Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Yang Sakit
Setelah makan malam, Darma duduk di ruang tamu dengan Dwi di pangkuannya. Gadis kecil itu sibuk memainkan boneka beruang kesayangannya, sementara Sinta merapikan meja makan di dapur. Televisi di sudut ruangan menayangkan berita malam, menampilkan laporan tentang peristiwa kriminal terbaru di Kota Sentral Raya.
"Seorang pria ditemukan tewas di kawasan pasar malam, diduga korban perampokan bersenjata. Polisi masih menyelidiki, namun hingga kini belum ada tersangka yang ditahan."
Darma menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada layar. Kota ini semakin kacau. Setiap hari ada berita pembunuhan, perampokan, atau korupsi pejabat. Polisi hanya diam atau malah ikut bermain di dalamnya.
Sinta datang dan duduk di sampingnya, memperhatikan ekspresi suaminya yang terlihat muram. “Berita lagi?” tanyanya lembut.
Darma mengangguk. “Setiap hari sama saja, Sin. Kota ini… sudah terlalu rusak.”
Sinta menatap suaminya dengan penuh perhatian. “Darma, kamu tidak bisa terus-menerus memikirkan hal seperti ini. Kamu sudah bekerja keras, pulang ke rumah dengan selamat, dan masih bisa bersama kami. Itu yang terpenting.”
Darma menggenggam tangan istrinya. “Aku tahu. Tapi rasanya aku muak. Orang-orang jahat terus berbuat sesuka hati, sementara kita hanya bisa melihat dan berharap keadaan membaik.”
Sinta mengelus punggung tangannya, mencoba menenangkan. “Kita hanya orang biasa, Darma. Kita tidak bisa melawan sistem yang sudah kotor seperti ini.”
Darma terdiam, tetapi di dalam hatinya, ia merasa marah. Apakah memang tidak ada yang bisa dilakukan? Apakah semua orang hanya harus menerima kenyataan bahwa Kota Sentral Raya akan selamanya berada di bawah kendali orang-orang korup?
Dwi menguap kecil di pangkuannya, membuat Darma tersadar dari pikirannya. Ia tersenyum dan membelai rambut anaknya. “Sudah ngantuk, Nak?”
Dwi mengangguk pelan. “Ayah, cerita dulu sebelum tidur…”
Darma mengangkat putrinya dan membawanya ke kamar. “Baiklah, cerita apa kali ini?”
Sinta mengikuti dari belakang, tersenyum melihat kehangatan suaminya terhadap anak mereka. Meskipun Darma sering terlihat tegas dan serius, bagi Dwi, ia selalu menjadi ayah yang penuh kasih sayang.
Di dalam kamar, Darma duduk di tepi ranjang sementara Dwi sudah nyaman di balik selimutnya. “Mmm… cerita pahlawan aja, Ayah,” pinta Dwi dengan mata berbinar.
Darma tersenyum kecil. “Baik. Dengar baik-baik, ya.”
Ia mulai bercerita tentang seorang pejuang yang melindungi rakyatnya dari kejahatan. Seorang pria yang berjuang sendirian di tengah kota yang penuh kebusukan.
Tanpa sadar, cerita yang ia sampaikan adalah gambaran dari pikirannya sendiri.
Dwi mulai terlelap sebelum cerita selesai. Darma mengecup kening putrinya dengan lembut, lalu menatapnya sejenak. Ada perasaan damai setiap kali ia melihat wajah polos anaknya.
Saat ia keluar kamar, Sinta sudah menunggunya di ruang tamu dengan ekspresi khawatir. “Darma… kamu baik-baik saja?”
Darma duduk di samping istrinya, menyandarkan kepalanya ke sofa. “Aku hanya merasa marah, Sin. Kota ini tidak seharusnya seperti ini. Seharusnya kita bisa hidup dengan tenang tanpa takut dirampok, diperas, atau dikhianati oleh pemerintah kita sendiri.”
Sinta menghela napas dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Aku mengerti. Aku juga takut. Tapi kita harus tetap bersyukur, Darma. Setidaknya kita masih memiliki satu sama lain.”
Darma memejamkan mata. Untuk saat ini, hanya keluarganya yang membuatnya tetap waras.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa sesuatu harus berubah.
Dan jika tidak ada yang berani mengambil tindakan, maka mungkin dialah yang harus melakukannya.
Darma masih bersandar di sofa dengan mata terpejam, sementara Sinta tetap berada di sampingnya, kepalanya menyandar di bahunya. Keheningan di antara mereka terasa nyaman. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, mengiringi malam yang semakin larut.
Sinta mengangkat kepalanya dan menatap suaminya dengan lembut. “Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang di luar kendalimu, Darma. Aku tidak ingin kamu terlalu terbebani.”
Darma membuka matanya dan tersenyum tipis. “Aku tahu, Sin. Hanya saja… rasanya sulit untuk diam saja.”
Sinta mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Darma dengan lembut. “Yang paling penting bagiku adalah kamu tetap di sini… bersamaku, bersama Dwi. Kamu adalah dunia kami.”
Darma menatap mata istrinya dalam-dalam. Ada ketulusan di sana, ada cinta yang sudah bertahun-tahun menemani hidupnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat tangan Sinta dan mengecupnya pelan.
“Kamu selalu tahu bagaimana menenangkanku,” bisiknya.
Sinta tersenyum. “Karena aku mengenalmu lebih dari siapa pun.”
Darma membalas senyumannya, lalu menariknya perlahan ke dalam pelukan. Hangat. Wangi khas tubuh istrinya membuatnya merasa tenang. Ia mengecup puncak kepala Sinta sebelum menurunkan wajahnya dan menyentuhkan bibirnya ke keningnya, lalu ke pipinya, dan akhirnya ke bibirnya.
Sinta tidak menolak. Sebaliknya, ia membalasnya dengan penuh kasih. Ciuman mereka lambat, lembut, tetapi penuh arti. Tidak ada urgensi, hanya dua hati yang saling berbagi kehangatan setelah hari yang melelahkan.
Saat mereka berpisah, Sinta menatapnya dengan pipi yang sedikit memerah. “Sudah lama kamu tidak seperti ini.”
Darma tersenyum miring. “Mungkin aku perlu diingatkan kalau aku punya istri yang luar biasa.”
Sinta tertawa kecil, lalu berdiri dan menarik tangan suaminya. “Kalau begitu, ayo ke kamar.”
Darma mengikuti tanpa ragu, membiarkan dirinya tenggelam dalam cinta istrinya—sebuah ketenangan yang akan menjadi kenangan berharga sebelum badai besar menimpa hidupnya.