Lintang Anastasya, gadis yang bekerja sebagai karyawan itu terpaksa menikah dengan Yudha Anggara atas desakan anak Yudha yang bernama Lion Anggara.
Yudha yang berstatus duda sangat mencintai Lintang yang mengurus anaknya dengan baik dan mau menjadi istrinya. Meskipun gadis itu terus mengutarakan kebenciannya pada sang suami, tak menyurutkan cinta Yudha yang sangat besar.
Kenapa Lintang sangat membenci Yudha?
Ada apa di masa lalu mereka?
Apakah Yudha mampu meluluhkan hati Lintang yang sekeras batu dengan cinta tulus yang ia miliki?
Simak selengkapnya hanya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Anggara?
Lintang tak pernah lelah menengadahkan tangan dihadapan sang Ilahi Robbi. Tidak ada yang ia minta selain kesembuhan sang ibu yang sudah lama terhanyut dalam dunia hampa. Jiwanya kosong tanpa arah. Hidup ini seakan hanyalah sekedar bernapas. Terkadang ia pun bosan meminta, seakan-akan menjadi makhluk yang paling lemah dan tidak berdaya. Namun, keadaan memaksakan dirinya untuk terus melakukan itu.
Lintang mengusap air matanya yang membasahi pipi. Terdengar suara ketukan pintu dari luar membuatnya terhenyak. Segera melepas mukena dan melipatnya lalu membuka pintu.
Ternyata Mbak Luna dan Mas Arif yang datang. Seperti biasa, mereka membawa makanan untuk Lintang dan ibunya.
"Jangan repot-repot, Mbak. Tadi aku sudah masak kok, lagi pula Ibu juga sudah tidur."
Luna meletakkan makannya di meja, menghampiri kamar Bu Fatimah yang sedikit terbuka, benar saja wanita tua itu sudah terlelap dengan nafas yang teratur.
"Ini cuma makanan ringan, bisa dimakan besok," jawab Luna kembali ke arah ruang tamu.
"Dari kapan ibu kamu tidur?" tanya Luna. Sebab, setelah kejadian tadi siang ia baru menjenguknya lagi saat ini dikarenakan pergi dengan suaminya.
"Sudah dari Maghrib, Mbak. Biasanya kalau sudah mengamuk dia akan bangun pagi. Sekali lagi maaf ya, Mbak, Mas, ibu sangat mengganggu."
Lagi-lagi Lintang minta maaf atas nama ibunya. Beruntung tetangga dekatnya hanya Luna dan Arif, mungkin jika rumahnya berada di tengah-tengah masyarakat yang padat, Lintang sudah diusir karena ulah ibunya yang sering teriak marah.
"Nggak papa," jawab Arif memaklumi.
"Lin, apa kamu tidak ingin menikah?''
Lintang menatap Luna dan Arif bergantian. Bagaimana bisa mereka bicara seperti itu? Menikah, bukankah itu sesuatu yang berat mengingat kondisi ibunya.
"Maaf, bukan maksudku menyinggung kamu, tapi kamu butuh pasangan untuk merawat ibu kamu," ralat Luna lagi.
Lintang tersenyum kecut. Meskipun menikah adalah impian setiap orang, termasuk dirinya, ia harus berpikir seribu kali jika jodohnya datang. Pasalnya, seringkali ia mempunyai teman dekat, namun mereka sering menjauh setelah melihat keadaan ibunya yang tak waras.
"Apa ada orang yang mau menerima ibuku dengan tulus, Mbak. Aku miskin, dulu sewaktu aku masih punya orang tua lengkap saja keluargaku ditolak. Apalagi sekarang, hanya ibu yang aku punya, dan aku berjanji tidak akan menikah jika laki-laki itu tidak mau merawat ibuku."
Bahkan Lintang tidak pernah berani mengungkapkan isi hatinya pada pria yang ia suka jika mengingat ibunya. Bukan karena malu, tapi Lintang takut ibunya akan menjadi bahan olokan di depan semua orang.
"Apa kamu tahu keberadaan ayahmu?"
Mata Lintang digenangi cairan bening. Mengingat terakhir kali ia datang ke rumah ayahnya yang lumayan mewah. Namun, ia bagaikan pengemis yang diusir dengan cara tidak hormat. Dituding memperalat kondisi ibunya untuk meminta uang. Sakit tak berdarah, namun catu itu tak akan bisa sembuh meskipun waktu terus berputar.
"Waktu wisuda aku datang ke rumah ayah, tapi dia malah mengusirku. Disaat itu aku berjanji tidak akan datang lagi. Dan aku akan buktikan padanya kalau aku bisa hidup tanpa bantuan dia."
