Sisa Rasa Rosa
Mata cokelat itu terbuka dengan keterkejutan dalam kegelapan. Detik berikutnya tertutup kembali seraya menahan tubuhnya yang bergetar. Perlahan dia bangun dari tidurnya. Duduk dengan tangan memeluk dirinya sendiri, dengan lutut yang sedapat mungkin rapat dengan tubuhnya, dan telapak tangan perlahan menepuk-nepuk pundaknya. Dia mengatur napas sepelan mungkin. Sebisanya agar dapat kembali mengendalikan tubuhnya yang masih bergetar.
Dia bermimpi.
Mimpi buruk.
Ingatan terburuknya.
Lima menit setelahnya barulah dia bisa mengangkat kepala. Membuka mata dan mengatur napas, masih sepelan mungkin, sambil mengelap keringat yang renung di keningnya. Setelahnya dia mengambil segelas air putih yang sudah disiapkan sebelum tidur tadi, menghabiskannya dalam beberapa teguk. Sambil mengembalikan gelas ke atas meja samping tempat tidur, matanya melirik jam weker. Masih jam dua. Terlalu dini untuk bangun dan besiap-siap. Tapi dia yakin tidak bisa terlelap lagi kalau tidur sendiri.
Tangan rampingnya merapikan rambut panjangnya yang kusut, mengikat asal kemudian turun dari tempat tidur. Berjalan tanpa suara keluar kamarnya. Langkahnya menyeberangi ruang keluarga yang terhubung ke ruang tamu khas rumah jaman dulu, yang tanpa sekat. Tangannya lalu terulur ke pegangan pintu kamar di depannya. Dia membuka perlahan dan melongokkan kepalanya lebih dulu.
Matanya melihat punggung wanita tua yang terbaring berselimut tebal motif bunga mawar. Tubuh neneknya bergerak berbalik mendengar bunyi pintu berdecit. Menghadap ke arah pintu lalu tersenyum saat tau siapa yang berdiri di sana. Tangannya terulur mengajak.
Gadis yang masih berdiri di ambang pintu ikut tersenyum kemudian melangkah masuk. Setelah menutup kembali pintu, dia bergegas naik ke tempat tidur. Bergelung di pelukan neneknya. Dia merasakan tangan nenek terulur menyelimutinya. Setelah itu tangan tua nenek mengusap kepalanya pelahan, kembali membawa gadis itu kedalam lelap.
-o0o-
Langit masih gelap saat dia kembali membuka mata. Alarm tubuhnya sudah diset untuk bangun jam setengah lima. Berbarengan dengan terdengar suara jam beker di kamanya. Segera disibaknya selimut bermotif mawar warna-warni itu. Kemudian dengan cekatan melipatnya sampai rapi. Lalu berlari menuju kamarnya. Setelah mematikan lengkingan suara dari jam beker, sekarang giliran tempat tidurnya yang langsung dibereskan.
Rosa berhenti sejenak. Duduk di pinggir tempat tidur yang sudah rapi. Dalam keremangan tanpa menyalakan lampu, dia mengingat kembali mimpi tadi malam. Matanya terpejam sebentar, sambil mengatur napas, dia kembali membuka mata kemudian tersenyum.
“It’s ok, Rosa. Kamu bisa melaluinya. Kamu kuat dan berani.” Katanya bersungguh-sungguh sambil menepuk pundaknya sendiri, “ayo kita hidup sehari lagi,” katanya dalam hati.
-o0o-
Mimpi buruknya malam tadi memang membawa berita buruk untuknya.
Sejak nenek mengalami struk ringan, Uwa Raya, kakak dari almarhum Mama, mengambil alih tugas memasak. Rosa belum bisa memasak apapun. Keahliannya hanya sampai mengukus ubi juga membuat nasi. Selain itu kacau. Rosa tidak bisa memasak. Jadi, selain membereskan rumah, mencuci baju dan piring, tugas memasak diambil alih Uwa Raya.
Biasanya, sepulang sekolah Rosa akan mampir di rumah Uwa untuk mengambil lauk makan hari itu. Jarak dari rumah Uwanya ke rumah nenek tidak jauh, hanya terhalang dua rumah. Jadi, sepulang sekolah sekarang pun dia belok ke rumah Uwa Raya.
