“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 6 ~ Konflik Di Rumah
Diajeng Sekar Ayu
Saat ini aku dalam perjalanan pulang, setelah menolak dan berlarian menghindari dari Fabian yang mengajaknya nonton. Seperti aksi drama film hindustan, aku menghindari Fabian hanya bedanya tidak diiringi lagu dan bergoyang di bawah rintik hujan.
Masih trauma dengan kejadian tadi pagi bersama Om mesuum eh Pak Gentala, aku memilih naik TransJakarta. Agak mahal sedikit, tapi tidak masalah. Perutku sudah meronta minta diisi sedangkan saat ini aku masih dalam kemacetan.
What? Macet?
Inilah kenapa aku lebih suka naik KRL, walaupun berdesakan tapi tidak pernah terhambat karena macet. Hampir pukul delapan malam aku baru sampai di ujung gang rumah. Bahkan aku berhenti sebentar untuk menarik nafas panjang dan menghembuskannya, mengulang itu berkali-kali. Karena berada di rumah memang memerlukan kesabaran tingkat tinggi.
Aku akan bertemu dengan Gio, raja dari para buaya. Mantan kekasih yang menjadi kakak iparku. Belum lagi kakak sambungku genit dan suka curi-curi pandang juga Ayah yang selalu mendorong aku agar membantunya untuk balas budi dan Ibu yang selalu memberikan support pada Ayah dengan menyebutkan nominal hutang yang harus aku pikirkan dari mana aku datang uang untuk memenuhinya.
“Ajeng, semangat,” gumamku sambil mengepalkan tangan.
Saat membuka pagar, aku menghela nafas melihat ada mobil Gio sudah terparkir juga mobil lawas Ayah. Kedua mataku rasanya ternoda, saat melewati ruang tamu ada pasangan lakn4t yang sedang mengumbar kemesraannya. Siapa lagi kalau bukan Kak Vina dan Gio.
“Baru pulang, Jeng?” tanya Gio.
Aku hanya berdehem dan lewat tanpa memandang mereka.
“Kamu ngapain sih, tanya-tanya Ajeng segala. Masih cinta sama dia?”
Sepertinya akan ada drama ikan terbang setelah ini, aku harus segera melipir ke kamar. Baru melangkah beberapa undakan tangga, tapi ….
“Ajeng, kemari!”
Aku menoleh, ayah sudah berdiri di samping meja makan yang sudah rapi. Aku memang jarang makan malam bersama, selain tidak sempat juga tidak ingin berlama-lama berada di tengah keluarga toxic.
“Besok aja Yah, aku lelah. Sumpah,” ujarku mengangkat dua jari ke arah Ayah.
“Kemari kamu, cepat duduk.”
Aku menghela nafas dan kembali turun menghampiri Ayah lalu duduk di salah satu kursi tanpa memandang pria itu.
“Gimana Jeng, kamu sudah ada uangnya ‘kan?”
“Uang apa Yah?” tanyaku pura-pura pintar.
Brak.
Ayah menggebrak meja dan aku tersentak, ini kagetnya serius.
“Ayah, kenapa sih bikin kaget aja.”
“Kamu jangan main-main Jeng, kita sudah bicarakan ini. Kamu bantulah Ayah dan Ibu.”
Perasaan sejak tadi aku bernafas tapi kenapa rasanya aku butuh oksigen ya. Ayah sepertinya harus di ruqyah, khawatirnya saat ini sedang kerasukan setan. Aku bukannya tidak mau bantu beliau, tapi dari mana aku dapatkan uang sebanyak hutang Ayah.
Belum selesai urusanku dengan Ayah, Ibu datang entah dari mana dengan penampilannya yang cetar. Sepertinya pertemuan dengan teman-teman arisannya.
“Eh, gimana? Sudah ada uangnya?” tanya Ibu.
“Ini sedang aku tanyakan,” sahut Ayah.
Aku menggaruk kepala yang gatal, asli gatal karena keringat di kulit kepala dan mungkin sudah berubah menjadi ketombe.
“Ajeng,” tegur Ayah.
“Ayah, Ibu. Ajeng bukannya tidak ingin bantu atau mau kurang ajar, tapi hutang Ayah itu ratusan juta dari mana Ajeng dapatkan uang itu. sedangkan motor matic aku yang rusak aja belum sempat di service.”
“Kamu kerja di stasiun TV besar dan hebat, masa uang segitu saja tidak bisa usahakan,” pekik ayah dan rasanya ingin aku mencekik lehernya.
Sadar, Ajeng … sadar. Mereka orang tuamu, jangan sampai kamu jadi anak durhakim.
“Yang besar stastiun Tvnya tapi aku hanya staf biasa. Memang Ayah sudah menyekolahkan aku setinggi apa sampai berharap aku punya jabatan dan posisi bagus,” ejekku dan tidak terpengaruh pada hati dan pikiran mereka.
“Bantu Ayahlah, rumah ini dan rumah petak di komplek belakang jadi jaminan. Kita akan tinggal di mana kalau semua disita,” ujar Ayah lagi.
“Aku harus cari ke mana, ratusan juta dalam waktu singkat. Jual rahim sampai milyaran atau mendadak menikah dengan miliarder atau one night stand dengan mafia kaya hanya ada dalam cerita novel dan film,” jelasku. “Kenapa nggak minta menantu kesayang Ayah untuk bayar hutang, katanya dia orang kaya. Juga Bang Toni, putra kesayangan Ibu yang kebanyakan dimanja.”
“Ajeng,” teriak Ibu.
Suasana mulai sudah tidak kondusif, aku bergegas naik ke lantai dua dan meninggalkan Ayah dan Ibu yang masih mengoceh.
“Hahhh.” Aku merebahkan tubuh di ranjang yang ukurannya tidak besar setelah memastikan pintu kamar sudah dikunci. Lama kelamaan aku bisa gila. Sebenarnya aku sudah dapat tempat kost tapi baru bisa aku tempati bulan depan.
“Sepertinya aku harus cari tempat lain, bisa-bisa aku stroke menghadapi masalah rumah ini.”
Bersyukurnya di kamarku ada kamar mandi, jadi aku tidak perlu keluar lagi setelah mengunci diri seperti saat ini. Lagi-lagi makan malam aku terlewat dan memilih tidur setelah membersihkan diri. Turun lagi untuk ke dapur bukan ide yang bagus, bisa saja ada Bang Tony atau bertemu Gio.
Aku bergidik membayangkan kedua pria itu dan memilih tidur.
...***...
Aku berkali-kali menguap lalu beranjak duduk dan mencari ponsel dengan alarm yang memekakan telinga. Sengaja menghidupkan alarm lebih pagi, untuk apa lagi selain menghindar dari segala kerumitan keluarga ini.
“Hahh, demi apa aku sudah bangun sepagi ini dan harus … mandi.”
Aku mengenakan celana panjang jenis jogger dan cold shoulders blouse lengan panjang dengan bahu terbuka. Memadukan hand bag dan wedges berwarna senada dengan celana yang aku kenakan. Dengan pelan aku menuruni undakan tangga dan berhasil sampai di lantai bawah tanpa suara. Suasana rumah masih terlihat sepi, karena penghuninya masih tidur.
Berbelok ke dapur, aku perlu sekedar minum air untuk menghilangkan dahaga. Baru saja meneguk aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang memelukku dari belakang. Aku bahkan tersedak dan berusaha melepaskan pelukan itu.
ato jangan-jangan .....