Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Menggapai Langit Pertama
Jiang Shen duduk bersila di sebuah tanah lapang yang agak terbuka, meski pepohonan raksasa hutan Yulong masih menutupi sebagian besar langit.
Cahaya matahari yang menembus celah daun jatuh tepat ke tubuhnya, membuat kulitnya terasa hangat. Ingatan warisan Sesepuh Hun Zhen berputar jelas di kepalanya, terutama mengenai teknik kultivasi yang disebut Melahap Matahari.
Ia menarik napas panjang, memejamkan mata, dan mulai mengikuti pola pernapasan yang diajarkan dalam ingatan itu.
Udara di sekitarnya seolah bergetar, dan sinar matahari yang menembus dedaunan perlahan-lahan terserap ke dalam tubuhnya. Rasa panas menjalar di setiap meridian, kadang perih, kadang seperti terbakar, namun Jiang Shen menggertakkan giginya dan bertahan.
“Jika aku ingin menjadi kuat … aku harus menanggung semua rasa sakit ini,” pikirnya.
Sekitar satu jam penuh, keringat deras bercucuran, wajahnya pucat, dan tubuhnya gemetar menahan rasa sakit yang menusuk. Namun tepat di detik berikutnya, terdengar suara samar di dalam tubuhnya—seperti saluran air yang tersumbat lalu pecah terbuka. Meridian pertamanya terbuka!
Tubuhnya segera diselimuti energi hangat. Namun, bersama dengan itu, kotoran hitam pekat yang berbau busuk keluar dari pori-porinya. Itu adalah kotoran tubuh, sisa-sisa kotoran yang menumpuk bertahun-tahun di dalam meridian yang tertutup.
Jiang Shen terengah-engah, hampir ingin muntah karena baunya begitu menyengat. Tapi di balik rasa jijik itu, ada kebahagiaan yang sulit dijelaskan.
Ia berhasil.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia berhasil menapaki langkah awal dalam jalan kultivasi sejati dan secara resmi menjadi seorang pendekar kultivator di ranah Kondensasi Qi level 1.
Segera setelah itu, ia bergegas ke sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari tempatnya. Airnya jernih dan dingin. Jiang Shen menceburkan diri, menggosok tubuhnya berulang-ulang hingga bau busuk itu hilang sama sekali. Rasa segar menjalari dirinya, seakan lahir kembali.
Setelah membersihkan diri, perutnya yang kosong mulai protes. Ia pun memutuskan untuk berburu ikan di sungai tersebut. Dengan ranting runcing seadanya, ia menusuk seekor ikan besar yang berenang di dekat batu.
Tidak lama kemudian, dua ekor ikan seukuran lengan sudah ditangkapnya. Jiang Shen memanggangnya di atas api kecil yang ia buat dari ranting kering. Aroma ikan bakar menyebar, membuatnya tersenyum puas untuk pertama kalinya sejak semua kejadian tragis itu menimpanya.
Malam itu, Jiang Shen duduk sendirian di tepi sungai, memakan hasil buruannya dengan lahap. Meski sederhana, baginya itu adalah santapan paling nikmat sepanjang hidupnya—karena itu adalah bukti bahwa ia masih hidup, dan ia kini sudah berubah.
Di sisi lain, di tempat kafilah dagang yang telah hancur oleh serangan gorila ekor emas, suasana begitu mengenaskan.
Jasad-jasad yang sudah membusuk berserakan, sulit dikenali, bahkan sebagian sudah tidak utuh karena terkoyak. Bau anyir dan busuk bercampur, membuat siapa pun yang melihatnya merasa mual.
Dua sosok berjubah gelap berdiri di antara bangkai gerobak dan tubuh-tubuh yang tak bernyawa. Mereka adalah pengawal bayaran keluarga Wei, dikirim langsung oleh ayah Wei Liang yang khawatir karena putranya belum juga memberi kabar.
Keduanya bukan orang biasa—kultivasi mereka sudah berada di ranah Inti Emas, level yang jauh melampaui para pengawal kafilah yang hanya berada di ranah Pembangunan Fondasi.
“Tidak salah lagi … ini perbuatan gorila ekor emas,” ujar salah satu dari mereka dengan nada berat, menatap bekas cakar raksasa di tanah.
Yang satunya mengangguk. “Tapi aneh. Jalan utama seperti ini biasanya hanya dihuni beast spiritual tingkat 1. Bagaimana mungkin tiba-tiba ada beast spiritual tingkat 3 yang muncul di sini?”
Keduanya saling pandang, sama-sama heran dengan kejanggalan itu. Namun setelah memastikan kondisi sekitar dan melihat tidak ada satu pun tanda kehidupan yang tersisa, mereka hanya bisa menarik napas panjang.
“Sepertinya … tidak ada yang selamat. Kita harus segera kembali dan melaporkan kepada Tuan Wei,” kata yang satu lagi, suaranya berat penuh penyesalan.
Tanpa menunggu lebih lama, keduanya berbalik meninggalkan lokasi pembantaian itu, membawa kabar buruk yang akan mengguncang keluarga besar Wei.
Mereka tidak tahu … bahwa di balik hutan Yulong yang gelap, ada satu pemuda bernama Jiang Shen yang berhasil bertahan dari neraka tersebut dan kini tengah memulai jalannya sebagai kultivator sejati.
