Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Wanita Pelangkah
Kalau hari Sabtu kemarin, Pak Utomo datang ke rumah Jamilah dengan membawa Alexander dan Pak Ginanjar. Tapi tidak dengan hari Minggu siang. Sekitar jam satu siang Pak Utomo datang bertamu seorang diri ke rumah Jamilah. Hanya diantar sopir dengan mobil mewahnya.
Melihat sedikit ada celah cahaya yang masuk pada Alexander, Pak Utomo melakukan gerak cepat. Berbicara langsung dengan orang yang dianggapnya sudah mampu menarik Alexander keluar dari sifat dan kelakuannya yang minus, seperti yang diperlihatkannya tiga tahun terakhir. Hal kecil saja, saat Daddy nya menelpon dari LA, Alexander lebih tenang dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Daddy nya. Walau Alexander belum mau membuka mulutnya. Sangat jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya, Alexander akan melemparkan benda apa saja ke arah kamera yang memperlihatkan wajah sang Daddy. Seolah-olah ia sedang melempari Daddy nya secara langsung
"Mohon maaf kalau saya datang kesini tanpa mengabari terlebih dulu Ibu guru Alexander." Kata pembuka yang diucapkan Pak Utomo setalah mereka sama-sama duduk di atas kursi yang ada rumah Jamilah.
Emak datang dengan nampan ditangannya, ia menghidangkan dua gelas air minum putih dan kue-kue warung yang masih layak dimakan.
"Silakan diminum Pak..."
"Terima kasih Ibu...Emak..." Balas Jamilah dan Pak Utomo berbarengan pada Emak. Lalu Emak pun meninggalkan pria itu dan Jamilah.
Mengingat kembali omongan tetangga yang kemarin, tentang Pria yang hari ini bertamu lagi. Emak jadi ikut berpikir keras, apa mungkin ia jodohnya Jamilah?. Apa ia pria itu menyukai putri pertamanya?. Mungkin ini salah satu cara pria itu untuk lebih dekat dengan Jamilah. Melalui cucunya Alexander. Tapi kalau melihat usia pria itu saat ini mungkin sekitar 68 sampai 70 tahun. Sangat terpaut jauh dengan Jamilah. Apa Emak rela melepaskan Jamilah pada orang pria yang pantas disebutnya Kakek itu?. Tapi bagaimana kalau mereka berjodoh?. Emak terus saja menggeleng-geleng kan kepala sampai berbenturan dengan dada Bapak yang baru masuk ke dapur lewat pintu belakang.
"Kepala Emak kenapa begitu?." Bapak mengusap dada.
"Bagaimana kalau pria yang sedang berbicara dengan Jamilah itu adalah jodohnya Jamilah?. Apa Bapak akan setuju dan melepaskan Jamilah?." Emak begitu serius ingin mendengar jawaban Bapak yang duduk di bale-bale.
"Kalau itu yang terbaik menurut Gusti Alloh, insya Alloh akan membawa kebaikan dan keberkahan nantinya. Bukan baik yang menurut kita." Emak mengangguk lemah dengan perasaan yang belum tenang.
Kembali ke ruang tamu, pembicaraan empat mata antara Jamilah dan Pak Utomo sangat menarik. Dimana Jamilah merasa menjadi orang penting yang bisa membantu sedikit mengurai masalah Alexander. Begitu juga Pak Utomo ia merasa menemukan berlian di perkampungan seperti ini, teman yang bisa mengimbangi isi pikirannya. Jamilah memang sangat pintar
"Saya berharap, secara perlahan Alexander bisa membuka diri dengan siapa pun. Dan saya minta tolong pada Ibu guru Alexander untuk terus membimbingnya. Saya pun sudah meminta izin pada Pak Ginanjar, secara pribadi untuk bisa mengajari Alexander hal apa pun yang belum Alexander dapatkan dari orang lain, terutama keluarganya.
