"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan malam
Setelah berganti pakaian, Anjani kembali turun ke lantai ke bawah. Kini, Aryan dan Luna sepertinya sudah tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Mereka bahkan memamerkan kemesraan mereka secara terang-terangan dihadapan Anjani saat ini.
"Kamu... Kenapa kamu dandan seperti ini?" tanya Luna dengan nada keberatan.
Sepasang matanya tak bisa berkedip melihat penampilan sang kakak tiri. Dress merah ketat semata kaki dengan belahan tinggi hingga ke paha tersebut tampak sangat cocok dengan proporsi tubuh Anjani.
Rambutnya yang dibiarkan tergerai tampak menutupi bagian punggung yang terbuka. Heels berwarna hitam, turut menambah anggun penampilan Anjani malam ini.
Walau hanya memakai riasan tipis, namun kecantikannya tetap saja terpancar dengan kuat.
"Ada yang salah dengan penampilanku?" tanya Anjani.
Luna mendengkus. "Kamu mirip seperti seorang pel@cur."
Mendengar tudingan saudari tirinya, Anjani tampak tersenyum miring. "Setidaknya, aku nggak merebut suami orang lain," balasnya dengan tenang sambil berjalan keluar lebih dulu.
"Kamu..." seru Luna tertahan.
"Sudah!" tegur Aryan. "Ayo kita berangkat!"
Akhirnya, Luna pun terdiam. Dia melangkah dengan kesal menyusul langkah Aryan yang cukup cepat dan lebar.
Tiba diluar, Anjani sudah menunggu mereka sambil bersandar di pintu mobil. Saat melihat Aryan dan Luna, dia pun segera masuk ke bangku penumpang bagian belakang.
Luna yang melihat itu langsung tersenyum penuh kemenangan. Dia pikir, Anjani cukup tahu diri dengan tidak memaksa untuk duduk di depan.
"Kenapa duduk dibelakang?" tegur Aryan.
Sejujurnya, dia berharap jika Anjani yang duduk dibangku bagian depan.
"Kalau bukan di sini, harus dimana? Bukannya, kursiku memang selalu di sini?" balas Anjani.
Aryan tak berkomentar apa-apa lagi. Yang Anjani katakan memang benar. Setiap kali ada Luna, maka Anjani harus mengalah dengan duduk di belakang. Alasannya, karena Luna gampang mabuk darat jika dia yang duduk di bangku belakang.
"Baguslah. Setidaknya, kamu tahu diri," ucap Luna dengan seringai mengejek.
"Majikan memang nggak pernah duduk bersama supir," balas Anjani.
Dan, pasangan kekasih yang sama-sama duduk di bangku depan itu langsung menoleh tak suka.
"Apa?" tanya Anjani saat dirinya dipelototi.
"Kamu menganggap aku sebagai supir?" tanya Aryan.
Anjani menghela tangannya ke udara. "Nggak usah dipermasalahkan. Lebih baik, kita jalan sekarang," ucapnya dengan santai.
Aryan menarik napas panjang. Dia kembali menghadap ke arah depan sambil geleng-geleng kepala.
Anjani yang dia kenal saat ini benar-benar berbeda dengan Anjani yang dulu. Gaya Anjani yang cuek dan masa bodoh membuatnya jadi begitu takjub.
Sepanjang perjalanan, Luna sibuk berceloteh tentang pengalamannya tinggal seatap dengan Aryan di luar kota. Berkali-kali Aryan sudah memperingatkan untuk merahasiakan semua itu. Namun, Luna tak peduli sama sekali dan tetap saja bercerita panjang lebar.
Dia terus pamer kepada Anjani bahkan tak segan memperlihatkan foto mesranya bersama Aryan di beberapa tempat yang pernah mereka kunjungi.
"Sudah! Ku bilang, diam, Luna!" bentak Aryan tak tahan.
Menurutnya, Luna sudah sangat keterlaluan. Gadis itu tidak malu sama sekali untuk membeberkan hal intim yang pernah mereka lakukan dihadapan Anjani.
Dan, parahnya lagi, Anjani sama sekali tidak terlihat marah ataupun cemburu. Sebaliknya, Anjani justru terlihat santai sekali.
"Kak, aku cuma..."
"Aku dan Anjani belum bercerai. Dia masih berstatus sebagai istri sahku. Kamu harus jaga perasaannya, Luna," potong Aryan sambil melirik diam-diam Anjani lewat kaca spion.
Luna menggigit bibir bawahnya. Bentakan Aryan membuat hatinya seketika dilanda gerimis.
