NovelToon NovelToon
Sisa Rasa Rosa

Sisa Rasa Rosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:611
Nilai: 5
Nama Author: Noey Ismii

Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan. Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?


Update setiap hari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Papa

Rosa mengempaskan dirinya di tempat tidur. Dia bosan.

Semuanya segera berubah saat datang kesini. Semuanya tidak seperti saat tinggal di desa dengan nenek.

Sepulang sekolah biasanya dia akan makan siang dengan nenek, lalu mencuci baju atau melipat baju, dan mengerjakan PR sampai sore. Kemudian menutup semua jendela dan gorden dan setelah magrib dia akan menghangatkan masakan dari Uwa, makan malam dengan nenek. Setelah itu dia akan cuci piring. Setelah membereskan dapur, Rosa akan masuk rumah, mengunci pintu dapur, membawa air minum untuknya dan nenek. Mengambil obat darah tinggi nenek dan menemani nenek sambil membaca kembali buku pelajarannya.

Dia baru masuk kamanya sendiri saat jam sudah menunjuk ke angka sembilan. Membereskan buku untuk besoknya. Jam sepuluh biasanya Rosa sudah tidur.

Tapi di sini, Rosa bosan.

Semua pekerjaan sudah dikerjakan oleh Bu Asih. Setiap kali Rosa akan membantu Bu Asih akan dengan sekuat tenaga melarang Rosa. Bahkan hanya untuk mencuci piring bekasnya sendiri.

“Simpen aja di wastafel, Neng, jangan dicuci, nanti sama Bu Asih aja!” cerewet Bu Asih yang tidak bisa tidak didengarkan.

Rosa baru selesai mandi dan menunggu magrib tiba saat pintu kamanya diketuk. Rosa bangun kemudian membuka pintu. Di depannya berdiri seorang pria yang terlihat lelah tapi tersenyum penuh semangat saat Rosa memunculkan dirinya.

“Rosa, maaf papa baru datang,” ucap Papa dengan sesal. Tapi senyumnya masih menghiasi wajahnya. Papa merasa bersyukur saat Kak Raya, Uwa Rosa, meneleponnya. Memberitahu kabar ibu mertuanya dan memberinya kabar paling bahagia.

Rosa, anak gadisnya sudah mau kembali. Tapi kemudian langsung menyesal karena sedang tidak bisa menjemput Rosa atau menjenguk ibu mertuanya. Lelaki itu sedang di Singapura untuk proyek pekerjaanya selanjutnya. Akan butuh waktu beberapa hari sampai rapat-rapatnya selesai. Dan benar saja, beliau baru terbebas setelah Rosa sudah dua hari sampai di Bandung.

Padahal Papa sungguh merindukan putri satu-satunya itu.

Rosa terdiam, mengerjap beberapa kali kemudian keluar dari kamarnya. Papa mundur kemudian menuntun Rosa ke sofa ruang keluarga di hadapan televisi besar di ruang itu. Rosa masih diam. Papa duduk di sampingnya.

“Gimana kabar nenek?” tanya Papa.

Rosa mengangguk, “Nenek sekarang tinggal sama Uwa, karena dokter bilang nenek harus diawasi biar gak jatuh lagi,” jawabnya. Ekspesinya masih sama. Datar. Tapi dia ingat kata Nenek yang harus baik kepada papanya. Jadi dia menjawabnya dengan baik.

“Dan gimana kabar anak gadis papa ini?” tanyanya langsung. Dengan senyum terkembang.

“Aku baik,” jawab Rosa. Bingung harus menjawab apa selain satu kata itu.

Papa tertawa kecil, tangan papa terulur mengelus puncak kepala Rosa sebentar, “Sekolah sekarang bagaimana? Kamu suka dengan sekolahnya?” tanyanya lagi.

Kepala Rosa mengangguk. Terasa asing saat Papa mengusap kepalanya, tapi sekaligus mengalirkan perasaan aneh. Rosa yakin masih marah juga kepada Papa, tapi ada bagian hatinya juga yang ingin Papa memahami apa yang sudah dan masih bergejolak di hatinya. Marah, kecewa, sedih, dan kehilangan yang dia alami.

Dan Rosa masih ingat bentakan Papa malam itu.

Itu membuatnya sakit hati.

Masih. Sampai hari ini.

“Kamu sudah punya teman baru di sekolah baru?” tanya Papa lagi, masih belum menyerah.

Rosa kembali mengangguk.

“Sudah bertemu Kak Rama?”

Tepat sasaran. Ekspresi Rosa berubah.

“Kenapa kalau aku sudah ketemu Rama?” tanya Rosa dingin. Menghilangkan kata ‘kak’ dalam pertanyaannya.

“Rama ingin bertemu sama kamu, tapi setiap Papa ada waktu untuk nengok kamu, Rama selalu sedang sibuk,” jawab Papa. Beliau mengamati wajah Rosa yang terpancing karena pertanyaannya.

Rosa tersenyum pahit, “Bisa sesibuk apa sih anak-anak,” katanya dalam bisikan yang jelas.

Papa tersenyum kecil. Dalam hatinya menyadari, masih jauh untuknya bisa lebih mendekati anak gadisnya. Terlalu lama waktu yang mereka lalui dengan berjauhan jarak. Semakin menumpuk amarah. Semakin terbuka luka hati yang dialami putrinya itu.

