Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Ambil Dia!
Nico baru kembali dari kantor. Karena terlalu lelah, ia memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam, tapi yang membuatnya heran adalah suara bising disekitarnya. Bukan, tapi suara keceriaan anak kecil.
Jantungnya seketika berdetak kencang. Ia mempercepat langkah kakinya menuju sumber suara. Sayup-sayup ia juga mendengar suara lembut wanita yang amat dirindukannya. Dalam hatinya ia ragu menebak. Tidak mungkin orang yang ia pikirkan saat ini.
Saat berada di dekat ruang masuk menuju dapur, Nico melambatkan kakinya. Suara anak-anak itu semakin jelas. Mereka tertawa. Mungkin juga saling berkejaran hingga wanita disana menegurnya beberapa kali.
Keberanian nya untuk melihat lenyap. Ia takut kecewa untuk kesekian kalinya. Tapi suara-suara itu ... mungkin adalah hal yang dirindukan dan di impikan.
"PAPA!"
Deg!
"Mama berubah jadi singa lagi," adu dua anak sekitar enam tahun itu yang sekarang bersembunyi dibelakangnya.
Nico tertegun melihat wajah anak-anak itu. Mereka ... Lalu tatapannya beralih pada wanita yang amat sangat ia rindukan.
Dian ....
Demi Tuhan situasi ini seolah mereka telah berkumpul lagi. Anak dan istrinya, mereka disini? Bersamanya?
"Papa lelah Emi, Lily! Kemari, jangan ganggu papa." Dian ingin meraih keduanya, namun Nico lebih dulu mencegah.
"Tidak apa-apa. Biarkan mereka bersamaku," ucapnya tak berani berpaling dari wanita yang sudah menginjak usia dewasa itu. Wajahnya, matanya ... Nico tak percaya bisa melihatnya sekali lagi.
"Blee ... Mama kalah." Lily menjulurkan lidahnya, membuat Dian mendengus.
Nico tidak bisa tidak terkekeh. Suasana ini sangat menyejukkan. Ia lantas merangkul kedua bocah kecil disampingnya dengan sayang. Matanya berkaca-kaca.
"Bersihkan dirimu setelah itu kita makan malam." Dian melepas jas berserta dasi, lalu memberi kecupan singkat di pipinya.
Nico tak bergerak, ada banyak pernyataan di kepalanya.
"Nico," tegur wanita itu. Nico tersadar. Ia kemudian merengkuh wajah cantik itu perlahan.
"Apa ini mimpi?" Pertanyaan Nico membuat Dian tersenyum. "Menurutmu?"
"Aku tidak tahu," jawab Nico tidak yakin.
"Mimpi atau bukan, kami selalu ada untuk mencintaimu," ucap wanita itu penuh makna. Dian menyentuh tangan Nico yang mengelus pipinya lembut.
"Papa harus kuat. Jika ini mimpi, maka jemput kami pada kenyataan," ujar Emi di bawahnya.
"Tapi jika ini nyata, maka jangan pernah lepaskan kami," sambung Lily.
"Tidak akan! Papa tidak akan meninggalkan kalian." Nico berlutut, lalu memeluk ketiganya dengan sayang.
Rasa haru memenuhi dada Nico. Pria yang sudah lama kehilangan keluarga kecilnya kembali menangis. Namun tangisan ini adalah tangisan bahagia. Ia tidak ingin kehilangan kembali. Biarkan ia terus memeluk mereka seperti ini. Memberi cinta dan kasih sayang yang tiada habisnya.
"Biarkan takdir yang berbicara," bisik Dian ditengah pelukannya. Wanita itu bahkan memberi elusan di punggungnya.
Hingga ia merasa kehampaan kembali menyapa. Nico membuka matanya. Seketika itu ia langsung berdiri, mencari tiga sosok yang kini sudah menghilang dari pelukannya. Kemana? Kemana mereka!
"DIAN!"
"EMI!"
"LILY!"
Nico berlari. Mencari ke seluruh penjuru rumah, berharap dapat menemukan mereka kembali, tapi tidak ada. Nico meremas rambutnya kasar. Seperti orang yang kehilangan akal ia kembali memecahkan barang-barang.
"Jangan– jangan pergi," lirihnya.
"Papa baru memeluk kalian sebentar. Kenapa pergi lagi?"
"Dian– sayang. Kau mau meninggalkanku lagi?" gumamnya terus-menerus.
"Papa!" Suara Lily di kejauhan membuat Nico menoleh cepat. Gadis itu tersenyum memperlihatkan giginya yang rapi.
"Lily ..."
"Disini!" Lily melambaikan tangannya.
"Tidak! Jangan pergi– tunggu papa, Nak." Nico mempercepat langkahnya, kemudian berlari mendekati Lily yang mulai menghilang kembali. Rasanya ini begitu nyata.
"Lily ingin, tapi tidak bisa. Lily tidak bisa meraih papa." Lily menjulurkan tangannya.
"Tidak! Tunggu sebentar, biar papa yang meraih Lily." Nico terus berlari. Sekitarnya kini menjadi lorong hampa tanpa ujung. Sekuat apapun ia berlari, ia tak dapat meraih Lily.
"Tidak ... jangan. Jangan ambil dia!"
"LILYY!!"
.
.
.
.
.
.
Nico membuka mata dengan nafas memburu. Sekujur tubuhnya sudah berkeringat. Mimpi! Hanya mimpi. Mimpi yang selalu terulang setiap tidurnya. Tidak peduli berapa kali pun mimpi ini berulang, ia selalu tak dapat membedakan. Semua terasa begitu nyata.
Keluarga bahagia yang berakhir dengan kehilangan. Wajah Dian yang selalu ia lihat kini bertambah dengan wajah dua anak kecil. Ia ingat jika wajah keduanya tidak begitu jelas untuk Nico kenali.
