"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkara kamar Amira
Arman menghampiri ibunya. "Bu, suruh Dewi tidur sama Salma, kan nggak mungkin Amira tidur sama aku dan Nita, Bu," ujar Arman menyampaikan maksudnya.
Laksmi menoleh ke arah Arman. "Kenapa sih, Nita ini ngadu sama kamu? Ya sudah, Amira tidur di ruang tamu saja, kan selesai. Gitu aja kok repot."
"Bu, Amira itu sudah gadis, loh. Masa dia nggak punya kamar sendiri?"
"Ah, kamu ini bawel banget sih. Udahlah, ngomong sana sama Dewi," ucap Laksmi dengan acuh.
Arman berjalan ke kamar Dewi. Tampak Dewi sedang bersolek. Kadang Arman heran, kenapa Dewi suka sekali bersolek, padahal suaminya nggak ada di rumah. Selain belanja dan keluar rumah, Dewi hanya bisa bersolek. Bahkan, anaknya sudah berusia 10 tahun, tapi Dewi tidak bisa memasak, membereskan rumah pun tidak bisa.
"Dewi, aku minta Salma satu kamar dengan kamu. Amira nggak mungkin kan tidur sama aku dan Anita?" pinta Arman.
"Oke, kalau begitu nanti aku bilang dulu ke Ibu," ucap Dewi sambil menghentikan kegiatan bersoleknya.
"Aku sudah bilang sama Ibu, dan katanya tinggal bilang ke kamu."
"Oke. Ayo kita ke kamar Ibu," ajak Dewi.
Arman tak mengerti kenapa jadi seribet ini. Dia ingin segera istirahat, tetapi masalah kamar ini membuatnya harus bolak-balik ke kamar.
Sesampainya di kamar, Dewi langsung berurai air mata. Arman kaget, padahal di kamarnya tadi Dewi baik-baik saja.
"Hiks... hiks... hiks... Ibu sekarang lebih sayang sama menantu ketimbang anak sendiri," tangis Dewi pecah di depan Laksmi.
"Ada apa, Wi?" tanya Laksmi. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan mendekati Dewi.
"Kenapa harus Salma yang kehilangan kamarnya? Kenapa nggak Amira aja? Ingat, Bu, Salma itu cucu Ibu, dan aku ini anak Ibu! Tapi sekarang Ibu malah memilih Anita ketimbang aku," isak Dewi.
"Arman, sudah lah. Suruh saja Amira tidur di ruang tamu. Pakaiannya dan bukunya taruh di kamar kamu," ucap Laksmi, tak tega melihat Dewi menangis.
Arman tertunduk lemas. Dia akhirnya mengalah lagi demi ibunya.
Arman kembali ke kamarnya.
"Bagaimana, Mas?" tanya Anita langsung. Ia ingin segera mendengar keputusan ibu mertuanya.
"Amira, kamu nggak masalah kan tidur di ruang tamu?" Bukannya menjawab pertanyaan Anita, Arman malah langsung bertanya pada Amira.
"Lebih baik aku pergi malam ini juga kalau kamu membiarkan Amira tidur di ruang tamu," jawab Anita. Dari perintah Arman kepada Amira, Anita sudah tahu keputusan ibu mertuanya.
"Jangan bersikap seperti anak-anak, Anita. Amira saja tidak keberatan, kenapa kamu yang jadi repot?" Arman berkata dengan nada sedikit meninggi.
Amira menghampiri ibunya. "Sudah, Mah. Anita nggak keberatan kok, Mah."
Tidak ada jawaban dari Anita. Ia langsung mengambil karpet, menggelarnya di lantai, lalu mengambil selimut dan bantal.
"Mamah tidak akan membiarkan kamu tersisihkan. Tidur di sini bersama Mamah," ucap Anita sambil mengajak Amira tidur di karpet yang ia gelar.
"Anita, Dewi itu anak Ibu, jadi dia nggak mungkin membiarkan Salma kehilangan kamarnya," ucap Arman.
"Kamu pikir Amira anak siapa? Kamu pikir Amira bukan cucu ibumu? Bahkan aku rela gajimu dipakai untuk menghidupi seluruh keluargamu! Tapi memperjuangkan kamar untuk anakmu saja kamu tidak bisa," ucap Anita, lalu menutup wajahnya dengan bantal.
Amira tahu ibunya sedang kesal. Ia pun memeluk Anita.
Arman duduk di tepi kasur sambil melihat Anita dan Amira. Anita, apakah aku salah berbakti pada ibuku? Apakah aku salah lebih mengutamakan keluargaku ketimbang kamu? pikir Arman.
Lalu ia membuka ponselnya dan mulai chatting dengan seseorang yang dikontak namanya Agus. Arman terkadang tersenyum sendiri, seolah melupakan bahwa malam ini ia telah gagal memperjuangkan kamar untuk anaknya sendiri.
Pagi tiba. Seperti biasa, Anita sudah bangun. Pagi ini ia akan memasak makanan enak. Semua uang Arman ia habiskan karena besok adalah hari gajian.
