Pernikahan Arya dan Ranti adalah sebuah ikatan yang dingin tanpa cinta. Sejak awal, Arya terpaksa menikahi Ranti karena keadaan, tetapi hatinya tak pernah bisa mencintai Ranti yang keras kepala dan arogan. Dia selalu ingin mengendalikan Arya, menuntut perhatian, dan tak segan-segan bersikap kasar jika keinginannya tak dipenuhi.
Segalanya berubah ketika Arya bertemu Alice, Gadis belasan tahun yang polos penuh kelembutan. Alice membawa kehangatan yang selama ini tidak pernah Arya rasakan dalam pernikahannya dengan Ranti. Tanpa ragu, Arya menikahi Alice sebagai istri kedua.
Ranti marah besar. Harga dirinya hancur karena Arya lebih memilih gadis muda daripada dirinya. Dengan segala cara, Ranti berusaha menghancurkan hubungan Arya dan Alice. Dia terus menebar fitnah, mempermalukan Alice di depan banyak orang, bahkan berusaha membuat Arya membenci Alice. Akankah Arya dan Alice bisa hidup bahagia? Atau justru Ranti berhasil menghancurkan hubungan Arya dan Alice?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna BM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29 Pekerjaan Menjanjikan
"Ya, Pak. Dia memberi saya kartu nama Anda dan bilang bahwa mungkin Anda bisa membantu saya mendapatkan pekerjaan."
Hening beberapa saat, lalu Davidson berkata, "Baik, datanglah ke kantor saya besok pagi. Kita akan berbicara lebih lanjut."
Arya hampir tak percaya dengan keberuntungannya. Ia segera mencatat alamat yang diberikan dan mengucapkan terima kasih sebelum menutup telepon.
Malam semakin larut. Suara-suara malam saling bersahutan. Namun Arya belum dapat memejamkan matanya. Ia sulit untuk tidur. Arya membayangkan berbagai kemungkinan. Apakah ia akan diterima bekerja, atau ditolak, atau bahkan hanya diberi harapan palsu. Namun, ia tetap memantapkan hati. Besok, ia akan menemui Davidson Liam. Apa pun yang akan terjadi, aku harus terima. Lambat laun, ia pun tertidur.
Pertemuan di Kantor
Keesokan paginya, Arya bangun lebih awal dari biasanya. Ia memilih pakaian terbaik yang ia miliki. Sebuah kemeja putih dan celana hitam yang masih layak pakai. Setelah memastikan dirinya cukup rapi, ia berangkat menuju kantor yang alamatnya tertera di kartu nama.
Sesampainya di sana, Arya sedikit terkejut. Kantor Davidson Liam ternyata sangat megah. Gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk.
Seorang resepsionis menyapanya dengan ramah. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya Arya. Saya ada janji dengan Pak Davidson."
Sang resepsionis memeriksa daftar tamu, lalu mengangguk. "Silakan naik ke lantai sepuluh. Pak Davidson sudah menunggu Anda."
Dengan hati berdebar, Arya menaiki lift dan tiba di lantai sepuluh. Begitu pintu lift terbuka, ia melihat seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun yang mengenakan setelan jas rapi. Pria itu tersenyum dan menghampirinya.
"Kau pasti Arya," kata pria itu sambil mengulurkan tangan.
Arya menjabat tangan itu dengan sedikit canggung. "Ya, Pak. Terima kasih telah bersedia menemui saya."
Davidson memberi isyarat agar Arya mengikutinya ke dalam ruangannya. Setelah duduk, Davidson menatap Arya dengan penuh perhatian.
"Roy pernah bercerita tentangmu. Katanya kau punya banyak keterampilan. Aku ingin tahu lebih banyak. Ceritakan tentang dirimu."
Arya menelan ludah. Ia tahu ini adalah saat yang menentukan. "Saya pernah bekerja di berbagai bidang, Pak. Saya bisa mengoperasikan mesin, melakukan perhitungan keuangan sederhana, dan juga cukup terampil dalam memperbaiki peralatan elektronik."
Davidson mengangguk pelan. "Menarik. Tapi aku ingin melihat sendiri bagaimana kemampuanmu. Aku akan menguji beberapa hal. Jika kau bisa melewatinya, mungkin aku bisa memberimu pekerjaan."
Arya langsung mengangguk. "Saya siap, Pak."
Davidson tersenyum. "Bagus. Sekarang, mari kita lihat bagaimana kemampuanmu dalam perhitungan keuangan."
Arya kemudian diberikan beberapa dokumen dan diminta untuk menghitung anggaran proyek tertentu. Ia mulai menghitung dengan teliti, memastikan bahwa tidak ada kesalahan dalam angka-angka yang ia tulis. Setelah selesai, ia menyerahkan hasilnya kepada Davidson.
Davidson memeriksanya dengan seksama, lalu mengangguk puas. "Hasilmu akurat. Aku terkesan."
Setelah beberapa tes tambahan, Davidson akhirnya berkata, "Arya, kau punya banyak kemampuan. Aku bisa melihat potensimu. Bagaimana jika kau mulai bekerja di sini besok?"
Arya nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Matanya membulat. "Serius, Pak?"
Davidson tertawa kecil. "Ya. Aku suka orang yang mau berusaha dan tidak menyerah. Kau memiliki keterampilan yang berharga. Aku ingin memberimu kesempatan."
