Alana Adhisty dan Darel Arya adalah dua siswa terpintar di SMA Angkasa yang selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Alana, gadis ambisius yang tak pernah kalah, merasa dunianya jungkir balik ketika Darel akhirnya merebut posisi peringkat satu darinya. Persaingan mereka semakin memanas ketika keduanya dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah.
Di balik gengsi dan sikap saling menantang, Alana mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungannya dengan Darel. Apakah ini masih tentang persaingan, atau ada perasaan lain yang diam-diam tumbuh di antara mereka?
Saat gengsi bertarung dengan cinta, siapa yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my pinkys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
luka yang tersembunyi
Langit sore mulai berubah oranye saat Darel menghentikan motornya di depan gerbang komplek perumahan elite. Lampu jalan mulai menyala menandakan hari mulai gelap, dan menciptakan bayangan panjang di trotoar karna hari sudah mulai gelap .
"Darel! gue turun sini aja! " pekik Alana kalau sudah tepat di depan gerbang komplek nya.
“Lo yakin mau turun di sini?” tanya Darel sambil melepas helmnya.
Alana masih duduk di motor danmengangguk dengan cepat, lalu mengangguk. “Iya, rumah gue masih agak jauh masuk ke dalam soalnya.”
Darel mengerutkan dahi. “Kenapa enggak sekalian gue anter sampai depan rumah?”
Alana tersenyum kecil, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca. “Aku lebih suka jalan sendiri,emang nya lo ngak mau pulang nyet.”
"Kenapa belum turun lo? " heran Darel saat melihat Alana tak berkutik dan masih saja duduk anteng di jok belakang motor nya.
"Lo pikir gue bisa turun nya" sengit Alana menatap Darel.
'Darel menyebalkan'batin Alana.
"Oh iya,gue lupa lo kan pendek" ejek Darel namun tetap membantu Alana turun dari motor nya.
"Gue bukan pendek ya Darel monyet, gue cuma lagi masa pertumbuhan aja makanya butuh proses buat gue tinggi" balas Alana yang tak Terima di katai pendek oleh Darel.
"Alana pendek kan pak? " tanya Darel pada pak satpam yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua.
"Neng Alana mah ngak pendek mas, cuma emang segitu tinggi nya" kekeh pak satpam bernama Lino.
"Pak Lino....kok gitu sih" kesal Alana merengut kesal, ah seperti nya semua laki-laki memang menyebalkan menurut Alana.
"Sudah ah, kalian ini berantem mulu, ini sudah mulai gelap loh. Kalian ngak mau pulang" ujar pak Lino.
"Sana!lo pulang! " usir Alana.
"Dasar... untung cantik" gumam Darel.
"Lo bilang apa tadi hah! " ucap Alana ngegas.
"Gue pulang dulu deh, bisa mati debat gue sama lo" ucap Darel menaiki motor nya.
"Oh iya, makasih Darel monyet! " teriak Alana sebelum Darel menyalakan motor nya.
Darel hanya menatap nya sekilas lalu melajukan motor nya meninggal kan Alana yang sudah ada di dalam gerbang komplek.
"Buset dah, neng Alana teriakannya mantep banget neng" ucap pak Lino dengan memberikan dua jari jempol kepada Alana yang tengah menatap punggung Darel yang perlahan menghilang dari pandangannya.
"Bapak mau Alana teriakin? " ujar Alana.
"Ngak deh neng, mending di teriakin istri di rumah" sahut pak Lino.
"Ah, pak Lino cemen"ejek Alana setelahnya berlari menuju rumahnya.
" Hati-hati neng, takut injek semut"teriak pak Lino.
"Siap pak Lino" sahut Alana.
Alana berlari kecil, membiarkan angin sore menjelang malam menemani perjalanannya.
Jarak dari gerbang komplek ke rumahnya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Bagi sebagian orang, mungkin ini melelahkan, tapi bagi Alana, ini adalah waktu berharga.
Waktu yang bisa ia manfaatkan untuk menenangkan pikirannya sebelum menghadapi neraka yang menunggunya di rumah.
---
Akhirnya Alana sudah sampai di depan gerbang rumahnya, kesunyian langsung menyambutnya saat memasuki gerbang rumah itu. Rumah besar bergaya klasik itu berdiri megah dengan halaman luas dan lampu-lampu kristal yang menerangi bagian dalamnya dan ada ayunan masa kecil nya yang sudah lama di bawah pohon manggi.
Dari luar, rumah ini terlihat sempurna. Tapi hanya Alana yang tahu betapa menyesakkan rasanya tinggal di dalamnya, rumah tapi bukan rumah bagi Alana.
Alana membuka pintu dengan hati-hati, berharap bisa masuk tanpa menarik perhatian orang di dalam nya. Tapi harapannya sirna ketika suara berat yang sudah ia kenal baik menyambutnya membuat Alana menegang.
“Jam berapa ini, Kamu baru pulang?! "
Alana menelan ludah dan menutup pintu perlahan tanpa menimbulkan suara.
Ayahnya, Adrian Baskara, berdiri di ruang tengah dengan ekspresi marah. Pria itu masih mengenakan setelan kantornya yang rapi,bisa Alana tebak ayah nya baru saja pulang tapi ia tak menemukan mobil ayah nya di parkiran depan jadi ia tadi berpikir jika ayah nya belum pulang dan pikiran Alana salah,bisa ia lihat wajah ayah nya penuh amarah.
