Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gebrakan Membuat Tegang
Fitri berdiri di depan kelas XII IPA 3, senyumnya merekah, matanya berbinar penuh semangat.
"Selamat pagi semuanya! Hari ini kita akan membahas tentang novel. Ada yang sudah pernah membaca novel?"
Beberapa tangan terangkat, Fitri mengangguk antusias. "Bagus! Novel itu seperti jendela ke dunia lain. Kita bisa merasakan petualangan, romansa, bahkan misteri di dalamnya."
Fitri kemudian membuka buku siswa dan mulai menjelaskan. "Novel itu punya struktur yang unik. Ada bagian orientasi yang mengenalkan tokoh dan latar, lalu ada komplikasi yang berisi masalah atau konflik, dan resolusi yang merupakan penyelesaian masalah."
Ia mencontohkan sebuah novel yang baru-baru ini ia baca. "Novel 'Laskar Pelangi' karya Andrea Hirata, misalnya. Di bagian orientasi, kita dikenalkan dengan tokoh-tokoh anak Belitong dan kehidupan mereka yang sederhana. Lalu di bagian komplikasi, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti kekurangan fasilitas sekolah. Tapi akhirnya, mereka berhasil meraih mimpi-mimpi mereka."
Fitri juga menjelaskan tentang alur atau plot dalam novel. "Alur itu seperti jalan cerita. Ada alur maju, mundur, dan campuran. Alur ini yang membuat cerita jadi menarik dan bikin kita penasaran."
Tak lupa, Fitri menyinggung tentang pesan moral dalam novel. "Setiap novel pasti punya pesan moral yang ingin disampaikan. Pesan ini bisa tentang kebaikan, persahabatan, perjuangan, atau nilai-nilai luhur lainnya."
Setelah menjelaskan panjang lebar, Fitri membuka sesi tanya jawab. Beberapa siswa tampak antusias mengajukan pertanyaan.
"Bu, bagaimana cara menentukan alur dalam novel?" tanya seorang siswa.
"Pertanyaan bagus! Alur itu biasanya bisa kita lihat dari urutan kejadian dalam cerita. Apakah ceritanya maju atau ada mundur," jawab Fitri.
"Kalau pesan moralnya tersirat, bagaimana cara mengetahuinya, Bu?" tanya siswa lainnya.
"Nah, itu tantangannya! Pesan moral itu kadang tidak disampaikan secara langsung. Kita harus membaca dengan cermat dan mencoba memahami apa yang ingin disampaikan penulis," jelas Fitri.
Setelah sesi tanya jawab selesai, Fitri memberikan tugas kepada siswa. "Ibu ingin kalian mencari contoh novel, lalu analisis struktur, alur, dan pesan moralnya. Minggu depan kita akan diskusikan bersama."
Kelas XII IPA 3 pun terlihat sangat kondusif. Siswa-siswa mencatat penjelasan Fitri dengan seksama dan mulai mencari contoh novel untuk dianalisis.
****
Sementara itu, di kelas XII IPS 1, suasana sangat berbeda. Bu Ida, yang juga mengajar bahasa Indonesia, tidak terlihat antusias menjelaskan materi. Alih-alih membuka buku pelajaran, ia malah asyik bercerita tentang suaminya.
"Anak-anak, tahu tidak? Suami Ibu itu seorang perwira polisi. Kemarin, beliau baru saja mendapat penghargaan atas keberhasilannya mengungkap kasus narkoba besar," kata Bu Ida dengan nada bangga.
Beberapa siswa tampak mengangguk malas, sementara yang lain mulai menguap. Cerita tentang suami Bu Ida sudah menjadi makanan sehari-hari di kelas ini. Setiap kali Bu Ida masuk kelas, pasti ada saja cerita tentang suaminya. Mulai dari pangkatnya yang tinggi, mobil mewahnya, hingga rumahnya yang besar.
"Suami Ibu itu memang pria luar biasa. Selain tampan, beliau juga sangat romantis. Setiap malam minggu, beliau selalu mengajak Ibu makan malam di restoran mewah," lanjut Bu Ida, membuat beberapa siswa memutar bola mata.
Seorang siswa bernama Rina memberanikan diri bertanya. "Maaf, Bu, tapi kapan kita mulai belajar tentang novel?"