Arya menunduk, berusaha menahan emosinya. Setelah semua yang ia lalui, akhirnya ada seseorang yang memberinya kesempatan untuk memulai kembali.
"Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Bapak," katanya dengan penuh semangat.
Davidson mengangguk. "Aku percaya padamu. Selamat bergabung."
Setelah meninggalkan kantor Davidson Liam, Arya merasa hidupnya mulai kembali ke jalurnya. Ia mendapatkan pekerjaan, sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan beberapa bulan yang lalu saat masih berada di balik jeruji besi.
Ia sadar bahwa perjalanan ini belum berakhir. Masih ada banyak hal yang harus ia buktikan. Tapi satu hal yang pasti, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. "Alice pasti senang," pikirnya sepanjang perjalanan pulang ke rumah orang tua Alice.
Devan berlari menyambut kedatangan Arya. Namun hati Arya merasa sakit, melihat kulit Devan yang belum pulih. Sudah sebulan Devan mengalami sakit di kulitnya. Arya berpikir hanya karena alergi makanan di restauran itu. Karena tidak ada siapa pun yang duduk disana, kecuali Shela dan Dela. Arya tidak akan berfikir sejauh itu untuk menuduh kedua anak-anaknya.
"Papa... " Devan berjingkratan minta di gendong sang papa.
Arya tersenyum,hatinya terasa nyaman. Walau pun beban hidupnya begitu berat, namun dengan adanya Devan, hatinya serasa terobati.
Alice tersenyum menyambut Arya pulang. "Sepertinya ada kabar baik Mas?"
Arya bergegas berdiri sambil menggendong Devan. "Pasti dong. Pastinya ada kabar baik,"
"Yah sudah, sebaiknya kamu duduk dulu. Aku buatkan teh buat kamu," Alice melangkah ke dapur memasak air panas. Cintanya pada Arya tumbuh perlahan, seperti bunga yang mekar dengan sabar. Ia tahu, perjalanan mereka tidak mudah, terutama karena masa lalu Arya yang masih menghantui dan mengganggu. Bayangan Ranti yang mengganggu hidupnya.
Mata Alice berbinar saat melihat sosok lelaki itu duduk bersama Devan. Arya tampak lelah, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda sore ini. Sesuatu yang membuat Alice semakin tak sabar mendengar kabar darinya "Aku gak sabar untuk mendengar kabar baik darimu Mas," ucap Alice tersenyum sambil meletakkan secangkir teh di meja.
Arya membalas senyum itu, lalu mengembuskan napas panjang. Ia meletakkan tasnya di sofa dan mengusap wajahnya seolah ingin menghapus sisa-sisa kelelahan yang masih tersisa. Alice memperhatikannya dengan penuh perhatian, menunggu Arya berbicara lebih dulu.
"Aku diterima kerja," ujar Arya akhirnya.
Mata Alice membulat. "Serius?!"
Arya mengangguk. "Iya. Aku akan mulai bekerja besok di kantor Davidson."
Alice menutup mulutnya dengan kedua tangan, menahan rasa haru yang tiba-tiba menyeruak. Ini adalah kabar terbaik yang ia dengar. Sejak Arya keluar dari penjara, mereka sama-sama berjuang untuk memulai hidup baru. Namun, mencari pekerjaan dengan latar belakang seperti Arya bukanlah hal yang mudah.
"Bagaimana bisa? Aku kira mereka akan sulit menerimamu"
"Roy yang membantuku," potong Arya sebelum Alice menyelesaikan kalimatnya. "Dia mengenalkanku pada seseorang di sana. Davidson adalah orang baik, dia lebih melihat kemampuan daripada masa laluku."
Alice merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu betapa frustasinya Arya selama ini, mencari pekerjaan ke sana kemari hanya untuk berulang kali ditolak. Namun, malam ini semua usaha mereka terbayar.
"Aku bangga padamu," bisik Alice seraya meraih tangan Arya dan menggenggamnya erat.
Arya tersenyum tipis. "Aku juga lega. Aku ingin hidup normal, Alice. Aku ingin jadi suami yang bisa kau banggakan."
"Kau sudah membuatku bangga sejak lama," sahut Alice dengan tulus.
Arya terdiam sejenak, matanya menatap dalam ke arah Alice. Ada banyak emosi di sana. Lega, syukur, bahkan sedikit ketidakpercayaan bahwa akhirnya ia bisa memiliki kesempatan kedua.
"Kita harus merayakannya!" seru Alice tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana yang mendadak emosional.
Arya tertawa kecil. "Merayakan bagaimana?"
"Aku akan memasak sesuatu yang spesial malam ini," kata Alice dengan penuh semangat. "Bagaimana kalau steak? Aku punya daging sapi di kulkas."
Arya terkekeh. "Aku tidak bisa menolak tawaran itu."
Alice langsung berlari kecil ke dapur, meninggalkan Arya yang masih berdiri di ruang tamu.
Lelaki itu menatap punggung istrinya dengan perasaan hangat yang mengalir di dadanya. Setelah sekian lama berada dalam kegelapan, ia akhirnya mulai melihat secercah cahaya.
Drrrrt Drrrrt Drrrrt
Arya mengangkat ponselnya yang berdering. Nama Vino tertera di layar.
“Halo Vin... Ada apa?” tanya Arya dengan nada datar.
“Aku harus bicara denganmu. Ini tentang Ranti,” jawab Vino dengan suara serius.