Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Single Killer
Udara Albensiris terasa berbeda — lebih ringan namun dipenuhi jejak energi kuno yang membuat bulu kuduk meremang. Arata melangkah keluar dari portal dimensional, Agroname masih bergetar pelan di tangannya, resonansi kekuatan Athulya dan Nurgha belum sepenuhnya terserap.
Pemandangan di hadapannya membuat dia terpaku sejenak. Albensiris adalah dunia yang seolah terbalik — langit berwarna hitam pekat dengan bintang-bintang putih yang berpendar, sementara tanah di bawahnya memancarkan cahaya keperakan lembut. Pohon-pohon kristal menjulang tinggi, daun-daun mereka berdering setiap kali angin berembus.
"[Detect Divine Presence]," Arata mengaktifkan kemampuan pelacaknya yang kini diperkuat oleh esensi dua Dewa Perang.
Matanya melebar ketika merasakan respons. Puluhan — tidak, ratusan titik energi divine tersebar di seluruh Albensiris. Beberapa lemah, beberapa menengah, tapi ada satu yang bersinar begitu terang hingga hampir membutakan indra spiritualnya.
"Oihen..." nama itu keluar seperti desisan dari bibir Arata.
Dewa Perang yang konon memiliki kekuatan untuk mengendalikan energi Albensiris yang membuatnya menjadi penguasa. Berbeda dengan Athulya dan Nurgha yang lebih sering berdiam di singgasana mereka, Oihen dikenal sebagai pemburu — berkelana di setiap ujung dimensi ke ujung lainnya, mencari pertarungan yang bisa memuaskan dahaganya akan tantangan.
Arata tersenyum tipis. Setidaknya ini berarti dia tidak perlu repot-repot mencari sang dewa.
Tapi sebelum itu...
Arata mengangkat Agroname.
*slash* *slash* *slash*
Tiga dewa minor yang bersembunyi di balik pohon-pohon kristal tumbang tanpa suara. Esensi divine mereka mengalir ke dalam Agroname, menambah kekuatan yang sudah ada.
"[Soul Absorption],"
"Maaf," gumam Arata tanpa ada penyesalan dalam suaranya. "Tapi aku butuh setiap tetes kekuatan dan darah dewa perang yang bisa kudapatkan —" Arata memegang Agroneme kuat pedang yang selalu dia banggakan.
Dia melanjutkan perjalanannya, bergerak dari satu titik ke titik lain. Setiap dewa yang dia temui — tidak peduli sekecil apapun kekuatan mereka — dia bantai tanpa ragu.
Setelah menghabisi belasan dewa minor, Arata merasakan perubahan di pedangnya. Energi divine yang mengalir dalam Agroname kini bergejolak lebih kuat.
"Sudah lama tidak ada yang berani berburu di wilayahku," suara berat itu menggetarkan udara. "Apalagi berburu dewa-dewa kecilku."
Arata membuka matanya perlahan. Di hadapannya berdiri Vaiest, salah satu komandan pasukan Oihen yang terkenal dengan julukan "Sang Eksekutor".
"Maaf mengacaukan teritorimu," Arata mengangkat Agroname ke posisi siaga, "tapi aku punya urusan dengan tuanmu."
Vaiest tertawa, suaranya bergema di seluruh hutan kristal. "Dan kau pikir bisa mencapai Baginda Oihen dengan membantai dewa-dewa kecil? Naif."
"Tidak," Arata menggeleng. "Tapi setiap tetes darah divine yang kuserap membawaku satu langkah lebih dekat untuk mengalahkannya."
"Hmph. Aku ladenin." Vaiest mengangkat tangan kanannya, dan sebuah kapak raksasa materialisasi dari ketiadaan. "Biar kutunjukkan perbedaan kekuatan kita."
Arata tidak menjawab. Dia menutup matanya sejenak, dirinya tau tidak terlalu menguasai pertempuran jarak jauh jadi Agroneme dipusatkan kekuatan energi beresonansi dengan realitas para dewa yang telah dibunuh — darah bercampur memoles pedang Agroneme.
