terbangun karena tangisan Amri yang tak kunjung berhenti. Jadi Gaffi beranjak hendak mencari sang ibu untuk memberitahu kalau Amri menangis. Namun apa yang ia lihat justru membuatnya jadi ikut menangis. Di depan matanya, Gaffi melihat kedua orang tuanya bertengkar. Lalu sang ibu menangis, membuat mata Gaffi ikut meneteskan air mata.
Dengan kesal, Amar masuk kembali ke dalam kamar, sementara Aliyah segera menuju kamar Gaffi sebab sejak semalam Amri tidur di sana. Mata Aliyah terbelalak saat melihat Gaffi sedang berdiri di ambang pintu sambil menangis.
"Gaffi kenapa nangis?" tanya Aliyah khawatir.
"Buuu ... " Gaffi pun langsung berhambur ke pelukan sang ibu lalu menangis tersedu.
"Abang Gaffi kenapa?" Tanya Aliyah panik. Ia khawatir Gaffi ikut sakit. Lalu ia memeriksa dahi Gaffi. Tidak panas, akhirnya Aliyah bernafas lega.
Karena tangis Amri yang kian menjadi, Aliyah pun gegas masuk ke kamar dan meraih Amri ke dalam gendongannya. Saat sedang mendiamkan Amri, ternyata Amar keluar dari kamar dengan mengenakan jaket. Tak lupa kunci mobil di tangannya. Aliyah yang sedang mendiamkan Amri hanya menatap Amar dari posisinya.
Tak lama kemudian, Nana keluar dari kamar dan berteriak, "ayah," panggilnya. "Ayah mau kemana?" imbuhnya.
"Mau makan di luar. Ibumu itu makin hari makin malas, nggak masak. Dia pikir pulang kerja ayah nggak lapar apa? Menyebalkan," kesal Amar.
"Nana ikut boleh nggak ayah? Nana juga lapar. Belum makan dari siang," ujar Nana dengan wajah memelas. Padahal siang tadi Aliyah sudah menawarkan Nana untuk menggoreng telur untuk lauk makan, tapi dia tak mau. Lalu Aliyah menawarkan Nana menggendong Amri sebentar agar ia bisa memasakkan lauk untuk Nana makan, tapi masih saja tak mau. Nana malah meminta uang untuk membeli makan di luar. Sisa uang di tangan Aliyah tinggal tidak seberapa lagi jadi ia tidak bisa memberikan apa yang Nana minta. Nana pun merajuk dan tak mau makan. Aliyah yang sudah lelah pun memilih mendiamkannya.
"Ya sudah, ayo," jawab Amar.
"Yes, makan ayam bakar ya, Yah?"
"Hmmm ... "
"Yah, Tante Fisa diajak juga nggak?"
Amar menoleh, "kenapa? Kamu mau ajak Tante Fisa juga?"
Nana mengangguk cepat seraya tersenyum lebar.
"Ya udah, ayah telepon dulu. Siapa tahu dia mau."
Amar, Nana, dan Nafisa kini sudah berada di warung sea food. Seperti permintaannya, Nana pun memesan ayam bakar. Begitu pula Amar dan Nafisa memesan sesuai keinginannya. Mereka makan sambil bercerita dan tertawa bahagia. Mereka tampak seperti keluarga yang bahagia.
Dimana Amar dan Nana sedang makan bersama Nafisa dengan tawa dan canda, di rumah tampak Aliyah tercenung seorang diri. Amri baru saja tertidur. Perutnya sudah lapar, tapi sengaja ia belum makan. Ia pikir suaminya akan membawakannya makanan. Namun sayang, semua tak sesuai ekspektasi. Amar ternyata tak peduli sama sekali kalau istrinya belum makan malam itu.
Dengan hati yang perih, Aliyah pun makan dengan kecap lagi sama seperti siang tadi. Dirinya telah terlalu lelah untuk sekedar masak makan malam dirinya.
Keesokan harinya, beruntung Amri sudah baikan jadi Aliyah bisa memasak sarapan lagi untuk suami dan anak-anaknya.
"Kamu masak apa sih Aliyah? Ya ampun, makin hari kamu ini makin nggak becus aja sih? Masak aja hambar kayak gini. Aku ini mau kerja, Liyah, mau kerja. Aku butuh makanan yang bergizi dan tentunya enak, tapi apa ini? Sudah nasi goreng nggak ada warnanya, hambar lagi. Ya ampun, lama-lama aku bisa gila ngedepin istri kayak kamu ini," sentak Amar tak peduli kalau anak-anaknya mendengar caci makinya pada sang ibu.
"Tau nih ibuk, masak kok kayak gini. Udah persis makanan untuk pasien di rumah sakit. Pasien di rumah sakit aja nggak mau makan yang kayak gini, apalagi kami yang sehat. Aku ini sekolah Bu, butuh nutrisi supaya otakku bisa mikir dengan lancar. Kalau kayak gini, gimana aku bisa jadi anak pintar coba? Makannya aja kayak gini," protes Nana yang enggan makan masakan sang ibu sebab nasi goreng itu begitu pucat. Sepucat wajah Aliyah. Bumbu di dapur hanya tinggal bawang merah saja jadi ia pun menggoreng nasi dengan bumbu seadanya dan telur dadar sebagai pelengkapnya.
Tiba-tiba ponsel Nana berbunyi. Nana pun tersenyum lebar.
"Yah, yuk buruan pergi. Lihat nih, Tante Fisa masakkin sarapan untuk kita. Pasti enak. Nggak kayak masakan ibu," ujar Nana sambil menunjukkan sebuah foto di layar ponselnya. Foto yang menampakkan gambar makanan yang dimasak oleh Nafisa untuk Amar dan Nana.
Amar pun tersenyum lebar, "ya udah, yuk!"
Hati Aliyah bagai teriris sembilu. Bagaimana tidak, usahanya ternyata sia-sia saja. Suami dan anaknya tak menganggapnya sama sekali. Bukan mau Aliyah masak seperti ini. Tidakkah mereka bisa melihat, Aliyah sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya begitu lemah tanpa daya. Tapi tak ada yang peduli.
Lalu apa tadi, kedua suami dan anaknya justru membicarakan nama perempuan lain tepat di hadapannya.
"Tante Fisa? Siapa itu?"
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
itu suami dan nak dis kok g mau bantuin sih