Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Kafe Biru
Marsha berjalan malas sembari menenteng sepatu runcingnya di teras rumah Abraham.
Waktu sudah menunjukkan waktu lewat tengah malam.
Seorang asisten rumah tangga berjalan dengan mata sedikit terpejam ingin membukakan pintu.
"Bi, biar saya yang buka pintunya," sergah Joseph.
Entah apa yang pria itu rasakan, ia seperti tahu jika Marsha yang datang.
Wajah Joseph terkejut saat melihat kondisi Marsha yang acak-acakan.
Matanya menelusuri dari rambut hingga kaki perempuan cantik yang kini menjadi kakak iparnya itu.
"Marsha," panggilnya dengan ekspresi panik.
"Terimakasih sudah membukakan pintu," sahut Marsha irit kata.
"Kamu kenapa, Sya?" tanya Joey panik.
"Pak Joey, sebaiknya kita bicara besok saja di kafe biru jam dua siang," kata Marsha, cepat.
Tak lama kemudian Giorgio menyusul di belakang Marsha.
Kini Joseph mengerti, kenapa Marsha sampai berbisik cepat, rupanya gadis itu selalu diikuti ke manapun perginya oleh sang suami.
Joseph mengernyit.
"Malam banget, Ko? Tadi Mama sama Papa nungguin," cetus Joseph kemudian berlalu meninggalkan tempat.
Giorgio menghela napas berat, menatap tubuh adiknya yang kian menjauh.
Setelah itu, Giorgio pergi menyusul Marsha yang masih mematung dan bersandar di ambang anak tangga.
"Naik, atau kugendong? Kamarku di atas," ejek Gio.
Wajar saja Marsha menunggu, ini adalah pertama kalinya ia tidur di keluarga Abraham setelah menikah.
Marsha langsung berjalan setengah berlari menaiki anak tangga.
***
pagi itu berbeda dengan hati biasanya, Marsha bangun lebih awal dari semua penghuni rumah.
Erika, kakak pertama Giorgio dan Joseph langsung terkejut saat menemukan Marsha sedang sibuk menyiapkan sarapan bersama beberapa asisten rumah itu.
"Pagi, Sya. Loh sudah di sini aja. Kapan sampai? Semalam Mama dan Papa nungguin, katanya mau ngobrol sama kalian berdua," cetus sekaligus sapa Erika pagi itu.
Perempuan yang memiliki raut wajah mirip Joseph itu mulai berjalan mendekat dan melihat masakan Marsha.
"Tengah malam, Ce. Mas Gio ngajak ke Vila. Maklum pengantin baru," pungkas Marsha irit kata.
Anehnya, bukannya menjawab, Erika justru mengerutkan keningnya. Seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan Marsha.
Hingga akhirnya, matanya menelusuri dan terhenti pada leher jenjang Marsha. Ada jejak tanda merah tersebar yang lumayan banyak di sana.
"Sya, itu kelakuan Gio?" tanya Erika masih tak percaya.
Marsha seketika refleks menyentuh lehernya sendiri lalu meunduk malu, diiringi dengan anggukan pelan.
Setelah itu, Erika tersenyum. "Wah bakal punya ponakan dong sebentar lagi. Hebat dong kamu, dia itu dari dulu gak pernah dekat sama perempuan manapun loh. Laki-laki sih banyak."
Erika terus mengobrol, hingga ia lupa kalau Joseph beserta kedua orangtuanya mendekat, sementara itu ... Giorgio juga berjalan santai menuruni anak tangga.
Tak ada ekspresi terkejut yang ditunjukkan Marsha, atas pernyataan Erika yang kurang mengenakkan.
"Rajin banget sih, masak buat suami. Makasih, Sayang." Gio langsung memeluk mars dari arah belakang, ia bahkan mendaratkan ciuman di tengkuk gadis itu tanpa peduli banyak mata yang menatap.
Marsha menghela napas berat. Lalu ia berusaha mengurai kungkungan kuat tangan Gio.
"Banyak orang, Mas," sergahnya.
Dan di saat itu, Joseph menangkap sesuatu yang tak beres telah terjadi di antara Giorgio dan Marsha.
"Kenapa hal gini aja kamu harus malu sih. Kita sudah menikah, Sya," kata Giorgio.
Lalu kemudian pria itu menyeret salah satu kursi yang letaknya tepat di sebelahnya. Sambil menepuk kursi beberapa kali, ia memberikan isyarat agar Marsha mau duduk di sebelahnya.
Gadis itu tak banyak bicara. Ia berjalan cepat dan duduk.
