Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Brian
"Rasanya aku ingin mengobrol dengan anak itu" ucap Revi sambil menyuap makanannya. "Siapa namanya?"
"Nada". Jawab Zaira baru duduk sambil meletakkan saus yang di pinta Revi tadi.
"Kenapa?" Tanya Hani yang menatap layar Hp nya. Ia sedari tadi sudah mengangguri makanannya.
"Entahlah. Aku juga penasaran dan ingin sekali memintanya mengisi kuesioner".
"Kau menganggap dia ada gangguan?" Tanya Hani heran.
Revi mengangguk. "Cuma prasangkaku saja. Makanya aku ingin mengobrol langsung dengannya".
"Hah! Mana dimsumku! Kenapa tinggal 2!" Hani melirik Revi yang disebelahnya. "Kau!!"
"Lah, aku kira kau sudah kenyang. Hahaha". Si pelaku tertawa tanpa rasa bersalah.
"Ah, kau ini!" Hani melingkarkan jarinya di leher Revi. Mengguncang-guncangkan lehernya hingga Rambut Revi berantakan.
"Iya ampun, ampun. Hahaa nanti aku belikan.." Revi mengangkat bahunya geli. Tangannya tak bisa apa-apa karena bersaus.
Di samping itu, Zaira hanya termenung. Makanannya pun tak banyak disentuh. Dia merasa aneh sebab bertemu Nada terus menerus. Tapi ditepisnya dengan berpikir bahwa ini hanya kebetulan saja.
"Hey.. Sudahlah. Malu dilihat orang". Zaira menepuk pelan lengan Hani yang masih menempel di leher Revi.
"Dia ini sembarangan!" Hani melepaskan cengkramannya dan mulai manyun.
"Salahmu kenapa tak dimakan-makan. Aku, kan, jadi selera".
"Tadi masih panas, tahu. Panas!"
Pertikaian tak langsung mereda. Keduanya memang selalu berkelahi. Hah.. padahal sudah tua, batin Zaira.
Setelah makan, mereka belum selesai disana. Revi mengusulkan lagi.
"Mau ya? Ya ya ya?" Revi merengek seperti anak kecil yang minta di temani main oleh ibunya.
Zaira melirik jam tangan kecil di pergelangan tangan kanannya.
"Baru jam 8 kan..". Rengek Revi.
"Ya sudah, ayo".
"Yeeee.."
Revi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Senangnya bisa main lagi.. batinnya.
Sesampainya di tempat yang di inginkan Revi.
Mereka duduk di sofa panjang. Lampu di stel kelap-kelip oleh Revi.
"Halo. Ha.. hu.." suara Revi menggema di ruangan. "Ayooo siapa yang ingin bernyanyiiiii..."
Hani dan Zaira meletakkan tangan di kuping. Suara Revi sangat menggetarkan jantung mereka.
"Aduhh.. ngapain pakai teriak-teriak,sih!" Suara Hani tak kalah bising walau tanpa mic.
"Hehehe. Kalau begitu. Biarlah aku yang duluan bernyanyi." Revi memilih lagu dangdut. Ia bergoyang-goyang menarik Hani. Awalnya sebal, kini Hani ikut bernyanyi dan bergoyang-goyang. Zaira hanya tertawa-tawa melihat tingkah teman-temannya itu sambil mengunyah makanan ringan.
Hahaha.. mereka tertawa riang melihat score di layar.
"Buruk sekali suaramu, Rev. Hahaha. Lihat, Ra, nilainya itu". Ejek Hani tertawa-tawa melihat score Revi hanya 46.
"Hei, ini yang jelek suaramu. Kau kan, yang ganggu aku nyanyi tadi." Timpal Revi tak mau kalah.
"Kalian ini, sudah kepala tiga tapi masih saja kaya anak SMA". Zaira tertawa dari tadi melihat tingkah dua orang ini.
"Kita harus terus senang, ya. Ingat itu. Supaya tidak keriput dan tetaplah awet mudaaaa. Hahaha". Suara Revi bergetar di seluruh ruangan hingga menembus tembok ruang sebelah. Ah Benar-benar berisik...