"Nak, siang ini kamu tunggu saja di sekolah. Nanti Ibu akan menyusul kamu, lalu kita ke asrama khusus perempuan itu, ya," ucap Anita.
Amira tersenyum sumringah. "Terima kasih, Mamah. Tapi ini tidak memberatkan Mamah, bukan?"
"Untuk kamu, neraka pun akan Mamah lewati," jawab Anita, disambut senyuman bahagia dari Amira.
Pagi ini tidak ada keributan seperti kemarin. Sarapan tersedia dengan lauk lengkap, termasuk daging ayam. Namun, Anita bersikap dingin. Ia hanya menjawab seperlunya saja.
Tapi itu tidak masalah bagi Laksmi. Baginya dan keluarganya, Anita adalah istri yang tak berharga. Keberadaannya pun tak terlalu dianggap.
Anita melihat ponselnya dan membuka salah satu aplikasi menulis online. Matanya membelalak saat melihat saldo di akunnya—500 dolar! Seketika, ia bersujud syukur.
"Terima kasih, ya Allah. Ini adalah rezeki untuk Amira. Semoga Amira menjadi wanita pintar dan salehah. Amira harus sukses, hanya dia alasanku bertahan hidup," ucap Anita dalam hati.
Siang itu, Anita keluar dari rumah dengan membawa koper berisi pakaian Amira. Tepat pukul dua siang, ia sudah tiba di sekolah Amira dengan sebuah taksi online.
"Mamah, mau ke mana kita?" tanya Amira penasaran.
"Mamah mau mengantar kamu ke asrama khusus akhawat," jawab Anita.
"Benarkah, Mah?"
"Tentu saja, sayang."
Mereka pun tiba di sebuah asrama yang asri. Tampak anak-anak seusia Amira belajar kelompok, sementara sebagian lainnya sedang menghafal Al-Qur'an.
Setelah berbicara dengan pemilik asrama, akhirnya Amira diperbolehkan tinggal di sana. Wajahnya tampak antusias, dan Anita pun merasa senang melihat kebahagiaan putrinya. Setelah membantu Amira merapikan pakaian di kamarnya, Anita memberikan uang Rp500.000 sebagai bekal.
---
Jam lima sore, Anita baru sampai di rumah.
"Dari mana kamu, Nita? Jam segini baru pulang!" hardik Laksmi.
"Aku habis mengantar Amira ke pesantren," jawab Anita.
"Apa? Kamu kirim Amira ke pesantren? Ingat ya, biayanya mahal! Aku nggak mau uang anakku habis untuk kamu!"
"Nggak habis untuk aku, kok. Habis untuk Amira, anak Mas Arman," jawab Anita, sengaja menekankan bahwa Amira adalah anak Arman.
Laksmi mengalihkan pembicaraan. "Sekarang, mana lauk untuk makan malam? Jam segini kamu belum masak?"
"Aku sudah masak nasi, dan aku beli lauk juga. Tenang aja, malam ini kita makan enak," ucap Anita sambil menunjukkan beberapa lauk yang ia beli.
"Kamu punya uang bukannya ditabung, malah dihambur-hamburkan!"
"Sudahlah, Bu. Ibu pikir uang Mas Arman cukup untuk menghidupi semua anggota keluarga ini? Ini pakai uangku sendiri. Aku lagi baik hati, karena Amira masuk pesantren, makanya malam ini aku mau makan enak," jawab Anita santai, lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Kamu ya, dibilangin orang tua susah! Mulai bulan depan, aku yang pegang keuangan Arman. Kalau dipegang kamu, bisa habis semua uang anakku!" ucap Laksmi ketus.
"Ya, Bu. Ambil aja, Bu. Aku nggak butuh, kok," jawab Anita tenang, membuat Laksmi terkejut.
Anita pun melanjutkan aktivitasnya di dapur.
---
Jam delapan malam, Arman baru pulang. Kali ini, Anita tidak lagi menghubunginya seperti biasanya saat Arman telat pulang.
"Arman, mana uang gajimu?" pinta Laksmi begitu melihat putranya.
"Ini, Bu," jawab Arman, menyerahkan dua juta rupiah kepada ibunya.
"Apaan ini? Mana semuanya?"
"Lho, nanti Anita nggak kebagian, Bu, kalau semuanya aku kasih ke Ibu," jawab Arman ragu.
"Ah, kalau dipegang dia, uangnya cepat habis! Kamu tahu nggak, si Anita tadi pergi seharian? Dia pergi untuk memasukkan Amira ke pesantren! Nanti uangmu habis sama Amira dan Anita! Ingat, Arman, kamu itu harus mengutamakan keluargamu ketimbang istrimu!" ujar Laksmi dengan nada menekan.
"Apa...? Amira dimasukkan ke pesantren? Kok aku nggak tahu?" ucap Arman kesal.
"Tuh, dengar! Istrimu itu diam-diam aja, nggak kasih tahu kamu! Istri macam apa itu, Mas?" sahut Dewi menambahkan minyak ke dalam api.
"Anita!!!" teriak Arman.
Anita datang dengan santai. Perutnya kenyang, tubuhnya segar, dan pikirannya sudah siap menghadapi peperangan yang sudah ia prediksi akan terjadi