Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 05 - Kualat?
Suara Bagaskara terdengar datar, dingin, tapi penuh penekanan hingga membuat Aliya terdiam membisu.
Tanpa menunggu jawaban, jemari pria itu bergerak cepat. Dengan hanya satu tangan, Bagaskara mengancingkan kembali satu per satu kancing piyama Aliya.
Gerakannya sedikit kasar, tidak lembut sama sekali, seolah hanya ingin menutupi bagian tubuh wanita itu tanpa peduli rasa malu yang menyertainya.
Aliya menunduk dalam-dalam, wajahnya merah padam. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang makin tak terkendali, sekaligus rasa perih karena merasa begitu ceroboh.
Matanya menatap jemari Bagaskara yang bergerak tegas, begitu mudah menutup apa yang tak seharusnya terbuka.
Entah kenapa, di tengah rasa malunya, ada getaran lain yang membuat Aliya makin sulit bernapas.
Bagaskara mungkin terluka parah, tapi tetap saja dia begitu mendominasi, begitu tegas, dan Aliya lagi-lagi tidak bisa mengelak dari perasaan yang semakin menjerat dirinya.
"A-aku nggak sadar, tadi panik karena Kak Jendra bilang, Kakak parah."
Aliya terbata-bata membela diri. Wajahnya memerah, mata membesar dengan penuh rasa bersalah.
Jujur saja, dia tidak menyadari sama sekali kalau kancing piyamanya sempat terbuka hingga memperlihatkan bagian tubuhnya yang seharusnya tertutup rapat.
Sungguh memalukan, apalagi saat itu dirinya tengah sibuk menenangkan hati yang panik.
Hening sejenak menyelimuti ruangan. Hanya suara detak jarum jam dinding dan tarikan napas mereka berdua yang terdengar.
Bagaskara, dengan wajah letih dan tatapan dingin khasnya, tampak tidak terlalu peduli dengan alasan Aliya.
Dia hanya membaringkan diri lebih nyaman di ranjang rumah sakit, menarik selimut hingga sebatas perut, lalu memejamkan mata seolah ingin mengabaikan segala keributan yang baru saja terjadi.
Sikap cuek dan dinginnya memang sudah jadi kebiasaan. Tapi meski begitu, Aliya tidak pernah surut niat untuk tetap memperhatikannya.
Ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong kuat, rasa tulus yang tak bisa dihalangi oleh sikap Bagaskara yang dingin sekalipun.
"Oh iya, Kakak belum jawab ... kenapa bisa sampai dilarikan ke rumah sakit?" Suara Aliya memecah hening, penuh nada khawatir.
"Ketabrak," jawab Bagaskara singkat.
Suaranya datar, seolah itu hanya perkara sepele. Matanya bahkan enggan menatap Aliya, melainkan tetap menatap ke arah langit-langit.
Jawaban itu sukses membuat dada Aliya berdebar kencang. Rasa cemas semakin melingkupi pikirannya.
"Ketabrak? Kok bisa? Kakak ke mana memangnya?" tanyanya cepat, suaranya bergetar menahan takut.
Bagaskara tidak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang, menahannya sesaat, lalu melepaskannya perlahan.
"Entahlah, mungkin lagi sial saja," ucapnya datar, seakan tidak ingin memperpanjang pembicaraan.
Aliya menautkan alis, tidak puas dengan jawaban setengah hati itu. "Sial? Sial gimana? Maksudnya Kakak ketabrak karena tabrak lari? Atau ... atau jangan-jangan Kakak sengaja nabrakin diri sendiri?"
Pertanyaan itu sontak membuat Bagaskara mendengus. Kepalanya terasa makin berat dengan semua rasa sakit bercampur lelah.
Dia sampai harus mengembuskan napas kasar, tanda bahwa dia benar-benar tidak ingin digiring ke arah pertanyaan konyol semacam itu.
"Orang waras mana yang sengaja menabrakkan diri aku tanya?" balas Bagaskara, nada suaranya meninggi sedikit.
Aliya yang mendengarnya menggigit bibir bawahnya. "Ya ... siapa tahu, bisa jadi, ‘kan?" jawabnya pelan, mencoba berdalih walau sebenarnya sadar kalau pertanyaannya memang kelewat konyol.
Sejenak, Bagaskara memalingkan wajahnya. Dia enggan menatap Aliya lagi. Kehadiran gadis itu entah kenapa malah membuat pikirannya semakin kacau, seolah luka yang ada di tubuhnya semakin terasa nyeri hanya karena Aliya berada di sisinya.
"Tabrak lari," akhirnya ia menjawab pendek.
"Di mana? Bisa ceritain kronologinya?" Aliya terus menekan, matanya menatap penuh rasa ingin tahu sekaligus khawatir.