Semua keluarga akhirnya memulai sarapan paginya. Marsha yang sok paham, hanya memberikan Giorgio telur rebus dan buah. Pria itu terkekeh.
"Kenapa? Salah?" tanya Marsha, Gio menggeleng cepat.
"Aku biasanya cuma minum air putih, Sya. Terus olahraga."
Senyuman menawan akhirnya terbit dari bibir Gio. Sungguh, seluruh keluarga tak percaya melihat anak laki-laki pertama mereka bisa secinta ini dengan seorang wanita.
Padahal yang mereka tahu, putranya dirumorkan sebagai pecinta sesama. Menyesakkan, memang.
Pagi itu, permintaan penting dari mama dan papa Gio diungkapkan. Mereka ingin, Marsha dan Giorgio tetap tinggal bersama di sana, bukan tanpa alasan, tetapi mereka masih meragukan kebenaran hubungan pernikahan Marsha dan Giorgio.
"Gio, kamu boleh pindah ke rumah yang kamu beli sendiri, kalau istri kamu sudah hamil," cetus Tuan Abraham.
Mendengarnya, terasa seperti tamparan keras bagi Marsha.
Namun, tidak bagi seluruh anggota keluarga lainnya.
"Ok, Pa. Tenang aja, aku setuju," sahut Gio. Seperti biasa, ia selalu santai dalam bersikap.
Tatapan seluruh keluarga akhirnya tertuju pada Marsha, menyadari itu ia langsung mengangguk tanpa bicara.
Kemudian, saat melanjutkan sarapan, Joseph benar-benar terganggu dengan pemandangan di depan matanya.
Ia terkejut melihat ada banyak bercak di leher Marsha.
"Ko Gio, gila ya! Marsha bisa malu ketemu banyak orang!" teriaknya sedikit marah.
Namun, reaksi Tuan Abraham dan istrinya justru terlihat senang.
"Joseph, kamu cari istri baru. Gak perlu ganggu mereka!" tandas Tuan Abraham.
Terjadi ketegangan di meja makan pagi itu.
***
–Kafe Biru–
Pukul 14.00 wib
Siang hari.
Marsha sudah duduk menunggu, ia memilih menu sambil membaca novel miliknya. Hingga akhirnya, seseorang datang dengan aroma parfum oud rouge ciri khasnya.
Pria itu menyodorkan paper bag dengan kemasan mewah berwarna merah. Beberapa kotak parfum oud rouge isinya.
"Buat kamu, Sya," ungkapnya.
Marsha langsung mengangkat wajahnya. Is langsung menghentikan aktivitasnya dan meraih barang yang diberikan oleh Joseph untuknya.
"Terimakasih banyak, Pak Joey. Seharusnya tidak perlu repot."
Joseph tertegun. Siapa sangka meski statusnya berubah menjadadik ipar, tetapi Marsha tetap memanggilnya seperti itu.
"Sekarang aku ini adik ipar kamu, Sya. Boleh kok kamu panggil, Joey. Gak perlu Pak Joey, atau Pak Joseph lagi," terangnya sambil mebgulas senyuman.
Marsha belum memberikan reaksi, tetapi ia harus dikejutkan oleh jemari Joseph yang mengelus anak rambut Marsha dan menyelipkan ke arah belakang telinga.
"Begini, kamu lebih cantik. Wajah kamu tertutup rambut. Ummm ... gimana kabar kamu? Apakah ko Gio, cukup merepotkan?" Joey, penasaran.
Marsha mengangguk, jawabannya seolah ambigu. Membuat sebelah alis Joey terangkat karena bingung.
"Dia tidak menyentuhku," ungkap Marsha.
Entah Joseph harus bahagia, atau tidak mendengar semua itu. Tetapi yang jelas ia benar-benar terkejut sekaligus tidak percaya.
"Lalu, tanda merah di lehermu?" tanyanya penasaran.
"Ya, dia yang melakukan. Tapi tidak lebih," jawab Marsha ragu.
Kemudian, senyuman dari bibir Joseph tersungging sempurna.
"Semua sudah tahu kalau kakakku itu bukan pria normal, Sya. Jangan cemas, perasaan kita masih sama bukan? Aku janji akan nikahi kamu kalau dia sampai main-main dan ceraikan kamu," tutur Joey.
Biasanya, mendengar pengakuan yang seperti itu dari bibir Joey, pria yang disukainya Marsha akan senang. Tapi kali ini berbeda. Ada rasa nyeri di ulu hati Marsha.
Ia bahkan melepaskan tangan Joey yang semula menggenggam telapak tangannya.
Seketika senyuman di wajah Joey pun memudar.
Ada apa dengan Marsha?
Bersambung....