“Alana... baru pulang belajar kelompok,” jawab Alana dengan setenang mungkin.
Adrian mendekat dengan langkah berat. “Belajar kelompok apa nya Alana?” Ia tertawa sinis. “Belajar kelompok tapi nilaimu tetap turun, begitu?”
Jantung Alana berdegup kencang.
“Alana minta maaf, Alana janji....”
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Alana, membuat kepalanya menoleh ke samping. Rasa panas langsung menyebar di kulit pipinya,tetapi Alana tidak berani mengangkat tangannya untuk menyentuh bekas pukulan dari ayah nya.
“Kamu pikir maaf bisa mengembalikan peringkat pertamamu?” suara Adrian penuh amarah.
Alana menunduk, menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya saat ini.
“Ayah sudah bilang berkali-kali,” lanjut Adrian dengan suara bergetar karena menahan emosi. “Satu-satunya alasan aku membiarkan kamu hidup di rumah ini adalah karena prestasimu. Kalau kamu mulai gagal, kamu tidak ada gunanya lagi buatku!”
Alana mengepalkan tangannya, berusaha menahan rasa sakit yang sudah terlalu sering ia rasakan. Tapi tetap saja dada nya merasa sesak.
“Alana janji akan berusaha lebih keras lagi, Ayah.”
Adrian mendengus. “Berusaha lebih keras? Omong kosong!”
Pria itu berjalan ke dapur, membuat Alana langsung merasa tidak tenang. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi.
Jangan...lagi,
Tapi ketakutannya menjadi kenyataan ketika ia melihat ayahnya kembali dengan sebuah teko berisi air mendidih di tangan kanannya.
“Ayah, jangan—”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, air panas itu sudah meluncur dari teko, membasahi lengan kanannya.
“Aaakh!”
"Ayah! Alana minta maaf hiks"mohon Alana yang sudah tak bisa menahan rasa sakit karna air panas itu sudah mengenai kulit tangannya.
Rasa panas yang menyengat langsung menjalar ke kulitnya, membuatnya jatuh berlutut sambil memegangi lengannya yang kini memerah. Rasa sakitnya begitu menyiksa, seolah ribuan jarum menusuk kulitnya sekaligus, ia berusaha menahannya.
Adrian menatapnya tanpa ekspresi. “Lain kali, jangan buat aku kecewa lagi Alana! .”
Setelah mengatakan itu, ia berjalan pergi, meninggalkan Alana yang masih gemetar kesakitan di lantai.
Air matanya akhirnya jatuh.
Sakit.
Bukan hanya di lengannya, tetapi juga di hatinya.
Kenapa?
Kenapa ia harus terlahir sebagai anak Adrian Baskara?
Kenapa ia tidak punya ibu yang bisa melindunginya?
Dan kenapa... tidak ada seorang pun yang tahu bahwa Alana Adhisty, siswi berprestasi yang dikagumi banyak orang, sebenarnya hidup dalam neraka yang tak terlihat?
Alana menyembunyikan rasa sakit nya dengan Seolah-olah ia baik-baik saja di depan semua orang, sungguh sebenarnya ia lelah dan muak dengan hidup nya selama ini.
---
Setelah memastikan ayahnya sudah masuk ke kamarnya, Alana perlahan berdiri. Lututnya masih lemas, dan rasa perih di lengannya membuatnya menggigit bibir menahan isakan.
Ia menyeret kakinya menuju kamar mandi, membuka keran, dan membiarkan air dingin mengalir membasahi lukanya.
Air matanya terus jatuh tanpa suara.
Sejak kecil, ia tidak pernah tahu seperti apa rasanya dicintai. Yang ia tahu, hidupnya hanyalah tentang menjadi yang terbaik agar bisa tetap bertahan hidup.
Tapi sekeras apa pun usahanya, sepertinya ia tidak akan pernah cukup baik di mata ayahnya.
Kadang ia berpikir, harus seperti apa dirinya agar di cintai ayah nya seperti teman-teman nya mendapat kasih sayang dari orang tua mereka.
Setelah beberapa menit, ia memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Ia membuka lemari kecil di kamarnya, mengambil salep luka bakar, lalu mengoleskannya dengan hati-hati.
Rasa perihnya masih menyiksa, tapi Alana sudah terbiasa.
Yang lebih sulit adalah menahan luka di hatinya.
Alana menatap pantulan dirinya di cermin.
Mata yang lelah.
Bibir yang bergetar menahan tangis bukan menahn tangis lagi,namun air mata Alana terus mengalir dan membuat Alana mati-matian menahan agar air mata nya tak jatuh namun air mata nya seolah tau yang di rasakan Alana,membuat air mata itu terua mengalir seolah mengalir memahami perasaannya.
Lengan kanan yang kini terluka.
Dan hati yang semakin hancur setiap harinya.
Tanpa sadar, pikirannya melayang pada seseorang.
Darel.
Entah kenapa, sejak tadi ia terus teringat pada cowok itu.
Darel memang menyebalkan, tapi... ada sesuatu dalam diri cowok itu yang membuat Alana ingin mengenalnya lebih jauh.
Alana menggelengkan kepalanya cepat. Apa yang ia pikirkan? Tidak ada gunanya memikirkan Darel.
Ia harus fokus.
Ia harus kembali menjadi nomor satu.
Karena hanya itu satu-satunya cara agar ia bisa bertahan.
To be continued…