"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Angin pagi dari jendela yang sedikit terbuka membawa aroma hujan yang baru turun, memberikan kesan damai sekaligus melankolis. Jam dinding berdetak perlahan, mengingatkan waktu yang terus berjalan. Dari dalam kamar, pantulan bayangan lampu dari ruangan luar terlihat bergerak, menambah kesan sunyi.
Raga awalnya sudah bangun untuk melakukan pekerjaan serius di dalam kamar mandi dan setelahnya masuk kembali ke dalam kamar bergelung di atas kasur sambil menarik selimut dengan malas, ia memutuskan untuk tidur kembali.
Di lantai bawah Biu mengeong sambil duduk di depan tangga berharap sang majikan bangun untuk memperhatikannya.
Di luar sana hujan rintik-rintik jatuh perlahan, membasahi dedaunan yang berkilau tertimpa cahaya pagi yang samar. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Suara tetesan hujan yang menyentuh genting menciptakan suara yang menangkan bagai lagu pengantar tidur, berpadu dengan kicauan burung yang terdengar dari kejauhan. Raga tersentak bangun ketika mendengar ponselnya berdering.
Dengan kesal dia mengangkatnya, "Ada apa?" tanyanya sembari bangkit duduk dan memandang keluar jendela.
Telepon di seberang sana dari teman kantornya yang ingin bertanya perihal kerjaan. Hari itu Raga mengambil cuti dari kantornya. Rencananya dia akan mengunjungi sang ayah yang tinggal di luar kota. Raga memutuskan untuk mengemas barang-barangnya pada siang hari nanti sementara di pagi harinya dia mau bersantai sejenak, namun panggilan yang tak diharapkan mengganggu harapannya.
Raga turun ke bawah untuk sekedar mengecek keadaan kucingnya yang sudah lapar. Diambilnya makanan kucing dari dalam lemari dan dia menaruh di piring kucingnya.
Sembari menjawab beberapa pertanyaan dari seberang telepon sana, Raga menangkap beberapa suara ribut dari rumah sebelah. Dia keluar, berdiri di teras sambil menatap aktifitas dari rumah tersebut. Meskipun hujan gerimis namun tidak menyurutkan semangat beberapa orang yang sedang memperbaiki pagar depan rumah itu, tampak ada beberapa kaleng cat yang di bawa masuk. Tak lama hujan berangsur reda meninggalkan jejaknya di atas rumput. Raga memakai sendalnya dan melangkah berjalan ke pekarangan depan sembari memperhatikan suasana komplek yang mulai ramai dengan aktifitas pagi.
Tetangga depannya mas Rifan sedang memanasi mobilnya dan bersiap untuk pergi kerja, di ambang pintu ada istrinya sedang berdiri yaitu mbak Dita mereka pindah kesana sekitar 4 tahun yang lalu. Rifan lalu berteriak menyapa Raga yang terlihat berdiri dari balik pagar dan dijawab Raga dengan lambaian tangan.
Pandangan Raga kembali ke rumah di sampingnya tampak ada yang berbeda, pintunya telah diganti mungkin karena rusak atau permintaan dari sang pemilik sekarang yang berwarna merah, dulu diingatnya berwarna khas kayu yaitu cokelat tua.
Beberapa pekerja berlalu lalang di sekitaran depan pagar dan membuat tong sampah Raga terjatuh, isinya berhamburan. Raga bergegas mengedarkan pandagan untuk mencari seorang pekerja agar bertanggung jawab dengan kejadian itu, namun tidak ada satupun yang menggubrisnya.
"Tunggu sebentar aku lihat di laptopku dulu," ucap Raga sembari bergegas masuk kembali dalam rumah.
Raga memeriksa pekerjaan yang harus dia segera kirimkan dari laptopnya. Sial! Ada saja yang harus aku kerjakan ketika cutibatinnya.
Raga merapikan beberapa baju dan keperluannya lalu memasukkannya ke dalam tas ransel yang lumayan besar, dia memutuskan untuk tidak membawa koper. Setelahnya dia turun ke bawah untuk membuka pintu rumahnya karena ada yang mengetuk.
"Sepertinya kau sedang sibuk," ucap seorang pria bertubuh gemuk dan memakai kacamata. Pria itu masuk ke dalam rumah diikuti dengan Raga mengekor di belakangnya.
Pria itu bernama Theo teman dekat Raga dari SMA. Dia mengeluarkan dua bungkusan yang mengeluarkan bau wangi, sementara Raga bergegas mengambil mangkok dan sendok dari atas lemari.
Mereka berdua pun bergegas naik ke atas tepatnya masuk ke dalam kamar Raga yang berantakan.
Theo duduk di lantai dekat jendela sambil menikmati semangkok bakso yang tadi di belinya.
Raga duduk di depan tasnya memasukkan beberapa helai celana dan merapikan barang-barang yang tidak jadi dia bawa, setelah itu bergabung dengan temannya.
"Jam berapa besok kau akan pergi?" tanya Theo.
"Aku harus berangkat pagi-pagi sekali agar tak terjebak macet," balas Raga sambil memotong baksonya.
"Iya juga. Ngomong-ngomong kulihat rumah sebelah sudah ada yang menempati. Dia kembali ?" tanya Theo penasaran seraya meletakkan mangkok ke lantai.