Bu Ida sedikit terkejut. "Oh, iya. Nanti saja ya. Ibu masih ingin cerita tentang suami Ibu."
Rina menghela napas pasrah. Ia dan teman-temannya sudah hafal dengan kebiasaan Bu Ida. Setiap kali jam pelajaran bahasa Indonesia, mereka harus rela mendengarkan cerita tentang suami Bu Ida yang hiperbola.
"Padahal, kami ingin belajar tentang novel, Bu. Kami ingin tahu lebih banyak tentang struktur, alur, dan pesan moral dalam novel," gumam Rina dalam hati.
Beberapa siswa lain juga mengangguk setuju. Mereka merasa bosan dan tidak mendapatkan ilmu yang seharusnya mereka dapatkan.
"Bu, kalau cerita tentang suami Ibu, kami sudah sering dengar. Setiap masuk kelas, Ibu selalu cerita tentang beliau," celetuk seorang siswa.
Bu Ida terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa siswa-siswanya sudah mulai bosan dengan ceritanya.
"Baiklah, baiklah. Maafkan Ibu ya. Ibu terlalu bersemangat cerita tentang suami Ibu," kata Bu Ida akhirnya.
Ia kemudian membuka buku pelajaran dan mulai menjelaskan tentang novel. Namun, beberapa terlanjur kehilangan semangat.
Mereka merasa waktu pelajaran bahasa Indonesia mereka terbuang sia-sia hanya untuk mendengarkan cerita yang tidak ada hubungannya dengan materi pelajaran.
****
Bu Vivi, guru matematika yang terkenal galak di SMA 2, tiba-tiba menggebrak papan tulis. Suara gebrakan itu mengagetkan seluruh kelas XII IPA 1. Semua mata tertuju pada Bu Vivi yang wajahnya memerah menahan amarah.
Helmi, siswa yang duduk di barisan depan, menunduk ketakutan. Ia baru saja salah menjawab soal geometri yang diberikan Bu Vivi di papan tulis. Soal itu sebenarnya tidak terlalu sulit, namun Helmi sedang tidak fokus dan akhirnya melakukan kesalahan fatal.
"Helmi, kamu ini bagaimana sih? Soal seperti ini saja tidak bisa! Apa kamu tidak belajar semalam?!" bentak Bu Vivi dengan suara tinggi.
Helmi hanya bisa diam. Ia tahu Bu Vivi memang tidak suka dengan siswa yang tidak fokus dalam belajar.
"Kalian semua juga sama saja! Kalau tidak belajar, mana mungkin bisa mengerjakan soal-soal ini!" lanjut Bu Vivi sambil menunjuk ke arah siswa lainnya.
Suasana di kelas menjadi tegang. Tidak ada satu pun siswa yang berani bersuara. Mereka semua takut dengan Bu Vivi yang sedang marah.
Bu Vivi kemudian mengambil spidol dan menuliskan kembali soal geometri tersebut di papan tulis. Ia menjelaskan langkah-langkah pengerjaan soal itu dengan benar.
"Perhatikan baik-baik! Inilah cara mengerjakan soal ini dengan benar," kata Bu Vivi dengan nada yang lebih tenang.
Setelah selesai menjelaskan, Bu Vivi memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Namun, tidak ada satu pun siswa yang berani bertanya. Mereka masih takut dengan Bu Vivi.
"Baiklah, kalau tidak ada yang bertanya, Ibu anggap kalian sudah mengerti," kata Bu Vivi.
Ia kemudian memberikan beberapa soal latihan kepada siswa untuk dikerjakan. Suasana kelas masih tеgang. Para siswa mengerjakan soal-soal latihan dengan hati-hati. Mereka tidak ingin membuat kesalahan dan membuat Bu Vivi marah lagi.
Helmi sendiri merasa sangat bersalah. Ia berjanji akan belajar lebih giat lagi agar tidak mengecewakan Bu Vivi. Ia juga berharap Bu Vivi bisa lebih sabar dalam mengajar dan tidak terlalu emosional.
Bel pun berbunyi. Pelajaran matematika pun selesai. Para siswa bernapas lega karena terhindar dari amukan Bu Vivi. Namun, mereka juga merasa tidak nyaman dengan suasana tegang di kelas tadi.