Arata melesat ke depan dengan kecepatan yang bahkan membuat Vaiest terkejut. Kapak raksasa sang komandan berbenturan dengan Agroname, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan lebih banyak pohon kristal.
"Tidak buruk," Vaiest menyeringai. "Tapi masih terlalu lemah!"
Kapak raksasanya bergerak dalam arc lebar, membawa kekuatan yang cukup untuk membelah gunung. Tapi Arata tidak bergerak menghindar - justru Arata membiarkan sedikit darah menyebar ke senjata musuhnya untuk melemahkan.
*SLASH!*
Kapak Vaiest menebas udara kosong saat Arata bergerak mundur dengan perhitungan presisi. Seringai tipis tersungging di wajahnya — gerakan itu bukan untuk menghindar, melainkan memberi ruang bagi darah divine yang telah dia sebarkan untuk bekerja.
"Kau..." Vaiest tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh pada kapaknya. Energi asing mengalir di sepanjang senjata itu, terasa seperti ribuan jarum es yang menusuk-nusuk.
"[The Blood of Divine Gina]!" kata Arata.
Dalam sekejap, darah divine yang telah menyebar di kapak Vaiest berubah menjadi benang-benang merah berpendar yang menembus dimensi spiritual. Benang-benang itu melesat bagai ular berbisa, menembus pertahanan jiwa sang komandan.
"ARGHH!" Vaiest mengerang, tubuhnya gemetar hebat. Kapak di tangannya bergetar, mencoba melawan invasi energi asing yang menggerogoti.
"Kau terlalu fokus pada kekuatan fisik," Arata melangkah maju perlahan. "Darah para dewa yang kubunuh... mereka tidak hanya memberiku kekuatan. Mereka memberiku akses ke dimensi spiritual mereka."
Vaiest mencoba mengayunkan kapaknya lagi, tapi gerakannya kaku dan tidak terkoordinasi. Benang-benang darah divine telah menginfeksi jalur energinya, membuat setiap gerakan terasa seperti menyeret tubuh di dalam lumpur.
"Bajingan... apa yang kau lakukan?!"
"Setiap dewa memiliki signature spiritual mereka sendiri," Arata menjelaskan sambil terus melangkah maju. "Saat kau membunuh mereka dengan cara tertentu, signature itu bisa dimanipulasi. Diubah menjadi senjata yang melampaui batasan fisik."
Arata mengangkat Agroname, mata pedangnya berkilat dengan energi ungu gelap. "Dan saat ini, belasan signature spiritual sedang mengoyak jiwamu dari dalam."
"Tidak... tidak mungkin!" Vaiest mencoba melepaskan kapaknya, tapi sudah terlambat. Benang-benang darah divine telah mencengkeram terlalu dalam, menciptakan jaring spiritual yang membelenggu jiwanya.
Benang-benang darah berpendar semakin gelap, kemudian menyentak dengan kekuatan luar biasa. Jeritan Vaiest memenuhi udara saat jiwanya tercabik-cabik dari dalam. Tubuhnya mulai retak, energi divine merembes keluar dari celah-celah yang terbentuk.
"Ini... tidak seharusnya... aku yang dibanggakan oleh tuanku Dewa Oihen..."
"Aku sudah lama melampaui batas-batas biasa," Arata mengayunkan Agroname untuk pukulan terakhir. "Dan setelah ini, kekuatanmu akan membawaku satu langkah lebih dekat pada Oihen."
Tinju keras — *slash* kepalanya terpenggal.
Tubuh Vaiest meledak darah berceceran seperti hujan deras — tidak jatuh dalam tanah, meninggalkan pusaran energi divine yang dengan cepat tersedot ke dalam Agroname. Arata memejamkan mata, merasakan kekuatan baru mengalir dalam pembuluh darahnya.