Mimpi yang entah keberapa kalinya, dua bocah itu akhirnya dapat ia lihat. Tapi kenapa harus Emi dan Lily? Apakan karena mereka anak-anak yang belakangan ini ditemuinya. Mungkin ia terlalu merindukan anaknya hingga memimpikan Emi dan Lily.
Bahkan mimpi begitu kejam mengambil kalian dariku.
"Tuan?" Nico tersentak ketika merasakan sentuhan kecil di tangannya.
Kembali jantungnya berdetak kencang melihat wajah itu. Nico tanpa sadar langsung membawanya kepelukannya. Pria itu menangis dengan memeluk erat gadis kecil yang merasa terhimpit.
"Jangan pergi," gumamnya. Memberi banyak kecupan di kepalanya.
"Tuan ..." Nico tidak main-main memeluknya. Ia hampir kehabisan nafas.
"Nico!" Suara terkejut Mita menjadi penolong bagi gadis kecil itu.
"Astaga! Lily tidak bernafas, Nak." Mita mencoba melepas pelukan Nico.
"TIDAK! JANGAN PISAHKAN KAMI LAGI!" bentakan Nico membuat keduanya membeku.
"Anakku ... tidak ada yang boleh mengambilnya ... tidak boleh." Nico terisak tersedu-sedu memeluk Lily yang pelukannya sudah melonggarkan namun tidak dilepaskan.
"Nico ... itu Lily, Nak. Dia bukan–"
"DIAM!" Nico tak ingin mendengar kenyataan.
Lily tak kuasa menahan air matanya. Gadis itu menggigit bibirnya, menahan lelehan itu keluar lebih banyak. Ia membalas pelukan Nico.
Mita sendiri memalingkan wajah. Tak kuasa melihat pemandangan di depannya yang menyayat hati.
"Lily disini, Tuan. Jangan menangis."
Ini memang Lily, Papa. Putri papa. Lily juga rindu.
Bukan cuma Mama. Papa juga menderita. Lalu kenapa Mama bilang papa bahagia? Lily tidak pernah melihat istri papa disini. Dimana dia? Kenapa tidak merawat papa?
Semakin Lily disini, semakin ragu untukku menjauh. Papa terus memanggil mama selama pingsan. Bisa Lily lihat tak ada pancaran kebahagiaan dimatanya. Bagaimana jika mama salah. Papa sebenarnya tidak pernah bahagia selain bersama mama. Jika seperti itu, bolehkan Lily membangkang kali ini? Lily ingin menyatukan kalian.
**
"Maaf. Tidak seharusnya Lily melihat hal semacam ini." Nico merasa tidak enak pada gadis kecil ini. Keadaan Nico sudah lebih baik dari sebelumnya. Pria itu sempat demam tinggi selama sehari penuh.
"Tidak masalah, Tuan. Lily sudah terbiasa."
Kondisi mama tak berbeda jauh.
"Maksud Lily?"
"Bukan apa-apa." Nico mengangguk.
Mata Nico kini beralih pada gelang di tangan gadis itu. "Lily masih menyimpannya?" Gelang itu pemberiannya beberapa waktu lalu. Bukan benda berharga, tapi Lily masih menjaga dengan baik.
Lily tersenyum. "Ini hadiah pertama Tuan. Tentu saja Lily menyimpannya." Entah mengapa Nico begitu senang mendengarnya.
"Tunggu sebentar." Nico berdiri dari duduknya menuju kamar.
Lily terus berdebar. Ia langsung mengelus dadanya untuk menenangkan detak jantungnya. Sejak Nico memeluknya, rasanya ia ingin melompat kegirangan.
Saat pulang sekolah tadi, Mita kembali menjemputnya. Kali ini Lily pergi dengan izin Dian. Wanita paruh baya itu begitu terpukul dengan kondisi putranya sehingga membawa Lily untuk menemaninya. Tidak menyangka karena panggilan pelan gadis itu, Nico langsung tersadar.
"Ini." Nico tanpa meminta izin sudah memasangkan gelang lain di pergelangan tangan Lily. Kali ini benda itu jauh lebih baik dari sebelumnya. Mita tersenyum kecil melihat kebersamaan mereka.
Mungkin akan lebih bahagia jika cucunya ada disini.
"Aku sudah berjanji akan memberikan yang lebih baik, bukan? Semoga Lily menyukainya."
Bisa dipastikan gelang bermanik perak dan berlian itu tidak murah. Sangat indah bagi siapa saja yang melihat. Ia tahu karena ibunya sering memproduksi barang-barang mewah seperti ini.
Sebenarnya Lily tak begitu menyukai benda-benda berkilau seperti ini. Percayalah Dian tak sepelit itu. Bahkan ia punya lemari khusus untuk menyimpan barang-barang seperti itu.
"Lily suka. Terima kasih, Tuan." Sekarang dia suka.
"Bisakah jangan panggil aku Tuan? Itu tidak nyaman." Ia tak mengerti mengapa Lily begitu betah memanggilnya Tuan.
Lily terdiam, sedikit berpikir. "Kalau begitu Lily panggil om saja?" Nico tersenyum getir. Ia akan lebih suka jika dipanggil papa. Tapi tak urung ia mengangguk. Om lebih baik daripada Tuan.
"Baiklah."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Hai para reader semua. Kalian pasti kesel ya aku jarang Up disini. Sebenarnya pembaca disini masih sepi, tidak seperti novel sebelah. Itu sebabnya aku gak terlalu memperhatikan yang ini. ...
...Meski jarang aku tetap bakal Up kok sampai tamat. Mungkin akan lebih fokus setelah Cleire dan Chris tamat....