Luna merengkuh tubuh Lintang. Menyalurkan kekuatan pada gadis itu untuk tetap tegar. Seandainya ia yang berada di posisi Lintang, mungkin tidak akan sanggup menjalani itu semua.
Penderitaan ternyata tak membuat Lintang terpuruk, justru lebih semangat. Apa lagi saat ini ia mulai menabung untuk biaya ibunya berobat.
"Maaf ya, Lin. Kami hanya bisa bantu doa," ucap Arif.
"Nggak papa, Mas. Kalian adalah tetangga yang paling baik. Aku juga berjanji, seandainya nanti aku jadi orang kaya, kalian akan aku traktir sepuasnya."
Semua tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Lintang.
Malam semakin larut, Luna dan Arif pamit pulang. Lintang mengunci pintunya, menyimpan makanan pemberian Luna lalu ke kamar. Duduk di tepi ranjang saat bayangan wajah tampan yang lucu itu melintas di otaknya.
Nama lengkap tante siapa, namaku Lion Anggara.
Deg
Jantung Lintang berdetak dengan kencang.
"Lion Anggara, kenapa namanya mirip sekali dengan perusahaan itu, apa jangan-jangan dia anak pemilik tempat itu?" terka nya.
Baru tujuh bulan bekerja, Lintang belum tahu seluk beluk pemilik tempatnya bekerja, yang ia tahu bos nya adalah pak Setiawan dan orang-orang yang ada di lantai sepuluh, sedangkan perusahaan itu berlantai empat puluh.
Anggara, tiba-tiba nama itu pun tak asing di telinganya, namun Lintang masih lupa siapa gerangan itu.
Membaringkan tubuhnya, matanya menatap langit-langit yang sudah lapuk. Pikirannya semakin tak tenang, nama itu seperti terpahat di dahinya yang tak akan pernah dilupakan.
Lintang mengacak rambutnya. Menutup wajahnya menggunakan bantal lalu mencoba memejamkan mata, berharap besok bisa mengingat siapa itu.
Anggara Anggara Anggara
Seketika Lintang membulatkan mata. Menelan ludahnya dengan sudah patah. Seluruh tubuhnya membeku dengan wajah memerah.
"Anggara, apa jangan-jangan dia yang sudah membuat ibu seperti ini. Apa Anggara adalah orang yang membuat keluargaku pecah belah. Apa mereka adalah orang sama. Atau satu keturunan."
Dada Lintang meletup-letup. Keringat dingin bercucuran menembus pori-pori, kebencian yang pernah ia pendam. Kini membuncah di ubun-ubun. Nama yang memberikan masa lalu pahit. Menggores luka dalam itu kembali muncul bersama hadirnya sosok Lion.
Apakah Lintang akan berhubungan pada orang yang sama lagi?
Semoga saja hanya nama mereka yang sama. Demi Allah, aku tidak ingin melihat wajahnya lagi.
Lintang meringkuk, mengusir rasa gelisah yang menyeruak. Berdoa berkali-kali untuk melupakan orang yang sudah kejam padanya dan sang ibu.
Di sisi lain
Lion terus merengek membuat mbak Mimah ikut menangis. Yudha datang dan menggendong nya. Mengajaknya keluarga menikmati bintang yang berkelip. Namun, itu tak menyurutkan permintaan Lion yang ingin bertemu dengan Natalie.
"Lion tadi main sama siapa di kantor?"
Bu Indri datang dan mengambil alih cucunya. Ia yang paling antusias untuk membuat Lion lupa pada wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan menantunya.
"Tante cantik, dia baik Oma, mau menceritakan dongeng untukku, tidak seperti mama yang sibuk terus," ucap Lion dengan polos.
Bu Indri melirik Yudha yang masih memijat pangkal hidungnya. Mungkin bingung dengan permintaan Lion yang terus mendesak.
"Lion mau bertemu tante cantik lagi?" tanya Bu Indri asal.
Lion mengangguk kegirangan. Melorot turun lalu melompat-lompat sambil berteriak hore yang membuat Yudha tersenyum tipis.
Mimah bersama yang lainnya ikut menghampiri Lion yang nampak tenang.
"Pa, besok aku ikut papa bertemu tante cantik." Mendongak, menatap wajah tampan papanya.
Yudha menatap mamanya dan mengangkat bahu. Namun, demi menghibur putranya terpaksa ia mengangguk.
"Baiklah, besok papa akan bawa tante cantik pulang."
"Janji adalah hutang, jadi kamu harus tepati," sahut Bu Indri yang tak kalah senang dengan ucapan Yudha.
"Bercanda, Ma."
🤡 lawak kali kau thor