Sampai di rumah beliau, dia tidak menemukan siapapun. Dengan panik Rosa langsung berlari ke rumah Nenek. Jantungnya berdebar kencang saat melihat beberapa orang tetangga ada di rumah Neneknya. Dengan tergesa Rosa membuka sepatu dan berlari ke dalam rumah. Matanya menemukan orang yang dicarinya.
“Nek,” panggilnya kaku.
Uwa yang tidak ditemukan di rumahnya juga ada di sana. Duduk di tempat tidur nenek. Kakak dari Mamanya itu berdiri saat mendengar suara Rosa. Dia tersenyum menenangkan.
“Nenek gak apa-apa, Rosa, tadi terpeleset di dapur. Teh Erni yang pertama kali lihat waktu lewat,” kata Uwa, menerangkan sesuai dengan yang terjadi, “Nenek cuma lagi istirahat,” katanya lagi saat melihat mata Rosa masih menatap lurus ke arah nenek.
Padahal tadi pagi nenek masih baik-baik saja. Mereka sarapan bersama seperti biasa. Rosa juga membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. neneknya sangat sehat pagi tadi.
“Rosa?”
Rosa mengangguk.
“Ganti baju dulu terus nanti makan, ya, udah dibawain Ira tadi.”
Rosa mengangguk lagi
Ira adalah sepupunya, anak kedua Uwa yang sekarang masih SMP.
Menuruti apa kata Uwanya, Rosa keluar dari kamar nenek dengan air mata menggenang di pelupuk mata.
-o0o-
Besoknya sepulang sekolah, Uwa sudah ada di kamar nenek lagi. Rosa merasa tidak bisa melakukan apapun yang bisa membantu Uwa ataupun membuat nenek lebih baik. Jadi dia hanya menyelesaikan tugasnya sehari-hari. Siang ini dia sudah membereskan cucian bajunya dan baju nenek. Dia melakukannya agar bisa menghilangkan pikirannya yang mengkhawatirkan nenek.
Kemarin dokter sudah datang dan bilang nenek tidak apa-apa. Hanya sisa memar dan luka lecet bekas jatuhnya yang harus dirawat. Tidak ada cedera serius, tapi mengingat nenek sudah sepuh jadi dokter meminta untuk lebih mengawasi nenek.
Uwa mengajak Rosa untuk bicara, setelah memberikan obat untuk nenek dan meminta nenek tidur.
“Rosa,” kata Uwa menggantungkan kalimatnya, “Uwa sama nenek sudah berdiskusi, sekarang giliran Rosa yang Uwa ajak diskusi.”
Rosa menyimak dengan mata menatap jari-jari tangannya. Dia mendengar Uwa berhati-hati mengatakannya. Dia sedikit banyak bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini.
“Kata dokter kemarin Nenek harus lebih diawasi, sedangkan Uwa masih punya Ira dan Andi yang harus Uwa urus di rumah. Kalau harus bolak-balik kesini Uwa kayaknya akan sedikit repot. Jadi kayaknya Uwa akan bawa nenek di rumah Uwa, ya?” Uwa menjelaskan.
Kepala Rosa mengangguk, menyetujui dan mengerti.
“Rosa bisa di rumah sendiri?” tanya Uwa, “atau kita panggil papa?”
Untuk pertanyaan itu, Rosa sudah menunggunya. Tapi masih belum tahu harus menjawab apa. Dia mengigit bibir dalamnya untuk meredam gemetar bibirnya. Tidak yakin dengan apa yang akan dikatakannya.
Mendengar kedua orang yang paling dihindarinya itu membuat Rosa menahan gemuruh kemarahan di dadanya. Sejak empat tahun lalu, saat nenek sakit, dia sudah ketakutan. Dia takut harus kembali menghadapi orang-orang yang ingin dia hindari itu.
Kalau teman-teman Rosa pernah menyinggungnya dengan bilang bahwa Rosa seperti Kak Ros dalam serial kembar botak dari negara tetangga itu, yang hanya tinggal dengan neneknya, mereka semua salah. Rosa masih punya Papa, dan seorang kakak.
Rosa mengangkat kepalanya kemudian menatap Uwa, dia tersenyum kecil.
“Uwa mau dengar pendapat kamu dulu. Uwa tau kamu bisa mengerjakan semuanya sendirian. Tapi tinggal di rumah sendirian beda lagi, Sa,” jelas Uwa pelan-pelan, “meskipun buat tidur aja sebenernya kan,” Uwa cepat-cepat menambahkan. “Cuma gak ada yang nemenin kalau malem, dan Uwa khawatir ninggalin kamu sendiri,” lanjutnya.