"Insya Alloh saya akan membantu Alexander semaksimal mungkin. Karena memang itu merupakan kewajiban pengajar untuk memberikan pengajaran yang baik untuk setiap anak dirinya. Bukan hanya Alexander saja. Tapi saya tidak bisa berjanji apa pun pada Pak Utomo tentang perubahan sikap Alexander dalam waktu dekat ini. Karena saya rasa Alexander sudah kehilangan banyak momen dalam hidup sehingga Alexander menjadi pribadi yang seperti sekarang ini." Jamilah tidak ingin mentarget apa pun untuk Alexander. Karena tidak baik juga bagi perkembangan dan pertumbuhan anak bila berada dalam begitu banyak tekanan. Yang ingin Jamilah lakukan hanya bermain, lebih dekat dan mengenal Alexander sambil memberikan nilai-nilai positif tentang kehidupan.
.
.
.
Sama persis dengan kemarin siang, sore ini pun Ibu-ibu yang senang menggosipkan Jamilah pun begitu senang saat melihat ada objek yang bisa dijadikan bahan gosip mereka. Namun bedanya sore ini, tidak ada Emak, bapak atau Jamilah saat tamunya pulang dari rumah Jamilah.
"Tuh kan, orang itu datang lagi?. Apa coba kalau enggak ada maksud lain sama Jamilah?. Mungkin pendekatan?."
"Iya mungkin Jamilah masih malu kalau calon suaminya udah tua kaya gitu."
"Yah tua mah enggak apa-apa yang penting mah kaya raya."
"Tua-tua santan kelapa, enak dan gurih."
"Kan kata orang mah enggak apa-apa tua, biar cepat ke alam baka."
"Hussss kalau ngomong suka benar."
Mereka tertawa senang menggosipkan tetangga persis sebelah rumah mereka.
.
.
.
Senin pagi....
Julia dan Jaka sudah diantar oleh Bapak. Jamilah sendiri sedang memanaskan motor yang akan dipakainya berangkat ke sekolah.
"Jangan lupa Milah, bekal makan siangnya." Emak meletakkan tempat makan di meja teras.
"Iya Mak, enggak bakal lupa."
Usai memastikan tidak ada barang atau buku yang tertinggal, Jamilah menyalami tangan Emak dengan begitu takzim dengan mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumsalam..."
Tidak berselang lama Jamilah pun mengendari motornya cukup pelan, karena memang masih cukup pagi saat ia berangkat.
.
.
.
Menikmati hawa dingin pagi ini, yang sampai menembus kulit melewati jaket yang dipakainya. Sepanjang jalan yang sudah biasa dilewatinya setiap harinya.
Sinar matahari pagi yang mulai meninggi, memperlihatkan pemandangan persawahan yang begitu indah, hijau dengan hamparan padi yang siap untuk di panen.
"Jamilah...." Panggil Romli dari arah belakang dengan memelankan jalan sepeda motornya.
"Pak Romli..." Balas Jamilah menghentikan motor tanpa mematikan mesinnya.
"Bagaimana dengan keputusan mu?, apa bisa aku tahu hari ini?." Romli ikut menghentikan motornya. Romli selalu melihat Jamilah lebih cantik setiap harinya. Sangat berbeda dengan Hesti yang sudah tidak cantik lagi, padahal Romli sendiri yang membuat Hesti tidak cantik lagi.
Masih ada waktu tiga puluh menit lagi, Jamilah pun menyanggupi untuk menyampaikan keputusannya di tempat ini.
"Maaf Pak Romli, saya tidak bisa menerima pinangan Pak Romli. Karena, pertama saya tidak ingin menjadi orang yang begitu egois dengan melukai istri dan anak-anak Pak Romli. Kedua saya tidak ingin memperlambat kesembuhan dari istri Pak Romli. Dan terkahir saya tidak ingin menjadi istri kedua atau ketiga atau keempat. Untuk hal ini saya egois, tidak ingin membagi suami saya nanti dengan wanita mana pun. Itu doa yang selalu saya panjatkan sama Gusti Alloh." Jamilah sedikit banyaknya sudah tahu watak keras Pak Romli jadi lebih baik ia tegas sekalian.
"Jamilah, nanti kamu akan menjadi istri ku satu-satunya setelah Hesti enggak ada. Dokter bilang begitu pada penyakit yang sedang diderita Hesti. Jadi kamu akan menjadi ratu dalam hati, hidup dan rumah ku." Jawab Romli begitu berapi-api.
"Astaghfirullahaladzim...." Jamilah memang tidak salah dengan keputusannya, untuk menolak kembali pinangan Romli.
