Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 02
Saat Sartika sedang menjemur pakaian di halaman belakang, sebuah suara familiar membuatnya menoleh.
"Tik?"
Seorang wanita berdiri di luar pagar bambu, tersenyum lebar. Sartika butuh beberapa detik untuk mengenali wajah itu, tapi begitu sadar, matanya membulat.
"Sri?"
Sri mengangguk, melangkah mendekat dengan wajah berseri-seri. Pakaiannya rapi, rambutnya tertata dengan baik, dan kulitnya tampak lebih terawat dibanding terakhir kali Sartika melihatnya bertahun-tahun lalu.
"Ya ampun, Sri! Kamu pulang ke desa?"
Sri tertawa kecil. "Iya, baru seminggu ini. Kangen rumah, jadi sekalian pulang lihat orangtua."
Sartika mengusap tangannya yang masih basah karena cucian, lalu membuka pagar dan mempersilakan Sri masuk. Keduanya duduk di bangku kayu kecil di bawah pohon mangga.
"Kamu sekarang tinggal di mana, Sri?" tanya Sartika, memperhatikan betapa temannya itu terlihat jauh lebih baik dibanding dulu.
"Aku kerja di luar negeri, Tik," jawab Sri dengan bangga. "Jadi asisten rumah tangga di Malaysia."
Sartika membelalakkan mata. "Serius? Sendirian?"
Sri mengangguk. "Iya. Awalnya takut, tapi ternyata nggak seburuk yang kupikir. Majikanku baik, gajinya juga lumayan. Bisa nabung buat masa depan."
Sartika terdiam sejenak, matanya menerawang. "Enak ya, kalau bisa kerja di sana. Hidup pasti lebih nyaman."
Sri menepuk tangan Sartika dengan lembut. "Kamu bisa coba juga, Tik. Kalau benar-benar capek hidup seperti ini, kenapa nggak cari peluang yang lebih baik?"
Sartika menghela napas berat. "Aku pengen, Sri. Tapi, ya gimana? Aku punya anak. Terus Malik..."
"Kamu pikirin Dinda," potong Sri.
"Kalau kamu kerja di sana, kamu bisa kasih dia hidup yang lebih layak. Sekolah bagus, makan cukup, baju bagus. Nggak kayak sekarang, kan?"
Kata-kata itu menghujam ke dalam hati Sartika. Sejak dulu, ia ingin kehidupan yang lebih baik, tapi selalu terjebak dalam kemiskinan. Jika Sri bisa berhasil, kenapa ia tidak?
"Caranya gimana?" tanya Sartika akhirnya, suaranya lebih pelan.
Sri tersenyum, melihat ada harapan dalam mata temannya. "Aku bisa bantu urus. Ada agen yang urus semuanya, asal niat, pasti bisa."
Sartika menggigit bibir, pikirannya berkecamuk. Ia ingin lepas dari penderitaan ini. Ingin masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan Dinda.
Sartika menatap Sri dengan campuran harapan dan keraguan. "Tapi... prosesnya gimana? Aku takut ketipu, Sri. Banyak yang bilang ada agen abal-abal yang ujung-ujungnya malah bikin susah."
Sri tersenyum meyakinkan. "Makanya kamu harus hati-hati. Aku dulu juga khawatir, tapi aku dapat agen yang resmi. Mereka bantu urus paspor, visa, pelatihan, semuanya sampai berangkat. Kalau kamu mau, aku bisa kenalin sama mereka."
Sartika menghela napas, jari-jarinya meremas kain jemuran yang masih setengah basah. Ia memikirkan Dinda—anaknya butuh masa depan yang lebih baik. Tapi meninggalkan kampung, meninggalkan Dinda... apakah ia sanggup?
"Kalau aku pergi, siapa yang jaga Dinda?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Sri menyandarkan punggung ke kursi kayu. "Kamu masih punya keluarga, kan? Mungkin bisa titip ke ibumu atau saudara. Banyak kok yang begitu, Tik. Aku juga dulu berat ninggalin anak, tapi sekarang aku bisa kirim uang buat sekolahnya. Hidupnya jadi lebih baik."