Tapi dia tidak punya waktu untuk beristirahat. Di kejauhan, dia bisa merasakan gerakan-gerakan energi yang familiar — para komandan Oihen yang lain telah menyadari kematian rekan mereka.
Udara bergetar dengan derap kaki kuda-kuda raksasa yang mendekat. Dari kejauhan, dua belas sosok menjulang di atas tunggangan mereka yang segelap malam — para komandan Oihen yang tersisa. Kuda-kuda perang mereka bukan makhluk biasa; tubuh berotot dengan tinggi hampir empat meter, mata merah menyala, dan aura yang menguar dari setiap langkah mereka.
Arata tidak menunggu mereka mendekat. Dia melesat ke depan, Agroname teracung. Sayatan demi sayatan diluncurkan, mengaktifkan salah satu kemampuan yang dia dapat dari darah divine yang telah diserap. Waktu seolah melambat di sekitarnya, memberikan kesempatan untuk menganalisis formasi musuh-musuhnya.
Para komandan membentuk formasi sabit, bermaksud mengepungnya dari segala arah. Tapi ini justru membuat mereka lebih rentan.
"[The Blood of Divine Gina]!" Arata menghunjamkan Agroname ke tanah. Darah divine yang tersimpan dalam pedang menyembur keluar, membentuk jaring-jaring merah yang menjalar cepat di permukaan tanah.
Dua komandan terdepan menyadari bahaya terlambat. Kuda-kuda mereka menginjak jaring darah, dan dalam sekejap tungkai-tungkai kokoh itu membeku, terjebak dalam kristalisasi blood divine yang merambat cepat ke atas.
"Formasi Bulan Sabit!" teriak salah satu komandan. "Jangan biarkan dia—"
Terlambat. Arata sudah berada di tengah-tengah formasi mereka, berputar bagai badai dengan Agroname sebagai pusatnya. Darah divine yang menyelimuti pedang menciptakan jejak merah di udara, membentuk pola-pola mematikan yang memotong armor divine seolah itu hanya kertas.
Tiga komandan tumbang dalam sekejap, tubuh mereka tercabik sebelum sempat bereaksi. Kuda-kuda mereka meringkik nyaring sebelum lenyap dalam ledakan.
"Dia menggunakan darah melawan kita!" teriak komandan lain. "Jaga jarak! Gunakan serangan jarak jauh!"
Tombak-tombak melesat dari segala arah, tapi Arata sudah mengantisipasi ini.
"[Blood Bouclier]!" Lapisan darah divine mengkristal di sekitar tubuhnya, menangkis sebagian besar serangan. Beberapa tombak berhasil menembus, menggores armor dan kulitnya, tapi Arata tidak melambat.
Dia melompat ke udara, Agroname menghitam kemerahan dengan energi yang diperkuat — Kepadatan darah dan Ketajaman Agroneme.
[Blood Xue] Tetesan-tetesan darah divine menghujani area pertempuran, setiap tetes membawa signature spiritual yang mematikan. Para komandan yang tersisa menjerit ketika darah itu menembus tubuh dan tulang mereka, menginfeksi jalur energi mereka dari dalam.
"Mustahil!" salah satu dari mereka berteriak di tengah rasa sakit.
Arata mendarat di tengah kekacauan, matanya berkilat dingin. "Kau tidak pernah mendengar cerita soal Dewa Utama Arzhanzou Arthur Fartha, aku adalah Arata — seorang dewa."
Dalam hitungan menit, pertempuran berakhir. Dua belas komandan Oihen tergeletak tak bernyawa, essence mereka mengalir ke dalam Agroname yang kini berdenyut dengan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Arata mengangkat wajahnya ke langit Albensiris. Di kejauhan, dia bisa merasakan kehadiran yang begitu kuat hingga membuat udara bergetar — Oihen telah menyadari kehadiran dan kekuatannya.
"Sekarang," Arata menggenggam Agroname erat, "saatnya menghadapi sang pemburu."