FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Sebuah kecelakaan menewaskan seluruh keluarga Arin. Dia hidup sebatang kara dengan harta berlimpah peninggalan orangtuanya. Tapi meski begitu dia hidup dalam kesepian. Beruntungnya ada keluarga sekretaris ayahnya yang selalu ada untuknya.
"Nikahi Aku, Kak!"
"Ambillah semua milikku, lalu nikahi aku! Aku ingin jadi istrimu bukan adikmu."
Bagaimana cara Arin mendapatkan hati Nathan, laki-laki yang tidak menyukai Arin karena menganggap gadis itu merepotkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Sekarang Nathan hanya berdua saja dengan daddynya. Laki-laki itu berdiri di depan meja kerja Mike tanpa berani bersuara. Cukup lama sampai kakinya terasa kram karena terlalu lama berdiri tapi Mike masih saja fokus pada pekerjaannya.
"Berapa lama lagi Daddy mau menyuruhku berdiri," keluh Nathan yang tidak tahan lagi.
Mike langsung menghentikan pekerjaannya dan menatap putranya. "Dad rasa kau sudah tau apa yang mau daddy bicarakan padamu. Kata mommy mu, kau sama sekali tidak membelikan apapun untuk Arin. Apa itu benar?" tanya Mike.
"Jadi karena itu daddy memanggilku kemari? Kenapa mommy tidak bertanya dulu padaku sebelum mengadu," gerutu Nathan.
"Lalu apa yang dikatakan mommy mu itu benar? Kau keterlaluan Nathan, bagaimana kau bisa melupakan Arin. Dia adalah bagian dari keluarga kita, daddy dan mommy juga sudah menganggapnya seperti putri kami sendiri. Dia pasti sedih karena kau melupakannya," ujar Mike dengan nada penuh kecewa.
"Siapa bilang Dad, siapa bilang aku melupakannya. Gadis yang selalu merepotkan ku, mana mungkin aku lupa. Aku punya oleh-oleh sendiri untuknya, hanya saja belum sempat aku berikan padanya." Nathan memasukkan tangannya ke dalam saku.
"Benarkah, baguslah kalau kau ingat. Dan ya satu lagi, bisakah Daddy minta padamu agar bisa bersikap lebih baik pada Arin. Cobalah lebih dekat dan memahaminya, dia bukan hanya gadis merepotkan seperti katamu. Dia juga sangat mandiri," ujar Mike.
"Dad, aku sudah mengikuti mau kalian dengan menjaga dan menganggap Arin seperti adikku sendiri. Tapi kalau untuk lebih dekat dengannya bukankah itu berlebihan, kami sudah punya urusan sendiri-sendiri." Nathan hanya merasa, bukannya mereka sudah dekat lalu harus sedekat apa lagi.
"Baiklah, daddy hanya berharap kau bisa bersikap lebih baik dan lembut lagi pada Arin. Jangan sampai dia bersedih dan merasa kesepian karenamu."
Pesan Mike cukup membuat Nathan mengingatnya dalam hati. Dia jadi berpikir apakah sikapnya sudah keterlaluan. Tapi bukankah selama ini dia sudah bersikap biak pada Arin. Dia juga selalu melindunginya dari segala bahaya saat mereka masih sekolah bersama.
Tapi Nathan lupa kalau dia tidak pernah menanyakan apapun bagaimana perasaan Arin. Saat sudah lama tidak bertemu pun dia tidak bertanya bagaimana hari-hari gadis itu di kampusnya. Nathan pergi begitu saja waktu itu dan cukup membuat Arin tidak terbiasa, dia kesepian pada awalnya untunglah ada anak dari Lia dan Sakka yang menemaninya.
Nathan berhenti tepat di depan pintu kamar Arin. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yang sudah ia beli untuk Arin saat di luar negeri. Tidak tau gadis itu akan menyukainya atau tidak. Tangannya sudah memegang gagang pintu tapi Nathan ragu untuk membukanya, ada rasa aneh saat ia harus masuk begitu saja. Padahal dulu di antara mereka tidak ada perasaan seperti itu.
Nathan pun mengurungkan niatnya baru mau berbalik tapi kakinya terasa berat untuk pergi.
Sementara di dalam kamar. Arin baru saja selesai menunaikan ibadah sholat isya dan mengaji untuk mendoakan keluarganya yang telah tiada. Hanya pada Tuhan lah Arin bisa mengatakan segala keluh kesah dan juga menceritakan semuanya tanpa takut ada yang tau. Meski hanya sampai umur sepuluh tahun merasakan kasih sayang sang ibu tapi Arin selalu mengingat pesan-pesan mendiang ibunya.