"Kematian itu rahasia Gusti Alloh, jangan suka mendahului. Lagian seharusnya Pak Romli mengusahakan semua untuk kesembuhan Hesti yang sudah memberikan dua orang anak yang pastinya sangat Pak Romli harapkan kelahirannya. Bukannya malah sibuk mencari pendamping disaat istri sedang berjuang untuk kesembuhannya. Dokter hanya manusia yang bisa mendiagnosa tapi keputusan akhir ada ditangan Gusti Alloh." Jamilah begitu telak memukul mundur Romli, jika Romli masih memiliki muka dan malu. Tapi kalau tidak memiliki keduanya, ya pasti Romli akan mencari pembelaan terus untuk dirinya dan anak-anak.
Romli mengeratkan pegangannya pada stang motor sambil menatap Jamilah penuh ejekan.
"Perawan tidak laku saja sombong, angkuh, sok paling benar."
"Memang perlu bersikap sombong, angkuh dan sok paling benar untuk orang seperti Pak Romli. Assalamualaikum..." Balas Jamilah pelan, lalu kembali melajukan sepeda motornya.
.
.
.
Tepat lima menit lagi upacara bendera akan segera dimulai. Yang bertugas kali ini dari kelas 6A.
Jamilah segera melepas jaket dan merapikan hijabnya.
"Tumben Ibu Jamilah mepet, padahal biasanya kalau hari Senin selalu datang lebih awal." Ibu Wiwin sudah lebih dulu meninggalkan Jamilah yang sedang mengganti sepatu.
Ucapara sudah mulai, semua sudah berbaris rapi dengan atribut yang lengkap dari semua siswa-siswi kelas satu sampai kelas enam.
Beberapa menit berlalu, pelaksanaan ucapara bendera masih berjalan lancar tidak ada tanda-tanda apa pun yang mencurigakan atau hal aneh.
Akan tetapi bertepatan dengan Pembina ucapara yang hari ini diisi oleh Pak Ginanjar selaku kepala sekolah, memberikan amanatnya untuk semua peserta upacara dengan posisi semua siswa-siswi dalam keadaan istirahat ditempat.
Tiba-tiba saja kegaduhan datang dari barisan kelas 5A. Dimana siswa-siswinya berlari berhamburan sembari meneriakkan satu nama binatang yang begitu geli dan jorok bagi semua orang, kecoa.
"Ahhh...kecoa!, kecoa terbang!, ahhh...kecoa!"
Teriak mereka sambil berlari, ada yang menangis karena ke sikut tangan orang dan ada yang tertawa saja karena merasa lucu dengan kejadian yang sangat tiba-tiba ini.
Semua guru dan kelapa sekolah hanya menonton. Ada beberapa guru yang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sambil menertawakan semua siswa-siswi yang saling bertabrakan karena lari berlawanan arah. Ada yang memperlihatkan wajah tidak sukanya atas kejadian ini dan ada juga yang biasa saja.
"Itu ada kecoa di atas topi mu, Tari!."
Tari berteriak, "Ahhh....." Sambil berlari lalu melepas topi berwarna merahnya dengan asal.
Benar-benar kekacauan yang menyenangkan bagi si pemilik ide jahil yang sangat tidak sopan dan beretika. Siapa lagi kalau bukan Alexander. Meski Alexander orang yang menjadi biang keroknya, tapi ia tetap memasang wajah cool, tanpa dosa sedikit pun.
Pengeras suara mulai aktif, dimana Pak Ginanjar meminta semua siswa-siswi dari kelas satu sampai kelas enam untuk kembali berbaris ditempatnya masing-masing.
Semua guru bergerak ikut mengatur semua murid supaya upacara tetap berjalan walau harus terjeda karena kecoa yang tidak terlihat batang hidungnya lagi.
Akhirnya selesai juga ucapara pagi ini. Semua siswa masuk kedalam kelas masing-masing setelah pembina upacara membubarkannya. Hanya saja Alexander yang tidak masuk ke dalam kelas, melainkan masuk kedalam ruang kepala sekolah bersama Jamilah.
"Alexander, kamu diminta untuk masuk keruangan kepala sekolah sekarang!." Posisi Jamilah yang kini berhadapan dengan Alexander sambil menatapnya dengan lembut.
Y
hhh