...
Jiang Shen menatap hutan Yulong yang sunyi dengan napas berat. Setelah seminggu penuh merawat luka-lukanya dan berhasil membuka meridian pertamanya, ia sadar bahwa pemulihan saja tidak cukup.
Ingatan warisan Hun Zhen yang ia terima berulang kali menegaskan: kultivator sejati harus berani mengasah diri lewat pertarungan hidup dan mati.
Dengan tekad itu, Jiang Shen menebang batang pohon muda yang kokoh menggunakan tenaga tubuhnya. Dari batang tersebut ia memahat kasar sebuah pedang kayu—meski sederhana, bentuknya lurus dengan ujung runcing, cukup untuk dijadikan senjata berlatih. Ia memandang benda itu dalam genggamannya, lalu menghela napas.
“Pedang kayu ini … akan jadi saksi awal jalanku sebagai seorang pendekar kultivator.”
Tak lama setelah itu, Jiang Shen menemukan seekor kelinci bermata merah di semak belukar. Tubuh kelinci itu lebih besar dari kelinci biasa, dengan otot yang padat dan aura liar yang menekan. Dari ingatan warisan, Jiang Shen tahu bahwa kelinci ini termasuk beast spiritual tingkat 1. Cocok untuk ujian pertamanya.
Namun begitu kelinci itu melompat, Jiang Shen langsung sadar bahwa ini tidak akan mudah. Gerakannya cepat, matanya berkilat penuh naluri membunuh. Dengan tubuhnya yang baru saja pulih, Jiang Shen sempat kewalahan. Pedang kayunya hanya mengenai udara kosong, sedangkan kelinci itu berulang kali menyerang balik.
Cakar tajamnya sempat mengenai lengan dan pinggang Jiang Shen, membuat kulitnya robek dan darah mengalir. Nafasnya memburu, namun tatapannya tidak goyah.
“Tidak … aku tidak akan kalah dari seekor kelinci!” desisnya dengan gigi terkatup rapat.
Ia menggenggam pedang kayunya lebih erat, lalu memusatkan Qi spiritual yang tipis di dalam meridian ke arah lengannya. Ingatan warisan Sesepuh Hun Zhen membimbingnya: salurkan Qi ke senjata, biarkan aliran itu menyatu.
Saat ia melakukannya, pedang kayu di tangannya bergetar ringan, seolah mendapat kekuatan baru. Meski sederhana, ujung pedang itu kini memancarkan aura samar. Jiang Shen menunggu dengan sabar, menatap kelinci merah yang bersiap melompat lagi. Begitu hewan itu melesat, Jiang Shen berputar, menebaskan pedang kayunya dengan dorongan penuh Qi.
Suara hantaman keras terdengar. Tebasan itu menancap di tubuh kelinci, menembus kulit kerasnya, hingga darah muncrat ke tanah. Hewan itu berteriak parau, meronta sebentar, lalu terkapar tak bergerak.
Jiang Shen terengah-engah, tubuhnya gemetar, dan wajahnya pucat pasi. Hampir seluruh cadangan Qi spiritual di tubuhnya habis terkuras hanya untuk sekali tebasan itu.
Ia jatuh terduduk di tanah, pedang kayu masih tergenggam erat di tangannya. Pandangannya beralih pada jasad kelinci merah yang kini tergeletak tak bernyawa.
Dari warisan ingatan, ia tahu langkah selanjutnya. Dengan tangan berlumuran darah, ia merobek bagian dada kelinci itu dan menemukan sebuah inti jiwa berbentuk bola kecil mungil berwarna merah samar.
Cahaya dari inti itu berdenyut perlahan, memancarkan energi kehidupan dan Qi spiritual murni. Jiang Shen menggenggamnya erat, merasakan aura itu bergetar di tangannya.
“Tidak disangka pertarungan pertamaku akan sesulit ini,” gumamnya lirih dengan napas tersengal.
Tanpa ragu, ia duduk bersila, meletakkan inti jiwa itu di telapak tangan, dan mulai menyerap energi yang terkandung di dalamnya. Rasa panas menyebar ke seluruh tubuh, memenuhi meridiannya yang baru saja terbuka. Meski masih kasar dan lambat, aliran Qi itu membuat tubuhnya pulih sedikit demi sedikit.
Wajahnya yang pucat mulai mendapatkan warna. Luka-luka kecil di kulitnya terasa lebih ringan, dan cadangan Qi spiritual yang habis kini kembali terisi, meski belum sepenuhnya.
Saat membuka mata, Jiang Shen menatap pedang kayu di sampingnya dengan tatapan penuh tekad. Pertarungan melawan kelinci mata merah hanyalah awal. Ia tahu bahwa di hutan Yulong, ada ratusan bahkan ribuan beast spiritual lain yang lebih berbahaya menantinya.
Namun di hatinya, sebuah keyakinan baru telah tertanam—selama ia bisa bertahan hidup, ia akan menjadi lebih kuat.
MC nya belom mengenal luas nya dunia karena belom berpetualang keluar tempat asal nya,hanya tinggal dikota itu saja
Jangan buat cerita MC nya mudah tergoda pada setiap wanita yg di temui seperti kebanyakan novel2 pada umum nya,cukup 1 wanita.