Yang jangan melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dan kata ibunya juga hanya Yang Maha Pencipta lah yang bisa membolak-balikkan hati manusia.
Tok tok tok.
"Sebentar," ujar Arin, ia pikir itu pasti Febby. Biasanya kalau malam Febby datang untuk mengobrol sebentar dengan Arin.
Setelah melipat mukena, Arin pun membukakan pintu. "Ada apa aunty-- kak Nathan?" Arin cukup terkejut melihat siapa yang berdiri di depan pintu kamarnya.
"Apa aku boleh masuk?" tanya Nathan.
"Ohh, silahkan kak." Arin pun mempersilahkan Nathan untuk masuk.
Mereka sudah ada di balkon kamar Arin. Tempat dimana menjadi favorit Arin saat sedang ingin menyendiri dan menuangkan perasaannya lewat lukisan. Kamarnya juga di penuhi oleh lukisan-lukisan yang ia buat.
"Tidak berubah," gumam Nathan.
"Kakak bilang apa?" tanya Arin yang tidak mendengar.
"Tidak apa-apa, hanya sedang mengingat saat aku sering mengganggu mu saat kau sedang melukis. Setelah itu kau pasti menangis dan lari mencari mommy untuk mengadu. Apa sekarang masih sama?"
"Itu karena kak Nathan yang terlalu usil. Lukisan ku yang hampir selesai harus hancur karena ulah kakak," gerutu Arin. Masih kesal kalau mengingat hari itu. Dia sedang mengerjakan tugas dari sekolah tapi dihancurkan begitu saja oleh Nathan.
"Hahaha ... kau lucu kalau cemberut seperti itu," ujar Nathan, tak sengaja ucapannya justru membuat Arin tersipu. Nathan sendiri tidak menyadari apa yang ia katakan, saat melihat Arin yang kesal entah kenapa membuatnya suka. Hal itu juga yang ia rasa kehilangan saat berada di luar negeri.
"Hmmm ... kak Nathan ada apa mencariku?" Arin memecah kecanggungan diantara mereka.
"Ohh iya, aku ada sesuatu untukmu. Aku lupa memberikannya padamu. Ini," kata Nathan, dia memberikan kotak kecil itu pada Arin.
"Apa ini Kak?"
"Buka saja, kau tau nanti."
Dibukalah kotak kecil itu dan membuat Arin menganga melihat benda berkilau di dalamnya. Sebuah kalung yang sangat cantik. "Ini untuk aku kak?" tanya Arin tidak percaya.
"Iya, apa kamu suka? Kalau tidak biar aku berikan saja pada--."
"Aku mau, siapa bilang aku tidak suka." Arin langsung mengambil kalung itu dan coba memakainya. Tapi cukup kesusahan saat memasang kaitnya.
"Biar aku saja. Angkat rambutmu." Nathan mengambil alih, dengan membantu Arin memasang kalung dari depan dan hal itu membuat posisi keduanya saling berdekatan.
Diam-diam Arin mengamati wajah Nathan dari dekat. Wajahnya memanas dan hatinya berdebar tak karuan, melihat wajah Nathan sedekat itu.
"Sudah, cantik ternyata. Sangat cocok untukmu." Puji Nathan sambil membenarkan rambut Arin yang berantakan.
Diperlakukan seperti itu tentu saja membuat Arin grogi. Meski dulu sudah biasa mereka berdekatan bahkan berpelukan tapi sekarang dengan jarak sedekat itu mampu membuat Arin gugup dan salah tingkah.
"Terimakasih kak, ini sangat cantik," puji Arin sambil melihat kalungnya.
"Memang cantik." Pernyataan itu terlontar begitu saja saat melihat Arin tersenyum di bawah cahaya bulan. Gadis kecil itu sudah tumbuh dengan baik dan jadi gadis remaja yang menawan.
"Iya, kak Nathan pintar sekali memilih nya. Pasti ini sangat mahal. Aku kira kak Nathan tidak mengingat ku," lirih Arin yang sebenarnya sempat kecewa saat melihat Febby membongkar oleh-oleh dari Nathan.
"Mana mungkin aku lupa pada gadis kecil yang selalu mengikuti ku dan bersembunyi di belakang ku. Kau sudah besar, Arin." Nathan mengusap lembut kepala Arin. "Aku harap kau bisa menjaga dirimu sendiri sekarang," ujar Nathan.
Arin tertegun sejenak mendengarnya, baru pernah Nathan berkata seperti itu padanya. Biasanya pria itu akan berkata dengan nada tinggi dan tegas.
"Kak ...."