“Kayaknya memang udah waktunya?” tanyanya dengan senyum kecilnya. Dia menarik napas untuk melegakan sesak dadanya.
Uwa menarik napas. Merasa berat melepaskan Rosa tapi juga tidak akan maksimal menjaga ibunya sekarang. “Kamu pikirkan dulu, Uwa belum ngasih tau siapa-siapa soal ini.”
“Gak apa-apa, Uwa. Aku ngerasa ini waktunya.” Jawab Rosa. Dia menarik napas, “Aku ke Bandung aja dengan Papa,” putusnya.
-o0o-
Semuanya serba cepat. Minggu kemarin Rosa masih bercanda dengan Nenek tentang keriput di tangan nenek yang bisa berlipat-lipat. Hari ini dia meninggalkan nenek di desa. Yang meskipun sudah lebih baik dari hari senin kemarin tapi masih belum pulih sepenuhnya.
Dia hanya membawa sekoper keperluannya. Buku-buku sekolahnya yang paling penting. Buku-buku pelajaran, beberapa novelnya yang belum dibaca, dan kamus-kamus tebal. Karena Rosa tidak mempunyai apapun yang penting lainnya untuk dibawa. Dia tidak mengoleksi apapun. Tidak menumpuk baju atau apapun pernak-pernik rambut. Tidak dengan hobi juga.
Rosa ingat untuk membawa kamera digitalnya. Hadiah ulang tahun yang lalu dari Papa. Sisanya hanya kesehariannya yang sederhana di desa. Hal paling berharga miliknya hanya nenek. Tapi Rosa tidak bisa membawanya.
Yang tidak disangkanya adalah teman-teman sekelasnya yang mengelilinginya dihari terakhirnya sekolah di sana. Deana memberinya gantungan kunci berbentuk bunga mawar. Tari berpesan supaya dia menonton music video grup band favoritnya selama perjalanan supaya Rosa tidak bosan. Dan Ria bilang untuk sesekali update agar mereka tahu Rosa baik-baik saja.
Rosa sangat tersentuh dengan apa yang dilakukan mereka. Meskipun selama dua bulan ini mereka tidak banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol, tapi ternyata kehadirannya di kelas berarti juga.
Tiara, sahabatnya dari SD, juga menemaninya selama dua hari berturut-turut. Membantunya mengepak barang, meskipun tidak banyak yang dibereskannya. Dia merasa akan kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar menjadi temannya sejak kecil dulu. Tiara juga memberi tahu bahwa dia akan selalu menunggu kabar Rosa.
Dengan hampir menangis, Rosa mengangguk. Tiara adalah satu-satunya yang selalu menemaninya. Satu-satunya teman yang ia miliki.
Tapi yang paling membuatnya merenung sampai setengah perjalanan ini adalah pesan dari neneknya, “Baik-baik dengan Papa-mu, ya, Sayang. Dia orang tuamu.”
Nenek tidak sedang memarahinya, tapi kata penuh penekanan itu sungguh sampai ke hatinya. Dan Rosa hanya bisa mengangguk untuk menjawabnya. Dia akan menuruti nenek. Seperti selama ini. Rosa selalu menuruti apa kata nenek.
Rosa menghela napas. Membuat Pak Usup, supir Papa yang menjemputnya hari ini, melirik kearahnya dan tersenyum, “Neng Rosa tidur dulu aja kalau bosen. Masih dua jam lagi nyampenya kalau jalanan lancar,” katanya.
Rosa menggeleng, “Gak apa-apa, Pak,” jawabnya sekenanya.
Belum apa-apa Rosa sudah merasa jengkel sendiri. Bingung, perasaannya masih saja dipenuhi amarah meskipun sudah enam tahun berlalu. Dia hanya berharap bisa memenuhi apa yang neneknya minta.
Meskipun selama ini dia mencoba untuk menerima semuanya, tapi tetap saja kemarahannya masih bersarang di dalam sudut hatinya. Dia masih tidak bisa menerimanya. Dia masih tetap marah pada Rama.
Tapi pesan nenek jelas sekali. Berbaik-baik dengan Papa. Artinya dia tidak bisa berbuat apa-apa. Termasuk kepada kakaknya, Rama.
Rosa melihat ke luar jendela. Ah, hidupnya yang tenang akan berubah drastis sekarang.
-o0o-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments