Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 – Luka yang Kembali Terbuka
Bab 32 – Luka yang Kembali Terbuka
"Calvin… bisa antar ke rumah dosen bimbinganku?" tanya Alya pelan di dalam mobil, suaranya terdengar lembut namun mengandung tekanan tak kasat mata.
Calvin menoleh sebentar. Matanya menyipit seolah ingin memastikan ia tak salah dengar. "Sekarang?"
Alya mengangguk. "Iya. Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Nggak lama, kok."
Tanpa banyak bicara, Calvin menyalakan mesin mobilnya. Ia memang tak pandai mengekspresikan perasaan, tapi ada sesuatu dalam tatapan Alya yang membuatnya tak bisa menolak. Gadis itu terlihat lebih lelah dari biasanya, dan mungkin… ia hanya butuh ditemani.
Mobil melaju melewati jalanan kota yang mulai ramai. Tapi semakin dekat dengan tujuan, napas Calvin terasa berat. Jantungnya berdegup kencang tanpa alasan jelas. Tangan kirinya menggenggam setir erat-erat hingga buku jarinya memutih. Dahi mulai mengeluarkan butiran keringat dingin.
"Ada yang salah?" tanya Alya, meliriknya.
Calvin hanya menggeleng. Tapi hatinya seperti mencicit ketakutan. Ada sesuatu dalam alamat yang diberikan Alya—jalan itu terasa begitu familiar, begitu asing sekaligus menakutkan.
Saat mereka tiba di depan sebuah rumah minimalis dengan pagar besi berwarna abu-abu, tubuh Calvin terasa kaku. Jari-jarinya gemetar saat mematikan mesin mobil.
"Ayo?" ajak Alya ringan.
Namun Calvin tak langsung turun. Pandangannya terpaku pada halaman rumah itu. Tanaman bunga kertas yang menjuntai di pagar. Kursi kayu di teras. Tangga semen kecil yang sedikit retak. Semuanya… sama persis seperti dalam kenangannya.
Kenangan yang telah ia kubur dalam-dalam bertahun-tahun lalu.
Alya mengetuk pagar ringan. "Ibu Lani!" serunya pelan.
Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar dari dalam. Lalu pintu terbuka perlahan.
Dan saat itu… waktu seperti berhenti bagi Calvin.
Gadis itu. Wanita yang kini berdiri di ambang pintu dengan senyum hangat, mengenakan blus sederhana dan rok selutut.
Dada Calvin seperti ditabrak ribuan palu. Napasnya tercekat. Ia bahkan nyaris tak bisa berdiri tegak. Tangan gemetarnya menggenggam kuat pagar besi untuk menahan dirinya agar tidak jatuh.
Dia… gadis kecil itu.
Gadis kecil yang menjadi korban bersama dirinya di usia 10 tahun. Gadis yang pernah dipaksa oleh Ronald—abang kandungnya sendiri—untuk menjadi pemuas nafsu. Gadis yang dulu menjerit ketakutan di sudut ruangan gelap, sama seperti dirinya.
Seketika semuanya berputar kembali.
Tangisan. Jeritan. Genggaman tangan kakaknya yang kuat. Ketakutan. Malu. Luka yang tak bisa dihapus oleh waktu.
"Kamu Alya, ya?" tanya wanita itu sambil tersenyum, memecah keheningan.
Alya mengangguk. "Iya, Bu Lani. Saya mahasiswa bimbingan Ibu. Mau tanya sedikit soal revisi proposal."
Bu Lani mengangguk ramah. "Masuk saja."
Mereka pun masuk. Calvin melangkah pelan, hampir tak sanggup. Kakinya seolah tertahan oleh bayang-bayang masa lalu yang membelenggunya.
Namun anehnya… perempuan itu tidak menunjukkan tanda-tanda mengenal Calvin. Tidak ada perubahan ekspresi. Tidak ada ketegangan. Seolah-olah… Calvin hanyalah orang asing.
Itu yang membuat dadanya semakin sesak.
Apakah dia benar-benar lupa?
Atau dia memilih untuk tidak mengingat?
Mereka duduk di ruang tamu. Alya mulai membuka berkas proposal dan mengajukan beberapa pertanyaan. Sementara Calvin duduk di sudut sofa, diam membatu. Matanya kosong, tapi seluruh tubuhnya bergetar pelan.
Tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita itu—ke arah Bu Lani. Nama barunya. Dulu bukan itu namanya. Tapi wajah itu… sorot mata itu… tidak mungkin salah.
Perempuan itu begitu tenang saat menjawab pertanyaan Alya. Seakan hidupnya baik-baik saja. Tidak ada luka. Tidak ada trauma. Sementara Calvin… masih terkunci dalam jerat masa lalu yang belum pernah bisa ia lepaskan.
"Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Bu Lani ramah setelah Alya selesai mencatat.
"Tidak, Bu. Terima kasih banyak."
"Calvin," panggil Alya, menoleh ke arah lelaki itu yang belum mengucap sepatah kata pun sejak mereka masuk.
Calvin berdiri pelan. Kakinya nyaris goyah, tetapi ia berusaha tetap terlihat normal. Ia mengangguk sekilas ke arah Bu Lani.
Namun tepat ketika ia hendak melangkah keluar, wanita itu menatapnya sejenak. Tatapannya samar… tapi menusuk. Lalu berkata pelan, "Maaf, kita pernah bertemu sebelumnya?"
Calvin tercekat. Nafasnya tertahan.
Dia ingat…
Wanita itu memang belum sepenuhnya lupa.
Tapi mungkin… dia memilih untuk tidak mengingat semuanya dengan utuh.
Dengan suara yang nyaris bergetar, Calvin hanya menjawab, "Mungkin."
Senyum Bu Lani mengambang. Tidak ada respons lebih. Tapi sorot matanya sedikit berubah. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—entah rasa kecewa, entah luka yang juga ingin ia tutupi seperti Calvin.
Dalam perjalanan pulang, Alya melirik Calvin beberapa kali. Lelaki itu tak berkata apa-apa. Matanya menatap lurus ke depan, tapi wajahnya pucat dan gelisah.
"Ada yang mau di omongin?" tanya Alya akhirnya.
Calvin menggenggam kemudi lebih erat. "Nggak."
"Aku tahu kamu bukan tipe orang yang suka bicara… tapi kamu nggak bisa terus-terusan memendam semuanya, Cal."
Calvin mengerem mobil pelan saat lampu merah menyala. Ia menatap lurus ke depan. "Beberapa luka… nggak semua harus diceritakan."
Alya menggigit bibirnya. Ia tahu… sesuatu terjadi. Sesuatu yang membuat Calvin benar-benar terguncang. Tapi ia tak ingin memaksa. Ia hanya ingin lelaki itu tahu… bahwa dia tidak sendirian.
Dan dalam hati kecilnya… Calvin pun tahu, pertemuan hari ini telah membuka luka lama yang bahkan tak pernah benar-benar sembuh. Luka yang mungkin akan terus membekas… selamanya.