Kata-kata itu menusuk hati Sartika. Dinda memang masih kecil, tapi apakah lebih baik membiarkannya hidup dalam kemiskinan bersama seorang ayah yang tak bisa diandalkan?
"Aku butuh waktu buat mikir," kata Sartika akhirnya.
Sri mengangguk, seolah sudah menduga jawaban itu. "Nggak apa-apa. Kalau kamu siap, kasih tahu aku. Aku bantu semuanya."
Sartika menatap Sri yang kini terlihat lebih mapan, lebih percaya diri. Hati kecilnya berkata, mungkin ini kesempatan yang sudah lama ia tunggu.
Dan mungkin, ini jalan keluar dari penderitaannya.
Setelah Sri pulang, Sartika duduk termenung di bangku kayu, pikirannya penuh pertimbangan. Tawaran Sri menggoda, tapi juga menakutkan. Pergi ke negeri orang bukan perkara mudah, dan meninggalkan Dinda adalah keputusan terbesar dalam hidupnya.
Saat matahari mulai condong ke barat, suara kecil memecah lamunannya.
"Ibu..."
Dinda berdiri di ambang pintu, matanya yang polos menatap Sartika dengan bingung.
"Laper..."
Sartika buru-buru bangkit, mengelus kepala anaknya dengan lembut. "Iya, Nak. Ibu buatkan makanan, ya."
Dinda mengangguk pelan, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Sartika menatap punggung kecil itu dengan perasaan campur aduk.
Jika ia pergi, Dinda tak perlu lagi merasa lapar. Tak perlu lagi tidur dalam gelap karena listrik dipadamkan. Tak perlu lagi memakai baju bekas yang sudah lusuh.
Tapi... apakah Dinda akan baik-baik saja tanpa dirinya?
Sartika menghela napas panjang. Ia butuh waktu, tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu... keputusan itu semakin dekat.
Sartika masuk ke dapur dan membuka tudung saji. Kosong. Hanya ada piring kotor dan gelas bekas air putih.
Ia menelan ludah, lalu membuka lemari kayu tempat biasa ia menyimpan beras. Tangannya meraba dasar wadah yang nyaris kosong, hanya tersisa beberapa butir beras yang bahkan tak cukup untuk sepiring nasi.
Hatinya mencelos.
Dinda masih berdiri di ambang pintu, menunggu dengan mata polosnya.
"Ibu, makanannya mana?"
Sartika tersenyum tipis, menyembunyikan kepedihan yang menghantam dadanya. "Ibu cari dulu, ya, Nak. Kamu tunggu sebentar."
Dinda mengangguk, lalu duduk di lantai dapur, mengayunkan kakinya yang kurus.
Sartika melirik ke luar. Langit mulai gelap, tapi Malik belum juga pulang. Suaminya sering seperti itu, menghilang entah ke mana, pulang hanya saat butuh makan atau uang. Jika pun pulang, ia mungkin hanya membawa sebotol tuak dan aroma mabuk yang menyengat.
Air mata menggenang di pelupuk matanya.
Perutnya juga lapar, tapi ia tak sanggup melihat Dinda kelaparan.
Dalam benaknya, kata-kata Sri kembali terngiang: "Kalau kamu kerja di sana, kamu bisa kasih Dinda hidup yang lebih layak."
Sartika mengepalkan tangan.
Keputusan Sartika berat, tapi kebutuhan untuk memberi Dinda kehidupan yang lebih baik semakin mendesaknya. Apakah ia akan benar-benar meninggalkan kampung halamannya dan anaknya demi masa depan yang lebih cerah? Atau ada pilihan lain yang bisa ia ambil?
Dinda kembali bertanya dengan suara lirih, "Ibu, makanannya mana?" dan suara langkah berat terdengar dari depan rumah, perlahan mulai mendekat.
Sartika menoleh dan melihat Malik masuk dengan mendorong pintu bambu yang reyot dan melangkah masuk dengan lelah, tapi matanya tetap menatap Sartika dengan wajah tanpa ekspresi.
Sartika langsung berdiri, matanya menyala penuh amarah. "Kamu dari mana, Malik?"