Setibanya di kediaman keluarga Djatmiko, Luna langsung menggandeng lengan Aryan untuk masuk. Dia sengaja meninggalkan Anjani di belakang agar saudari tirinya itu merasa sendirian.
"Wah, wah, wah! Hebat sekali! Seorang pelakor semakin berani menampakkan dirinya dihadapan banyak orang," sindir Rieke, adik bungsu Sandi Djatmiko, Ayah kandung Aryan.
"Halo, Tante," sapa Luna dengan ramah.
"Cih!" decih Rieke tak suka. Dia mengabaikan Luna begitu saja. Tatapannya justru tertuju pada perempuan cantik yang berdiri dengan anggun dibelakang Luna dan Aryan.
"Aryan, dia siapa? Sekretarismu?" tanya Rieke penasaran. "Lalu, dimana si gendut itu? Apa dia nggak ikut?" lanjutnya.
Aryan ikut menoleh ke belakang. "Dia Anjani, Tante," jawabnya.
"Anjani?" pekik Rieke tak percaya. Mulutnya menganga dengan lebar. "Kok bisa sekurus dan secantik ini?"
"Aku diet, Tante," timpal Anjani buka suara.
Rieke terkejut untuk yang kedua kalinya. "Astaga... suaranya benar-benar mirip dengan Anjani. Dia.." Ia mencengkram erat pundak Aryan. "... benar-benar Anjani?"
Dan, Aryan pun mengangguk meyakinkan.
"Astaga! Ini benar-benar luar biasa!" puji Rieke dengan takjub. "Anjani, kamu benar-benar cantik."
"Anjani, apa harga dirimu sudah tidak ada lagi? Kenapa kamu membiarkan suamimu direbut secara terang-terangan oleh pelakor ini?" sambar Kamila, adik kedua Sandi Djatmiko.
Sekalipun, dia tak suka dengan Anjani, namun tetap saja dia tak terima jika Anjani pasrah begitu saja saat melihat perselingkuhan Aryan dan Luna didepan mata.
Anjani hanya tersenyum kecil. Dia tak mengindahkan pertanyaan itu sama sekali. Langkahnya tetap santai mengikuti langkah Aryan dan Luna didepannya.
"Selamat malam, Ma," sapa Anjani begitu sampai di ruang makan.
Disana sudah ada sang Ibu mertua yang duduk di kursinya sambil menatap dingin ke arah Anjani.
"Kamu siapa?" tanya sang Ibu mertua dengan sinis.
"Aku Anjani," jawab Anjani singkat.
"Anjani?" Bulu mata perempuan separuh abad itu tampak sedikit bergetar.
"Iya," angguk Anjani tersenyum.
Perempuan paruh baya itu masih terlihat takjub. Dia menggeleng beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya.
"Anjani, cepat buatkan sup herbal untuk Papa mertuamu! Akhir-akhir ini, kesehatannya sedang tidak baik. Dia sedang sangat ingin minum sup herbal."
Baru saja hendak duduk di meja makan, sang Ibu mertua yang bernama Bella sudah langsung memberi perintah.
"Kenapa harus aku?" tanya Anjani. "Di rumah ini, bukankah ada belasan pelayan? Kenapa tidak minta salah satu dari mereka untuk membuatnya?" sahut Anjani yang tetap duduk dengan percaya diri di kursinya.
Mata Bella seketika terbelalak. Baru kali ini, Anjani berani menolak perintahnya.
"Kamu berani menolak perintahku?" tanya perempuan separuh abad itu.
"Ya," angguk Anjani. "Aku ke sini hanya untuk makan malam. Bukan untuk jadi babu gratisan."
Brak!
Bella menggebrak meja dengan keras. Matanya nyalang menatap ke arah Anjani.
"Ada apa, Ma?" tanya Anjani. "Mama marah? Pada siapa?" lanjutnya berpura-pura bodoh. "Apa Mama marah pada pasangan selingkuh ini?"
Tanpa ragu, telunjuk Anjani langsung mengacung ke arah Aryan dan Luna. Pasangan kekasih itu pun terbelalak kaget karena dituding secara tiba-tiba.
"Mereka tidak selingkuh. Mereka adalah sepasang kekasih yang terpaksa harus berpisah gara-gara ulahmu!" ujar Bella yang secara terang-terangan selalu berdiri di sisi Luna dan Aryan sebagai pembela.
"Ya, ya, ya. Terserah apa kata Mama," balas Anjani sambil tersenyum lebar.
"Kamu..." Bella meradang.
😄👍👍👍