Dewasa🌶🌶🌶
"Apa? Pacaran sama Om? Nggak mau, ah! Aku sukanya sama anak Om, bukan bapaknya!"
—Violet Diyanara Shantika—
"Kalau kamu pacaran sama saya, kamu bakalan bisa dapetin anak saya juga, plus semua harta yang saya miliki,"
—William Alexander Grayson—
*
*
Niat hati kasih air jampi-jampi biar anaknya kepelet, eh malah bapaknya yang mepet!
Begitulah nasib Violet, mahasiswi yang jatuh cinta diam-diam pada Evander William Grayson, sang kakak tingkat ganteng nan populer. Setelah bertahun-tahun cintanya tak berbalas, Violet memutuskan mengambil jalan pintas, yaitu dengan membeli air jampi-jampi dari internet!
Sialnya, bukan Evan yang meminum air itu, melainkan malah bapaknya, William, si duda hot yang kaya raya!
Kini William tak hanya tergila-gila pada Violet, tapi juga ngotot menjadikannya pacar!
Violet pun dihadapkan dengan dua pilihan: Tetap berusaha mengejar cinta Evan, atau menyerah pada pesona sang duda hot?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Ketegangan
William menancap gas dengan panik. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada putranya, Evan. Sejak menerima telepon dari polisi, tangannya tak berhenti mencoba menghubungi nomor anaknya. Namun, panggilannya tak kunjung diangkat.
"Astaga... kemana anak ini?" gumamnya sambil mencengkeram setir lebih erat.
Mobilnya melaju menembus malam, hampir menerobos lampu merah di beberapa persimpangan. Ia bahkan tidak peduli pada klakson mobil lain yang terdengar marah saat ia memotong jalur. Yang ada di pikirannya hanya satu, yaitu Evan.
Tak butuh waktu lama, mobilnya berhenti dengan kasar di depan kantor polisi. William keluar dengan tergesa-gesa, langkahnya panjang dan cepat memasuki gedung.
"Pak William?" Salah satu petugas yang berdiri di dekat meja resepsionis mengenali wajahnya.
"Ya, saya ayah Evan," jawab William tegas. "Mana anak saya?"
Petugas itu mengangguk dan memberi isyarat agar William mengikutinya. Mereka berjalan melewati lorong hingga sampai di sebuah ruangan berukuran kecil. Saat pintu dibuka, William langsung melihat Evan duduk di bangku panjang, kepalanya tertunduk, bahunya lunglai.
Bau alkohol menyengat begitu William masuk. Rambut Evan berantakan, wajahnya kusut, dan ada luka kecil di pelipisnya, mungkin akibat benturan saat kecelakaan.
William menghela napas panjang, menekan rasa marah yang mendidih di dalam dadanya. Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Evan, menatap anaknya dengan sorot mata tajam.
"Evan," panggilnya dengan nada dalam.
Evan mendongak perlahan. Matanya merah, bukan hanya karena efek alkohol, tetapi juga karena kelelahan, atau mungkin… habis menangis?
"Papa..." suaranya terdengar serak, nyaris berbisik.
William menatap anaknya lekat-lekat, lalu menoleh ke arah polisi yang berjaga. "Bisa saya bicara empat mata dengan anak saya sebentar?"
Salah satu petugas mengangguk. "Silakan, Pak. Tapi mohon jangan terlalu lama."
Begitu petugas keluar dan menutup pintu, William merosot duduk di kursi di seberang Evan, menatap anaknya dengan ekspresi campuran antara marah dan khawatir.
"Kamu mabuk." Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan dingin yang sarat akan kekecewaan.
Evan tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menatap lantai dengan tatapan kosong.
"Maaf Pa..." napasnya terdengar berat. "Aku cuma sedang kalut."
"Papa nggak tahu apa masalah kamu, Evan. Tapi menyetir dalam keadaan mabuk sampai menabrak tiang lampu di tengah kota itu kesalahan besar!" Nada suaranya naik, penuh ketegasan dan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Kamu nggak cuma membahayakan dirimu sendiri, tapi juga orang lain! Kamu sadar itu?"
Evan menunduk, menghindari tatapan tajam ayahnya. Ia menggigit bibir bawahnya, seperti menahan sesuatu. "Aku tahu..." suaranya lirih, nyaris tertelan keheningan. "Tapi aku nggak bisa berpikir jernih saat itu... Aku hanya berharap aku bisa segera mati."
William merasakan jantungnya mencelos. Tangannya refleks terangkat, mencengkeram bahu anaknya erat. "Jangan pernah bicara seperti itu lagi!"
Evan tidak bereaksi. Ia hanya menatap ayahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Papa bahkan peduli?" suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
William terkesiap. Rasa sakit seperti dihantam batu besar menghantam dadanya.
"Tentu saja Papa peduli! Kau pikir untuk apa Papa ada di sini sekarang?!" suara William sedikit bergetar.
Evan tidak menjawab dan hanya menundukkan kepalanya.
William menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, mencoba mengendalikan amarah yang bercampur dengan kecemasan. Tangannya terangkat, mengusap wajahnya dengan kasar, seolah ingin menghapus ketegangan yang mengikat pikirannya.
Tatapannya kembali jatuh pada Evan. Putranya itu tampak begitu rapuh, duduk dengan bahu merosot dan kepala sedikit tertunduk. Sorot matanya kosong, seakan beban yang ia pikul terlalu berat untuk dibagikan.
Ia kembali menarik napas panjang, berusaha menekan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Ini bukan saatnya untuk marah. Yang dibutuhkan Evan saat ini bukan bentakan atau hukuman, melainkan seseorang yang bisa mengerti keadaannya.
William merendahkan tubuhnya, berjongkok agar sejajar dengan Evan. Ia menatap mata anaknya, berusaha mencari celah untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
"Sudahlah," katanya, suaranya lebih lembut namun tetap tegas. "Ayo pulang."
Evan tidak menjawab, tapi juga tidak menolak saat William menariknya berdiri. Saat mereka keluar dari ruangan, petugas langsung menyodorkan beberapa dokumen yang harus ditandatangani William.
"Pak William, karena tidak ada korban lain, kasus ini hanya akan dicatat sebagai pelanggaran ringan. Tapi tetap saja, menyetir dalam keadaan mabuk bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Pastikan anak Anda tidak mengulangi ini lagi."
William mengangguk. "Terima kasih, Pak."
Setelah menyelesaikan administrasi, William membawa Evan keluar.
Begitu mereka sampai di mobil, William membuka pintu dan menatap anaknya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kita bicara di rumah."
Evan hanya mengangguk lemah, lalu masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun.
William menutup pintu dengan napas berat, lalu masuk ke kursi pengemudi.
Mobil melaju di jalanan malam yang lengang, membawa mereka pulang dalam keheningan yang terasa begitu berat.
ngakak brutal ya allah
"mertuaku, mantan musuh bebuyutan ku..
atau
"mertuaku, besty SMA ku?
kalau sempat tau, habis kau om jadi dendeng balado..🤣🤣🤣
dia jujur gak tu depan bapak nya si cowok..😭😭