Dinda masih duduk di lantai dapur, tatapan polosnya beralih ke ayahnya. "Ayah... makanannya mana?" tanyanya lagi dengan suara lirih.
Sartika menahan napas, berharap Malik akan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebungkus nasi, sekeping roti, apa pun. Tapi lelaki itu hanya berdiri di ambang pintu, tak membawa apa-apa.
Sartika merasakan kemarahan membakar dadanya. Ia bangkit, tangannya mengepal.
"Mana makanan buat anakmu, Malik?" suaranya bergetar menahan emosi.
Malik menghela napas berat, lalu duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding. "Nggak ada," jawabnya singkat.
"Nggak ada?" Mata Sartika membelalak.
"Kamu seharian ke mana aja? Aku di rumah nahan lapar, Dinda juga kelaparan, sementara kamu pulang dengan tangan kosong?!"
"Aku nyari kerja, Tik," kata Malik, suaranya datar. "Tapi nggak ada yang mau nerima. Aku udah keliling dari pagi."
"Dan kamu nggak bawa apa pun? Bahkan satu butir telur pun nggak?"
Malik tak menjawab, hanya menatap lantai dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Sartika mendekat, suaranya meninggi. "Kalau memang nggak bisa kasih makan anak, kenapa kamu nggak cari cara lain? Pinjam ke tetangga, cari kerja serabutan, apa kek! Jangan pulang dengan tangan kosong dan berharap kita bisa makan angin!"
Malik tetap diam, tapi rahangnya mengeras.
Sartika merasa dadanya sesak. Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya. Ia tak ingin Dinda melihat ibunya menangis.
"Kalau begini terus, kita bakal mati kelaparan, Malik," lanjutnya, suaranya lebih pelan tapi penuh kemarahan. "Aku nggak bisa biarin Dinda hidup begini. Aku nggak bisa!"
Dinda hanya diam, menatap kedua orang tuanya dengan bingung.
Malik akhirnya mengangkat wajah, menatap Sartika dengan mata lelah. "Aku udah coba, Tik..." katanya pelan.
"Tapi nggak cukup, Malik," potong Sartika tajam. "Usaha kamu nggak cukup."
Keheningan menyelimuti mereka. Angin malam berembus pelan dari jendela yang terbuka, membawa hawa dingin ke dalam rumah yang sudah lama kehilangan kehangatan.
Sartika menatap suaminya dengan getir. Ini bukan pertama kalinya Malik pulang dengan tangan kosong. Dan mungkin, bukan yang terakhir.
Dalam benaknya, keputusan yang tadi terasa begitu sulit kini perlahan mulai menjadi jawaban yang paling jelas.
Sartika mengepalkan tangan, menahan amarah yang hampir meluap. Namun, sebelum kata-kata tajam kembali meluncur dari bibirnya, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Bakul kecil di pojok dapur.
Matanya bergerak cepat ke sudut ruangan, ke arah bakul anyaman yang tadi siang diberikan oleh Bu Rahayu, tetangga sebelah. Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke sana dan membuka tutupnya.
Benar saja. Masih ada beberapa buah pisang di dalamnya.
Sartika menghela napas lega. Setidaknya, malam ini Dinda tidak perlu tidur dengan perut kosong.
"Dinda, sini nak," panggilnya lembut.
Dinda segera menghampiri, matanya berbinar saat melihat pisang di tangan ibunya. Tanpa ragu, ia mengambil satu dan mulai memakannya dengan lahap.
Sartika tersenyum tipis, meski hatinya tetap sesak. Ini bukan makanan yang layak untuk anaknya, hanya sekadar mengganjal perut. Sampai kapan mereka harus hidup seperti ini?
Ia melirik Malik yang masih duduk bersandar di dinding, menatap Dinda dengan tatapan kosong. Tidak ada rasa bersalah di wajahnya, tidak ada inisiatif untuk berkata apa pun.
Sartika menghela napas panjang. Ia tak bisa terus begini.
Pikirannya kembali melayang pada tawaran Sri.
Mungkin... memang sudah waktunya.