"Orang lain yang tinggal di sana. Wanita berumur 40-an mungkin. Kemarin aku melihatnya." Raga menyeruput kuah bakso dari sendok lalu melap mulutnya dengan selembar tisu.
"Aku penasaran bagaimana kabarnya. Apa kau tidak penasaran?" Theo melirik ke arah temannya itu yang sedang mengangkat mangkok bakso ke atas meja yang terletak di sudut ruangan.
"Tidak sama sekali. Kenapa kau penasaran? Kalian kan tidak dekat," ucap Raga yang heran dengan temannya itu.
"Karena saat itu menyenangkan melihat kalian berdua selalu bertengkar. Setiap kali selesai bertengkar dengannya matamu akan menyala-nyala penuh api sampai aku berkhayal melihat asap keluar dari kepalamu," ucap Theo sambil tertawa mengenang masa lalu. Sementara itu Raga hanya melirik sinis temannya dan tidak ingin mengingat apapun yang terjadi di masa lalu.
***
Bri sedang menikmati makan malamnya dengan sangat nikmat, dia memesan dua porsi karena merasa sangat lapar. Di depannya dua orang sahabatnya Nina dan Vita hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan hal itu.
Beberapa hari yang lalu mereka bertiga membuat janji temu di restoran favorit mereka dekat tempat kerja Nina. Restoran tidak terlalu istimewa namun hidangannya sangat enak, dari makanan indonesia ataupun dari luar semua ada. Suasana di dalam pun sangat tenang dan nyaman.
"Kenapa sih kita selalu bertemu di tempat ini?" tanya Vita salah satu teman Bri yang bosan selalu berkumpul di restoran yang sama.
"Jaga bicaramu. Nanti ada yang dengar, tidak enak," ucap Nina sambil berbisik ke arahnya.
"Karena ini tepat di tengah. Jadi adil untuk kita semua. Awalnya kau tidak protes, apa karena pegawai itu ya?" Bri menunjuk seorang pegawai restoran yang sepertinya menaruh perhatian dengan temannya. Vita tampak risih dengan hal itu.
"Jangan menunjuknya Bri." Bri dan kedua temannya itu berteman dari semasa kuliah.
Mereka bertiga kuliah di jurusan yang sama dan sekarang bekerja di tempat yang berbeda-beda.
"Kapan kau akan menempati rumah itu?" tanya Vita sambil menggigit sepotong ayam bakarnya yang baru tiba.
"Mungkin lusa. Aku sudah minta ijin dengan atasanku untuk pulang cepat," sahut Bri menatap teman-temannya di depan.
"Apa kau akan baik-baik saja? Maksudku sudah bertahun-tahun kau belum pernah datang ke rumah itu lagi." Nina sangat hati-hati dalam mengajukan pertanyaan itu.
Bri meminum jus jeruknya dan sejenak berpikir, "Jujur aku takut dan penasaran juga. Penasaran bagaimana keadaan di sana, apa orang-orang yang tinggal di komplek sana masih sama atau tidak."
Nina dan Vita berpandangan lalu tersenyum ke arahnya.
"Maksudmu anak laki-laki yang sering mengejekmu itu ya?" tanya Nina diiringi dengan seringaian di sudut bibirnya dibalas Vita dengan gelak tawa.
"Cih! Aku harap tidak akan pernah bertemu dengannya lagi," ucap Bri penuh keyakinan namun di dalam hatinya dia masih sangat kesal bila mengingat anak laki-laki itu.
Sepuluh tahun yang lalu...
Berita kecelakaan itu menyayat hati Bri, setelah menangis tak kunjung hentinya dia kini terduduk lemas di kamarnya. Matanya yang lelah kini bahkan sudah kering namun hatinya masih sakit. Kepergian mendadak kedua orang tuanya belum bisa ia terima.
Di bawah orang-orang sudah ramai berdatangan memenuhi seluruh ruangan untuk menyampaikan ucapan belasungkawa pada keluarga mereka. Bri lelah dan mencoba menghindar dengan berdiam diri di sudut kamarnya, kakinya bahkan sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya.
"Bri," suara seseorang terdengar olehnya, dia hapal betul milik siapa suara itu.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu bergema yang menurutnya sangat mengganggu.
"Bri, aku masuk ya," ucap Raga membuka pintu perlahan dan masuk dengan melangkah pelan.
Raga memandangi gadis itu dengan ekpresi khawatir. "Maaf mengganggu, apakah kau baik-baik saja."
Tidak ada balasan dari Bri, dia hanya memandang ke depan dengan tatapan kosong.
"Aku–aku ada di sini kalau kau ingin cerita, aku siap mendengarkan." Raga ikut duduk tak jauh dari hadapan Bri.
"Pergilah. Tinggalkan aku."
"Aku akan menemanimu." Raga tetap bersikeras.
"Enyahlah dari pandanganku!" bentak Bri dengan mata menyalak.
"Aku hanya ingin membantumu, itu saja."
"Tidak ada satupun orang yang bisa mengerti, tidak kau atau siapapun juga."
"Maka dari itu kau harus mengeluarkan semuanya. Untuk itu aku di sini. Kau tidak perlu menanggungnya sendiri."
"Itu urusanku. Aku tidak membutuhkanmu. Pergi dan tinggalkan aku!" Bri tetap tidak goyah dengan pendiriannya.
Raga yang semula tenang kini perlahan mulai muak dan bangkit meninggalkan gadis itu sambil menutup pintu dengan kasar.