*****
Tak terasa jam menunjukkan pukul 11 malam.
Zaira berjalan ke arah pintu rumahnya membawa beberapa kantung belanja. Ia merogoh tas mencari kunci. Namun tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Brian berdiri di depan pintu. Zaira berdiam diri mematung.
"Tidak masuk?" Tanya Brian lembut.
'Ah.. aku pikir dia akan marah' batinnya.
Brian membiarkan istrinya membersihkan diri tanpa bertanya. Padahal banyak sekali pertanyaan di benaknya.
Zaira keluar dari kamar mandi. Sudah mengenakan pakaian tidurnya.
"Aku buatkan coklat panas, kesukaanmu." Brian menunjuk gelas di atas meja sebelah tempat tidur mereka.
Ah. Coklat panas. Sudah lama sekali sejak habis bulan lalu ia lupa membelinya saat belanja bulanan.
Zaira meraih gelas dan duduk di tepi tempat tidur, sebelah Brian. Zaira tahu bahwa Brian punya pertanyaan untuknya. Memang begitu, setiap Brian melakukan ini, pasti ada sesuatu yang ia tanyakan atau curigai.
Zaira menunggu, namun Brian tak bergeming. Coklat di genggamannya bahkan hampir habis.
"Tanyakan." Ucap Zaira. Ia tak mau lagi menunggu. Ia ingin tidur. Kakinya lelah sebab berjalan kesana kemari menemani teman-temannya berjalan.
Brian memiringkan posisi duduknya menghadap istrinya. Mendekatkan diri ke arah Zaira.
"Ceritalah". Brian menggenggam tangan Zaira yang masih memegang gelas.
"Aku tak ada masalah, Mas." Entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa Brianlah yang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Baiklah, sayang. Mungkin kamu masih sedih tentang hasil tes itu." Zaira hanya diam. "Mari sama-sama kita lupakan soal itu. Kembali seperti kita yang sebelumnya, Ya?" Brian mengelus pipi istrinya.
Baiklah. Mungkin memang aku yang terlalu terbawa perasaan. Pikir Zaira. Karena sekarang suaminya sudah seperti Brian yang selama ini ia kenal.
Zaira meletakkan coklatnya. "Maafkan aku, Mas." Ia memeluk suaminya. Benar-benar merasa bersalah atas perasaan buruknya hari ini. Ditambah badmood nya dia pada orang yang baru dikenalnya tadi. Baru kenalan, sudah mengungkit anak-anaknya yang bahkan belum lahir ke dunia, ketemu pula dimana-mana. Ah.. pelukan Brian benar-benar menyembuhkan kewarasannya.
"Kenapa minta maaf?" Brian masih mengelus rambut istrinya.
Zaira melepaskan pelukan. Mulai bercerita betapa sebalnya dia dengan anak kepala rumah sakit yang baru ia kenal. Untungnya, teman-temannya membawanya keluar dan bersenang-senang sebentar.
"Seru ya, jalan-jalannya." Wajah Brian datar. Bisa-bisanya istrinya keluar tanpa izin seperti ini.
"Maaf.." Zaira menunduk, mengakui kesalahannya.
"Aku tahu kamu pasti lelah dengan pekerjaanmu. Tidak apa kalau bersenang-senang. Tapi apapun itu aku tetaplah suamimu. Aku berhak tau kemanapun kamu pergi"
"Iya aku minta maaf ya, Mas."
"Baiklah. Bagaimana operasinya tadi?" Pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama pula.
"Lancar". Zaira tersenyum cerah. Kegundahan hatinya hilang satu persatu. "Lagi pula hanya operasi ringan". Zaira merebahkan badannya disebelah Brian dan menarik selimut.
"Bagaimana bisa operasi paru menjadi operasi ringan". Tanya Brian heran. Diselingi tertawanya Zaira.
"Haha. Begini loh, Mas, maksudnya..."