Mereka sama-sama belum menemukan cara untuk menyembuhkan diri.

“Lalu kenapa setelah aku disini Rama tidak pernah pulang? Apa dia sebegitu nakalnya sampe gak pulang?” tanya Rosa sinis.

Papa bekedip, “Rama ngekos, Rosa,” jawabnya.

Mata Rosa mengerjap beberapa kali. Baru dia berani menatap Papanya.

“Rama masuk SMP Asrama Pesantren. Setelah lulus Rama ngekos, katanya di rumah sepi, gak ada kamu,” Papa menjelaskan.

Rosa semakin kaget dengan fakta baru yang diterimanya. Dia dan Rama sama-sama pergi dari rumah.

“Aku udah di rumah sekarang, kenapa dia masih ngekos?” tanya Rosa lagi. Masih dengan wajah ketusnya.

Papa tersenyum, “Kenapa kamu gak coba tanya sendiri?”

-o0o-

Rosa marah. Lagi!

Setelah Papa menjawab pertanyaannya dengan petanyaan. Rosa berdiri, “Aku mau magrib,” katanya lalu berlalu. Masuk ke kamanya dan tidak terdengar lagi.

Di kamar, Rosa bersyukur kamarnya punya kamar mandi juga, jadi di segera masuk kamar mandi, membasahi mukanya dengan air dingin. Dia menarik napas sepelan mungkin. Tapi tidak berhasil.

Rosa merasa sangat capek dengan emosinya hari ini.

Dia sudah lelah diombang-ambing sejak tadi siang.

Dia masih marah.

-o0o-

Hari ini Rosa tidak diantar Pak Usup, Papa sudah pulang dan tugas Pak Usup kembali untuk mengantar Papa. Meskipun Papa sudah mengatakan bahwa beliau sedang mencarikan supir juga untuk Rosa, tapi Rosa dengan ketus langsung menolaknya.

“Jangan berlebihan, Pah, aku naik angkot juga nyampe,” Rosa memaksakan rotinya masuk ke dalam perutnya. Dia tidak bisa mengunyah dengan benar karena pagi ini Papa sudah duduk di kursi di ruang makan.

Papa yang sudah bersetelan jas lengkap langsung tersenyum cerah saat melihat Rosa pagi itu. Rosa bisa dengan jelas melihat gurat keriput di wajah tampan Papa. Papa sudah bertambah tua dari foto di ruang tamu. Terlihat jelas mata lelah Papa sekarang. Sebersit rasa berat terasa di dadanya. Tapi dia mengabaikan perasaan itu.

“Aku berangkat,” pamitnya. Mencium tangan Papa sekenanya.

Papa tersenyum, ingatan terakhirnya saat Rosa berpamitan pergi sekolah adalah saat gadis itu masih memakai seragam putih merah. Dengan rambut kepangnya yang masih menjadi gaya rambut favoritnya. Papa ingat lagi, Mama yang selalu membuat kepangan macam-macam bentuk untuk putri kecilnya itu.

Mata Papa yang berkabut segera disingkirkannya. Dia tidak mau tambah membuat suram pagi Rosa yang sudah penuh dengan cemberut.

Rosa sudah akan melangkah keluar ruang makan saat suara Papa menghentikannya. Papa sedang berjalan ke arahnya, sambil mengeluarkan dompet, “Sudah lama Papa tidak memberikan uang saku,” kata Papa.

Tangan Rosa menerima lima lembar berwarna pink itu dengan bingung. Banyak banget, pikirnya.

Tapi Papa terlihat sangat senang. Sudah enam tahun sejak terakhir membekali Rosa uang jajan. Betapa hal-hal kecil seperti ini yang Papa rindukan. Kebersamaannya dengan anak-anak.

“Kalau kurang bilang Papa, ya,” kata Papa.

Rosa hanya mengangguk kemudian berbalik, melanjutkan langkahnya. Padahal uang saku yang Papa titipkan di Bu Asih masih cukup untuk seminggu kedepan. Rosa juga menerima selembar kartu berwarna hitam yang Papa bilang bisa dipakai Rosa kapan saja. Rosa telah menghitung dari pengeluarannya hari kemarin. Dan itu lebih dari cukup. Dia juga belum membutuhkan barang lain. Semuanya sudah ada di kamarnya.

Rosa memang tidak pernah kekurangan. Saat di desa pun dia selalu punya uang lebih dari yang seharusnya dia pegang. Dia juga bukan anak yang suka menghambukan uangnya. Jadi dia sendiri pun sudah punya tabungan. Sisa dari uang jajan yang dikumpulkannya selama enam tahun ini.

Dia tidak tahu sekaya apa Papanya karena dia tidak mau tahu.

-o0o-

Papa masih berdiri memandangi Rosa yang berjalan keluar rumah kemudian berbelok di depan pagar tinggi gerbang rumah mereka. Mata papa kemudian beralih pada foto keluarga yang tergantung di ruang tamu.

“Anak kita sudah besar, Sayang,” katanya lirih.

Bibirnya tersenyum. Tapi sorot matanya begitu sedih.

-o0o-

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!