Bagaskara mendesah lelah. Jujur, malas sekali rasanya harus menceritakan hal itu. Kejadian tadi benar-benar membuatnya terkejut.
Saat baru saja turun dari mobil dengan maksud membeli rokok di supermarket terdekat, sebuah motor melaju tak terkendali dan menghantam tubuhnya dengan keras.
Tubuhnya sempat terpental cukup jauh hingga nyaris saja masuk ke jalur mobil lain yang tengah melaju.
Andai sepersekian detik saja terlambat, mungkin sekarang dia tidak lagi berbaring di ranjang rumah sakit, melainkan sudah terbaring kaku tanpa nyawa.
Sungguh Bagaskara tidak menduga bahwa niatnya untuk sedikit menjauh dari Aliya beberapa saat justru nyaris berubah membuatnya semakin dekat dengan Sang Pencipta.
Bahkan, di titik dia merasakan rasa sakit yang tadi menyiksanya, pria itu sempat membatin. "Apa mungkin kualat karena berniat meninggalkan istri di malam pertama mereka?"
.
.
"Nanti saja ya, aku lelah," ujar Bagaskara pada akhirnya, memilih menghentikan pembicaraan.
Aliya menahan helaan napas, lalu mengangguk dengan tulus. "Ya sudah, tidak apa-apa. Lain kali saja ... aku akan menunggu sampai Kakak punya tenaga untuk cerita."
Bagaskara tidak menanggapi panjang lebar. Dia hanya menganggukkan kepala kecil, membiarkan hening kembali merayapi ruangan.
Aliya mengisi kekosongan dengan melirik sekeliling, mencoba menenangkan hati yang masih dicekam khawatir.
Sementara itu, Bagaskara sesekali mencuri pandang padanya lewat ekor mata. Dia sendiri tidak tahu kenapa, tapi ada rasa hangat yang perlahan muncul hanya dengan melihat gadis itu masih setia berada di sisi.
"Ehm ...." Suara lirih hampir bersamaan keluar dari mulut mereka.
"Oh iya!!!"
Kedua insan itu akhirnya bersuara nyaring di saat yang sama. Mereka pun saling menatap dan tanpa sadar tersenyum tipis.
"Kamu duluan," ucap Bagaskara datar, meski ada nada berbeda di balik suaranya.
"Kakak saja," balas Aliya cepat, memberi kesempatan. Senyum hangatnya begitu tulus, seolah dia memang benar-benar ingin mendengar apa pun yang ingin Bagaskara katakan.
Bagaskara sempat mengerjap pelan, memandang Aliya beberapa detik lebih lama dari biasanya. "Kamu sudah makan?" tanya Bagas biasa saja, tapi di telinga Aliya jelas berbeda.
Bahkan, dia sampai spontan tersenyum. "Ehm, sudah!! Tadi aku panggil room service ... aku pesan beberapa menu, buat Kakak juga sebenarnya sudah aku pesankan, tapi berhubung Kakak nggak balik-balik, ya aku makan duluan. Maaf ya."
Nada lembutnya, cara dia meminta maaf, dan ketulusan yang begitu terasa membuat Bagaskara tertegun. Ada sesuatu yang menggerakkan sudut bibirnya, meski hanya sekelebat rasa yang tidak biasa.
"Untukku?" tanyanya pelan, seperti memastikan.
"Iya," jawab Aliya mantap. "Mau aku bawakan ke sini? Masih enak kalau dimakan sekarang, Kak."
"Tidak usah, biar saja di sana." Bagaskara menolak dengan cepat, lalu kembali menatap Aliya. "Kamu tadi mau bicara apa?"
Aliya mengerjap, bingung. "Aduh apa ya?" gumamnya sembari mengusap pelipis. Dia benar-benar mendadak lupa.
"Hem, apa?" Bagaskara mendesak, kali ini dengan nada lebih ringan.
"Bentar, Kak ... aku lupa. Tadi mau ngomong apa sih? Eh, malah grogi ... bentar aku ingat-ingat dulu," ucap Aliya jujur, wajahnya memerah karena malu.
Dan tanpa diduga, pengakuan sederhana itu justru sukses membuat Bagaskara tersenyum tipis, tipis sekali, bahkan nyaris tak terlihat.
.
.
- To Be Continued -
...Satu eps lagi, ramaikan kolom komentarnya jika kalian suka dengan kisah mereka wahai penduduk bumi ~...
jangan sampai ada lelaki lain yang menyayangi aliya melebihi kamu, bagas
Kagak tauu ape, duo makhluk itu lagi kasmaran 😆..
Elu jadi saksi bisuuuu, gitu aja kagak paham, ngiri yaaa 😆...
So selirih apapun suaramu selama tidak memakai bahasa kalbu Bagas bakalan dengar 😅..
Lain kali hati-hati ngomongnya apalagi kalau mau bully Bagas 😆✌...