Zaira pun menjelaskan. Begitu juga Brian yang bercerita apa saja yang ia lakukan hari ini. Mereka asyik bercerita kegiatan masing-masing sebelum tidur seperti yang selalu mereka lakukan.
*****
Pagi ini seperti biasa, Brian bersiap akan lari pagi.
"Sayang, aku jogging ya..". Teriak Brian dari depan rumah agar istrinya yang di dapur dengar.
"Sebentaarr..". Terdengar jawaban dari dalam. Tak lama, Zaira keluar sudah pakaian olahraga.
"Loh. Kamu mau apa?" Tanya Brian yang bingung dengan penampilan istrinya pagi ini.
"Mau apa, apanya. Ya ikut olahraga, lah." Zaira meletakkan handuk kecil di lehernya. "Yuk".
Brian diam cukup lama. Memandang bingung ke arah Zaira.
"Ayoo, kok bengong?"
Ajakan Zaira membuyarkan pikirannya.
"Ah.. hanya heran. Kok tumben, gitu".
"Pingin nemenin kamu.. ayuk. Mumpung wiken" Zaira menarik lengan Brian. Mengajaknya mulai berlari kecil.
Mereka berkeliling taman komplek. Diselingi tawa dan candaan Brian kepada istrinya.
"Mas, sebentar". Zaira berhenti. "Aku ga kuat. Mau istirahat". Suaranya terdengar seperti sesak napas.
"Ckck, dasar. Baru dua putaran. Kok istriku lemah begini, sih." Di coleknya dagu istrinya yang sedang mengatur napas.
"Sudahlah. Sana lari lagi. Aku kesana sebentar". Ucap Zaira sambil menunjuk kedai kecil.
Brian pun lanjut lari. Zaira melangkah menuju kedai kecil dan membeli minuman botol. Sesekali melirik suaminya yang sudah mulai menjauh.
Zaira memilih duduk di ujung sambil menenggak minumannya. Sesaat ia terhenti melihat suaminya di datangi seorang perempuan.
Terlihat Brian sedang melihat ke arah kedai dimana Zaira berada. Namun, karena Zaira duduk di ujung hampir berada di belakang kedai, membuat Brian tidak melihat istrinya.
Wanita itu terlihat akrab. Bercerita sambil sesekali menyentuh lengan Brian.
Lagi, Brian menatap ke arah kedai namun matanya tak menangkap Zaira disitu. Mereka pun lari bersama. Asyik mengobrol diselingi tawa.
"Wah.. Asyik sekali ya, Brian". Gumam Zaira menghabiskan tegukan terakhirnya.
"Siapa ya dia? Kenapa pakai masker saat lari pagi?"
Saat mereka memutar, Zaira bersembunyi di belakang Kedai.
'Sebentar. Kenapa aku sembunyi kaya ketahuan selingkuh, sih?' Pikirnya. Tapi tubuhnya membeku disitu. Ia melihat Brian yang menatap ke arah kedai sambil berlari. Lalu berpaling dan menatap wanita itu lagi sambil tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan.
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti di sebuah bangku kecil. Wanita itu memberikan sebotol minuman kepada Brian.
"Sepertinya aku kenal perempuan itu, tapi siapa ya." Zaira mencoba melihat wajah wanita yang di tutupi topi merah jambu, berdesign unik di depannya. Rambutnya tak terlihat lantaran dimasukkan ke dalam topi. Badan wanita itu sangat bagus. Terlihat bentuk badan yang di rawat. Ia memakai legging panjang dan sport bra hitam.
Mata Zaira terbelalak saat perempuan itu mencium pipi Brian. Wanita itu tertawa riang sambil berlari kecil meninggalkan Brian. Yang membuat Zaira sangat sedih, ialah Brian yang melambaikan tangan ke wanita itu. Lutut Zaira lemas. Dirinya seperti akan roboh.
'Apakah Mas Bian selingkuh?'
'Apakah ini alasan kak Andre menyuruhku menemani Brian lari pagi? apakah dia tahu sesuatu?'
Bersambung....
cow gk tahu diuntung